Kisah Haru dari Bali, Ada Burhan Sang 'Bapak Peri' Para Bayi Terlantar
'Saya Senang Kalau Yayasan Ini Tutup, Artinya Tidak Ada Lagi Bayi Terlantar'
'Saya Senang Kalau Yayasan Ini Tutup, Artinya Tidak Ada Lagi Bayi Terlantar'
-
Dimana bayi-bayi ini dirawat? Di bangsal gizi buruk rumah sakit Kamal Adwan di Gaza utara, bayi-bayi yang baru beberapa hari lahir ke dunia dan kebanyakan prematur, bertarung untuk tetap hidup.
-
Siapa yang membantu merawat bayi di masyarakat Sunda? indung beurang adalah ibu yang membantu merawat bayi seperti sanak saudara
-
Bagaimana bayi bisa ditinggal sendirian? 'Bayi dapat ditinggal sendirian untuk tidur siang, terutama jika mereka berada di kasur yang kokoh tanpa selimut atau bantal berbulu, dengan pakaian yang pas, seperti yang direkomendasikan untuk mencegah SIDS,' terang Dr. Howe.
-
Bagaimana kondisi bayi tersebut? Dengan suhu badan yang rendah mencapai 35,7 derajat Celsius saat tiba di rumah sakit, si kecil yang mengalami hipotermia dihangatkan dan diberikan pertolongan pertama secara intensif.
-
Di mana kerangka bayi itu ditemukan? Penggalian berakhir tahun ini Tekin, mengatakan dua kerangka itu adalah milik seorang bayi dan seorang anak yang berusia sekitar 6-7 tahun yang ditemukan 2 pekan lalu di area yang sama selama proses penggalian berlangsung.
-
Siapa yang mengubur bayi-bayi di bawah batu naga? Sebuah penemuan arkeologi mengungkap batu setinggi 3,5 meter yang berasal dari abad ke-16 SM, digunakan oleh masyarakat prasejarah yang disebut Armenia untuk mengubur dua bayi baru lahir dan seorang wanita dewasa di bawahnya.
Kisah Haru dari Bali, Ada Burhan Sang 'Bapak Peri' Para Bayi Terlantar
Burhan, pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah ini menjadi 'bapak peri' para bayi terlantar. Ia mendirikan Yayasan Rumah Bayi Bali Indonesia pada 28 Mei 2019.
Dan baru beroperasi menerima bayi terlantar pada tahun 2022 karena sempat terkendala Pandemi Covid-19.
Burhan masih ingat betul, bayi pertama yang ia terima berjenis kelamin perempuan, berusia tiga bulan yang berasal dari Yogyakarta pada 28 Februari 2022. Saat itu, tidak ada tanggung jawab seorang ayah dan sang ibu yang kebingungan, tak memiliki uang dan menemui jalan buntu karena berbagai penolakan.
Bermodalkan tabungan hasil kerja keras sebagai seorang pemandu wisata khusus berbahasa Prancis di Bali, Burhan memberanikan diri mengontrak rumah di lahan seluas 200 meter persegi di Jalan Pasekan, Gang Pondok Batu Alam, Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Biaya kontrak rumah per tahun mencapai Rp40 juta, di luar biaya operasional lainnya.
Untuk kebutuhan bayi, ia juga banyak mendapat dukungan dari masyarakat karena bantuan donasi, salah satunya berupa perlengkapan bayi yang kini mengalir deras.
Di rumah dua lantai itu, Burhan membesarkan bayi-bayi yang berasal dari sejumlah kota di Tanah Air yang seluruhnya lahir di luar pernikahan yang sah oleh pasangan yang masih muda.
Bahkan, salah satu bayi prematur yang kini sudah tumbuh normal, dilahirkan dari seorang anak perempuan berusia 12 tahun dari Jawa Tengah.
Dengan dibantu lima orang pengasuh, mereka sabar merawat bayi tersebut, layaknya anak atau keluarga sendiri.
Salah satu pengasuh, Essy Trisia Ngongo sudah lima bulan merawat bayi tersebut dan secara bergiliran merawat bayi-bayi itu
Perempuan dari Sumba, Nusa Tenggara Timur, itu memang suka dengan anak-anak. Ia pun telaten merawat bayi asuhnya, mulai dari bangun tidur, menyiapkan dan menyuapi makanan, pakaiannya, hingga merawat mereka saat sakit dan kembali tidur.
Mereka saat ini dalam kondisi sehat dan terawat. Tumbuh kembangnya pun menyesuaikan usianya. Ada yang sudah bisa makan bubur atau makanan tambahan setelah susu formula, belajar berbalik badan, merangkak, berjalan, hingga mulai berbicara “bapak”.
Untuk keseharian, mereka tidur didampingi para pengasuh itu selama 24 jam di empat kamar yang berada di lantai dua. Burhan yang berusia 46 tahun itu awalnya merawat dan mengasuh 20 bayi yang berusia dua bulan hingga 1,8 tahun.
Dua di antaranya sudah kembali ke pangkuan ibu kandungnya dan empat lainnya juga sudah bersama ibu kandungnya, namun keperluannya masih didukung oleh yayasan milik Burhan, sehingga kini menyisakan 14 orang bayi, tiga laki-laki dan 11 orang perempuan.
Bayi itu dijemput langsung oleh Burhan setelah dihubungi oleh sang ibu kandung.
Untuk menerima bayi tersebut, ia mengaku persyaratannya sederhana, yakni cukup Kartu Tanda Penduduk (KTP) sang ibu kandung serta menandatangani dokumen penyerahan pengasuhan sementara.
'Saya Senang Kalau Yayasan Ini Tutup, Artinya Tidak Ada Lagi Bayi Terlantar'
Burhan mengungkap akan senang jika yayasan yang ia bangun ini tutup. Artinya, tidak ada lagi bayi terlantar.
"Saya lebih senang kalau yayasan ini tutup. Kalau bayi bertambah banyak, saya tambah prihatin. Maunya tidak ada lagi tempat seperti ini, tidak ada bayi yang telantar atau bayi dibuang," ucap pria lajang ini berkaca-kaca, Kamis (14/3) seperti dikutip Antara.
Burhan mengaku belum mengetahui sampai kapan ia akan merawat sementara bayi-bayi tersebut.
Ia akan menunggu kesiapan orang tua atau ibu kandungnya untuk menerima kembali anak mereka agar hubungan darah tidak terputus.
Namun, jika orang tua tersebut tak kunjung menerima, maka jalan terakhir adalah adopsi yang bukan melalui yayasannya, namun harus melalui pemerintah yakni dinas sosial.
Meski begitu, bagi Burhan, yang terpenting mereka saat ini selamat dan sehat, tidak telantar, atau bahkan tidak dibuang, misalnya di tempat sampah, seperti kebanyakan kasus bayi lahir di luar nikah.
Ia tak ingin bayi yang tak berdosa itu tidak mendapatkan kasih sayang, sehingga ditelantarkan atau dibuang akibat ibunya kalut dan bingung karena beragam alasan, di antaranya ketakutan dan penolakan dari keluarga, hingga lingkungan.
Menurut dia, selagi masih hidup dan bisa berkontribusi, harus membantu menyelamatkan generasi masa depan itu.
Rasa nurani dan iba membuat dirinya tak ingin menjadi sosok di "meja hijau pengadilan" terkait latar belakang sang bayi.
Bukan sekali ini saja ia bersosial. Saat gempa Yogyakarta pada 2006, ia juga ikut membantu perlengkapan anak-anak sekolah yang terdampak bencana alam itu.
Terlepas dari latar belakang sang anak, memberikan tempat yang layak sekaligus menjadi atap untuk bernaung dan berlindung, sejatinya memberikan hak untuk hidup dan terus tumbuh, sehingga memberikan kemerdekaan mendasar bagi sang anak.
Meski tak bisa memiliki kasih sayang sebagai hak dasar seorang bayi, Burhan mampu menggantikan peran tersebut agar bayi itu bebas merasakan kehangatan, perhatian, dan kasih sayang.
Tak hanya itu, bayi-bayi itu juga merdeka dari potensi kekerasan fisik dan verbal karena terhindar dari potensi telantar dan dibuang.
Harapannya sosok-sosok seperti Burhan yang peduli dengan sosial itu terus bermunculan di negeri ini dengan caranya masing-masing untuk mengisi Kemerdekaan RI.