Mengenal Bahaya Gempa Megathrust Ancam Guncang Indonesia, Jangan Diremehkan
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan potensi terjadinya di gempa megathrust di Indonesia sangat bisa saja terjadi

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meminta masyarakat Indonesia untuk waspada akan terjadinya gempa bumi dahsyat atau disebut dengan megathrust.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan potensi terjadinya di gempa megathrust di Indonesia sangat bisa saja terjadi. Sebab adanya dua lempengan di Indonesia yang hingga kini belum memiliki tanda mengeluarkan gempar besar.
Gempa megathrust ini disebabkan zona sumber gempa potensial tetapi belum terjadi gempa besar dalam masa puluhan hingga ratusan tahun terakhir atau disebut dengan zona 'Seismic Gap'.
"'Seismic Gap' Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M8,9). Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata 'tinggal menunggu waktu' karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar," kata Daryono dalam keterangannya, Senin (12/8).
Apa yang dimaksud dengan gempa megathrust?
Dilansir dari Antara Gempa megathrust merupakan gempa bumi yang berasal dari zona megathrust. Kata "Mega" itu artinya besar, sedangkan kata "Thrust" itu artinya sesar sungkup. Letaknya itu di perbatasan pertemuan continental crust (kerak benua) dan oceanic crust (kerak samudra).
Dilansir dalam buku "Peta Sumber dan Bahaya Gempabumi Indonesia tahun 2017" berdasarkan hasil kajian para pakar gempa bumi, zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, yang menunjam masuk ke bawah Pulau Jawa disebut sebagai zona megathrust. Gempa bumi pada lajur atau zona megathrust disebut juga gempa bumi interplate.
Zona megathrust istilah untuk menyebutkan sumber gempa tumbukan lempeng di kedalaman dangkal. Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua membentuk medan tegangan (stress) pada bidang kontak antar lempeng yang kemudian dapat bergeser secara tiba-tiba memicu gempa.
Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra bergerak terdorong naik (thrusting). Gempa dalam skala besar di laut kemudian memicu tsunami.
Secara umum zona sumber kejadian gempa bumi di Indonesia berdasarkan mekanisme fisik dapat dibagi menjadi 3, salah satunya zona subduksi yang merupakan zona kejadian gempa bumi yang terjadi di sekitar pertemuan antar lempeng.
Jalur subduksi lempeng umumnya sangat panjang dengan kedalaman dangkal mencakup bidang kontak antar lempeng. Dalam perkembangannya, zona subduksi diasumsikan sebagai “patahan naik yang besar” disebut sebagai Zona Megathrust.
Zona megathrust bukanlah hal baru. Di Indonesia, zona sumber gempa ini sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Indonesia. Zona megathrust berada di zona subduksi aktif, seperti:
1. Subduksi Sunda mencakup Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba,
2. Subduksi Banda
3. Subduksi Lempeng Laut Maluku
4. Subduksi Sulawesi
5. Subduksi Lempeng Laut Filipina,
6. Subduksi Utara Papua.
Mitigasi BMKG
Pihak BMKG sendiri juga telah melakukan langkah antisipasinya dengan menyiapkan system monitoring, prosesing dan diseminasi informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat.
Salah satunya dengan cara mengedukasi masyarakat melalui kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS) dan Pembentukan Masyarakat Siaga tsunami (Tsunami Ready Community).
Daryono mengatakan di kegiatan tersebut masyarakat akan diberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, evakuasi dan lain sebagainya khususnya kepada masyarakat Indonesia bagian Utara.
"Dapat kita pantau secara realtime dan kita analisis dengan cepat termasuk memodelkan tsunami yang bakal terjadi dan dampaknya menggunakan system InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), sehingga BMKG akan segera menyebarluaskan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami di seluruh wilayah Indonesia," imbuh dia.
"Semoga upaya kita dalam memitigasi bencana gempabumi dan tsunami dapat berhasil dengan dapat menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan hingga dapat menciptakan zero victim," pungkas Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono.