Cerita Anis Matta Jadi Penerjemah hingga Bertemu Yasser Arafat
Anis bertugas sebagai penerjemah untuk Irak dan bertemu Yasser Arafat.
Anis bertugas sebagai penerjemah untuk Irak
Cerita Anis Matta Jadi Penerjemah hingga Bertemu Yasser Arafat
Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengaku pertama kali mengenal isu Palestina secara mendalam pada tahun 1992, tepatnya saat menjadi penerjemah di acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok di Jakarta.
Hal itu disampaikan Anis dalam dialog keummatan 'We Love Palestine' digelar di Ballroom Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, Kamis (9/11).
"Acara ini (KTT Non-Blok) dihadiri oleh para pimpinan negara-negara Non-Blok, tapi ada satu di antara mereka, satu tokoh yang paling diincar oleh para penerjemah untuk berfoto bersama. Saya kenal selama ini namanya, yaitu Yasser Arafat, pemimpin PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) waktu itu," kata Anis.
Pada saat itu, Anis bertugas sebagai penerjemah untuk Irak, yang baru saja dibom Amerika selama Perang Teluk I.
Pengalaman ini memberinya kesempatan untuk berfoto bersama Yasser Arafat.
Bertemu Yassr Arafat.
"Pada suatu pagi, para penerjemah diberi kesempatan untuk berfoto dengan Yasser Arafat jadi saya naik ke kamarnya karena fotonya di kamarnya, penanganannya ketat sekali dan alhamdulillah sempat berfoto dengan beliau pada waktu itu. Itu pertama kali saya bersentuhan dengan isu Palestina," ujar Anis.
Dua tahun kemudian, Anis melanjutkan, pada tahun 1994, pemimpin Hamas mengunjungi Indonesia. Kunjungan ini dilakukan dalam rangka menyosialisasikan masalah Palestina di seluruh dunia, terutama di negara-negara dengan populasi muslim yang besar, seperti Indonesia.
"Saat itu saya bersentuhan lebih dalam dengan mereka (Palestina) karena saya yang mengantar mereka keliling ke seluruh Indonesia sebagai penerjemah," ujar Anis.
Pada tahun yang sama, terjadi konflik di Yugoslavia.
Anis mengatakan saat itu teman-teman dari Bosnia datang ke Indonesia untuk melakukan sosialisasi tentang perjuangan komunitas Muslim di Bosnia.
"Kebetulan yang datang ke sini rata-rata hanya bisa berbahasa Arab, jadi saya kembali menjadi penerjemah mereka, kita keliling Indonesia untuk mensosialisasikan masalah Bosnia," ujar Anis.
Dalam peristiwa ini, Anis bertemu dengan sosok penting politik nasional Indonesia, yaitu Probosutedjo, seorang kerabat dari Presiden Soeharto dan Prabowo Subianto.
Tergerak oleh penjelasan situasi di Bosnia, Probosutedjo memberikan sumbangan bernilai jutaan dolar. Tak hanya itu, Soeharto juga turut membangun masjid di kota Sarajevo.
"Yang menarik dalam peristiwa itu adalah salah satu tokoh nasional yang kita temui waktu itu untuk masalah Bosnia, yaitu Almarhum Bapak Probosutedjo ini keluarganya Pak Harto, keluarganya Pak Prabowo, beliau ini setelah mendengarkan penjelasan tentang Bosnia sangat tersentuh dan memberikan sumbangan jutaan dolar waktu itu. Saya ingat waktu itu bahkan sumbangan ini untuk membeli senjata bagi kaum muslimin Bosnia. Lalu setelah itu, Pak Harto ikut membangun masjid di sana," cerita Anis.
Anis mengingat kunjungannya ke Sarajevo pada tahun 2015. Saat itu, Anis melihat pertama kali Masjid Muhammad Soeharto sekaligus bertemu dengan mantan Presiden Bosnia, Haris Silajdžić.
"Saya bergumam di dalam hati waktu itu karena jaraknya hampir 20 tahun, dari tahun 1994 ke tahun 2015. Saya bergumam dalam hati, ada juga sedikit jasa saya dalam kemerdekaan Bosnia, tapi di situ juga saya punya perasaan yang sangat dalam bahwa dulu ada negara yang kita tidak kenal. Ada satu negara besar yang kita kenal namanya Yugoslavia, Bosnia kita tidak kenal, tiba-tiba nama negara ini, yaitu Yugoslavia hilang dari peta dan muncul satu nama baru, namanya Bosnia,” lanjut Anis.
Anis menyebut membaca buku Alija Izetbegovic, presiden pertama Bosnia, yang tidak hanya seorang mujahid, tetapi juga seorang filsuf. Dikatakan ketika perang Bosnia tengah berkecamuk, terjadi pembantaian mengerikan di salah satu kota bernama Srebrenica. Sekitar 200 ribu Muslim Bosnia tewas dalam pembantaian yang dilakukan oleh Serbia alias negara di wilayah Balkan yang dulunya bagian dari pecahan federasi kerajaan Yugoslavia.
"Pada waktu perang Bosnia sedang berlangsung, ada pembantaian waktu itu di salah satu kota namanya Srebrenica, di mana kira-kira ada 200-an ribu muslim Bosnia yang dibantai oleh Serbia," kata dia.
Anis mengaku saat itu tidak seorang pun yang dapat membayangkan bahwa, suatu hari Bosnia akan mencapai kemerdekaan sebagai satu negara. Namun, ironisnya, yang hilang justru Yugoslavia, sementara yang memperoleh kemerdekaan adalah Bosnia.
"Tidak ada di antara kita waktu saya menjadi penerjemah itu, yang bisa membayangkan bahwa kalau kita menyaksikan pembantaian itu, kelak Bosnia akan menjadi satu negara merdeka. Tapi kenyataannya, yang hilang Yugoslavia, yang merdeka Bosnia,” imbuh Anis.
Melalui kisah peperangan antara Yugoslavia-Bosnia dan berakhir dengan kemerdekaan Bosnia, Anis menyimpulkan dengan optimis bahwa tanda-tanda kemerdekaan Palestina semakin terlihat dengan jelas.
"Saya tidak pernah ke Palestina seperti Pak Mahfud. Salah satu yang menghambat saya untuk pergi ke sana adalah urusan imigrasi, saya tidak suka itu. Saya tidak mau paspor saya diperiksa (oleh Israel), berkali-kali saya diajak tapi saya tidak pernah tertarik. Tapi saya mengikuti perkembangannya (isu Palestina) dari waktu ke waktu secara terus menerus dan terlibat secara mendalam. Tapi sekarang saya pada satu kesimpulan, tanda-tanda kemerdekaan Palestina semakin nyata di depan mata," pungkas Anis.