Profil
Radhar Panca Dahana
Radhar Panca Dahana merupakan sastrawan Indonesia. Pria kelahiran Jakarta, 26 Maret 1965 ini mengawali karirnya dalam bidang sastra sejak kecil. Sedari dulu ia gemar menulis, cerpen pertamanya "Tamu Tak Diundang" dimuat di Kompas saat usianya menginjak 10 tahun. Sebenarnya ia tak hanya mendapatkan julukan sebagai sastrawan, karena kerap kali ia mendapatkan julukan sebagai esais, kritikus sastra, dan jurnalis.
Minatnya dalam bidang menulis terlihat sejak umur 5 tahun, saat dirinya sering tidak pulang ke rumah dan ditemukan di kawasan Bulungan sedang melihat teater. Kepiawaiannya dalam bidang sastra dan tulis menulis kemudian membawanya menjadi seorang cerpenis dan reporter lepas di sebuah majalah remaja, Zaman. Saat itu, ia sangat giat mengirimkan karya-karyanya di berbagai rubrik majalah. Ia juga sering diminta mengisi kolom di rubrik olahraga, kebudayaan, pendidikan, berita kriminalitas, dan hukum.
Radhar merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Semasa kecil, ia sering memberontak dan tak mengikuti aturan yang ada. Baik itu di sekolah maupun di rumah. Didikan orang tuanya yang otoriter dan kerap memukul membuatnya ingin mengekspresikan diri melalui sendiri dan ia memilih menyalurkan bakat di bidang kesenian meski orang tuanya tak setuju dengan pilihannya, karena orang tuanya menginginkan Radhar untuk menekuni bidang seni lukis.
Radhar yang memberontak rupanya saat itu juga mempunyai rasa takut terhadap ayahnya. Saat ia sering mengirimkan karya di berbagai media, ia takut ketahuan ayahnya dan akhirnya memakai nama samaran, Reza Mortafilini, yang mengibarkan namanya melalui dunia jurnalistik. Namun, tak lama berselang, Radhar kembali menggunakan nama aslinya. Hal inilah yang membuat kemarahan sang ayah semakin menjadi dan akhirnya membuatnya tidak pulang ke rumah dengan mulut berdarah dan teriakan "Tidak ada demokrasi di sini." Saat itu ia duduk di kelas 2 SMP. Saat ia bekerja sebagai wartawan lepas di majalah Hai.
Perjuangan Suami dari Evi Apriani dalam menunjukkan 'eksistensinya' dalam dunia tulis menulis dan sastra pada orang tuanya banyak menemui jalan terjal. Sampai akhirnya, namanya banyak dikenal orang dan membuatnya meraih penghargaan Paramadina Award pada tahun 2005. Tak hanya itu, faktor kesehatan yang nyatanya sangat mengganggu kegiatan ayah dari Cahaya Prima Putra Dahana rupanya tak mampu membendung semangat berkaryanya. Radhar yang dinyatakan terkena penyakit komplikasi ini nyatanya masih asik dan menikmati dunia sastra bagai kulit yang melekat pada tulang. Ia tak gentar dan menyerah dengan penyakit yang mengharuskannya untuk cuci darah setiap bulannya. Ia menikmati hidupnya sebagai orang yang merdeka, karena jika ia dilarang melakukan sesuatu, maka ia akan semakin menjadi untuk melakukan sesuatu tersebut.
Saat ini, Radhar aktif sebagai dosen jurusan Sosiologi Universitas Indonesia di samping sebagai sastrawan sekaligus kritikus dan budayawan.
Oleh: Atiqoh Hasan