7 Kesalahan Parenting yang Justru Bisa Membuat Anak Laki-laki Menjauh
Tujuh kesalahan parenting yang tanpa sadar menjauhkan anak laki-laki, dari menekan emosinya hingga kurangnya pelukan saat ia tumbuh besar.

Tidak ada orang tua yang sempurna. Setiap orang tua, tanpa terkecuali, tentu memiliki niat baik dalam membesarkan anak-anaknya. Namun, sering kali niat baik ini justru menjadi bumerang, terutama ketika orang tua tanpa sadar menerapkan pola asuh yang memperkuat stereotip usang tentang maskulinitas. Dalam banyak kasus, pola asuh ini bukan hanya gagal membentuk karakter anak laki-laki menjadi lebih baik, tetapi justru membuat mereka menjauh secara emosional dari orang tuanya.
Dilansir dari Your Tango, berikut ini adalah tujuh kesalahan umum dalam pola asuh anak laki-laki yang kerap dilakukan orang tua dengan niat baik, namun berdampak negatif dalam jangka panjang:
1. Menuntut Mereka Selalu Tangguh Secara Emosional

Bahkan orang tua paling progresif sekalipun sering kali tidak menyadari bahwa mereka lebih mudah memberikan pelukan dan dukungan emosional kepada anak perempuan ketika sedih, namun mendorong anak laki-laki untuk “tegar” dan hanya mengekspresikan kebahagiaan atau kemarahan. Inilah yang disebut sebagai male binary, pandangan sempit bahwa laki-laki hanya boleh merasa bahagia atau marah.
Kita tahu bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan memiliki kedalaman emosi yang sama. Oleh karena itu, sangat penting untuk tidak menyuruh mereka menahan tangis atau mengabaikan kesedihannya. Ajarkan anak laki-laki berbagai kosakata emosi, seperti sedih, frustrasi, malu, bangga, takut, canggung, cinta, keinginan, keberanian, dan rasa tidak aman. Gunakan kata-kata ini saat membahas tokoh dalam buku atau film, serta untuk menggambarkan perasaan Anda sendiri.
Beberapa anak laki-laki mungkin lebih nyaman membicarakan perasaannya saat sedang melakukan aktivitas fisik, seperti berjalan-jalan atau bermain bola. Berikan ruang itu pada mereka.
2. Menganggap Mereka Tidak Akan Pernah Menjadi Korban
Kita terbiasa berpikir bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban pelecehan, namun faktanya, anak laki-laki pun memiliki risiko yang sama. Direktur MaleSurvivor, Christopher Anderson, mengungkapkan bahwa "1 dari 6 anak laki-laki akan menjadi korban kontak intim yang tidak diinginkan sebelum mereka berusia delapan belas tahun." Angka ini tidak bisa dianggap remeh.
Oleh sebab itu, penting bagi orang tua untuk mengajarkan nama-nama bagian tubuh dengan benar, serta berdiskusi secara terbuka mengenai batasan tubuh dan konsep persetujuan sejak dini. Anak laki-laki perlu tahu bahwa mereka berhak berkata “tidak” terhadap segala bentuk sentuhan yang tidak diinginkan kapan saja.
Anderson menjelaskan, "Jika kita tidak membicarakan hal-hal ini kepada anak laki-laki kita sebagai orang tua, maka orang lainlah yang akan melakukannya. Dan orang-orang itu kemungkinan besar bukanlah sosok yang Anda inginkan untuk mengajarkan anak Anda tentang batasan tubuh dan persetujuan."
Buat anak merasa bahwa mereka selalu bisa bercerita kepada Anda tanpa takut dimarahi atau disalahkan.
3. Mendorong Mereka untuk Harus Hebat dalam Olahraga

Olahraga memang memiliki banyak manfaat, namun bukan berarti semua anak laki-laki harus mencintai atau unggul dalam olahraga. Ada kecenderungan orang tua untuk merasa bangga ketika anaknya mencetak gol atau meraih prestasi di lapangan, namun lupa memberikan apresiasi serupa saat anak meraih pencapaian non-kompetitif seperti menulis puisi atau berhasil menyelesaikan proyek pribadi.
Meskipun aktivitas fisik penting untuk kesehatan, tidak semua anak harus melakukannya dalam bentuk olahraga. Anak pertama saya, misalnya, lebih senang menggali tanah di halaman belakang, dan itu tetap merupakan bentuk aktivitas fisik yang sehat dan kreatif.
Ingatlah, anak laki-laki Anda tidak menjadi lebih “laki-laki” hanya karena menyukai olahraga.
4. Berasumsi Mereka Akan Tumbuh dan Berkencan dengan Perempuan

Meskipun terdengar sepele, kebiasaan menggunakan kata-kata seperti “nanti kamu dan istrimu...” sebenarnya menciptakan ekspektasi sempit bahwa setiap anak laki-laki akan tumbuh dan menjalani hubungan dengan cara yang sama. Padahal, kehidupan menawarkan beragam pilihan dan cara mencintai yang sehat dan bertanggung jawab.
Gunakanlah bahasa yang lebih inklusif, seperti: “Ketika kamu dewasa nanti, kamu dan pasanganmu akan membuat keputusan bersama.” Dengan cara ini, anak laki-laki akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih terbuka, penuh empati, dan menghargai perbedaan. Ia pun akan belajar menjadi laki-laki sejati yang gentle, tidak menghakimi, dan mampu membangun hubungan yang sehat serta saling menghormati.
5. Menyuruh Mereka Mengabaikan Ketakutan

Banyak orang tua dengan mudah mengatakan kepada anak laki-laki, “Ah, tidak usah takut!” atau “Kamu laki-laki, kok takut sih?” Padahal, rasa takut adalah emosi manusiawi yang wajar dirasakan oleh siapa pun.
Alih-alih menepis rasa takut, cobalah ajak anak berbicara tentang apa yang membuatnya takut. Dengarkan, validasi perasaannya, dan ajarkan bahwa keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, melainkan kemampuan untuk menghadapi ketakutan demi melakukan sesuatu yang penting.
Dengan cara ini, Anda sedang menanamkan ketahanan emosional yang sehat dan empati sejak dini.
6. Menganggap Mereka Tidak Akan Pernah Menyakiti Orang Lain
Sebagai orang tua, kita tentu ingin berpikir bahwa anak kita tidak mungkin menyakiti orang lain. Namun, pandangan ini bisa membuat kita lalai mengajarkan nilai-nilai penting seperti empati, rasa tanggung jawab, dan konsep persetujuan.
Anak laki-laki perlu belajar bahwa semua tindakan mereka berdampak pada orang lain, dan mereka bertanggung jawab atas dampak tersebut. Ajarkan bahwa segala bentuk tindakan intim memerlukan persetujuan yang jelas dan eksplisit. Beri tahu bahwa “tidak” berarti tidak, dan bahwa tidak mendapatkan jawaban “ya” pun berarti tidak.
Orang tua memiliki peran penting dalam menumbuhkan empati anak dengan mencontohkan perilaku empatik, menciptakan ruang aman untuk berbagi emosi, dan mendorong hubungan sosial yang sehat. Sebuah studi tahun 2020 menyatakan bahwa interaksi positif dengan teman sebaya membantu anak-anak mengembangkan kemampuan memahami perasaan orang lain dan keterampilan sosial.
7. Berhenti Memberi Pelukan Saat Mereka Bertambah Dewasa
Seiring bertambahnya usia, banyak orang tua mulai jarang memeluk anak laki-lakinya. Entah karena merasa mereka sudah terlalu “besar,” atau khawatir dianggap tidak pantas. Padahal, sentuhan manusia adalah kebutuhan dasar yang tidak mengenal usia.
Remaja laki-laki mungkin menunjukkan sikap canggung atau bahkan menolak pelukan, namun jauh di lubuk hati, mereka tetap membutuhkan kasih sayang. Kehangatan fisik seperti pelukan atau genggaman tangan masih memiliki makna besar bagi mereka.
Tunjukkan bahwa Anda selalu ada ketika mereka membutuhkan cinta. Meskipun tidak selalu diungkapkan secara langsung, anak laki-laki tetap membutuhkan pelukan yang menenangkan dari orang tuanya.
Menjadi orang tua anak laki-laki di era modern membutuhkan kepekaan dan keberanian untuk menantang norma-norma lama yang merugikan. Kesalahan-kesalahan dalam pola asuh sering kali berakar dari niat baik, namun tanpa disadari justru menjauhkan hubungan emosional antara orang tua dan anak.
Dengan membuka ruang dialog, menggunakan bahasa yang inklusif, dan memberikan dukungan emosional yang utuh, orang tua dapat membantu anak laki-laki tumbuh menjadi pribadi yang utuh—berempati, kuat secara emosional, dan nyaman dengan dirinya sendiri.
Karena pada akhirnya, kedekatan emosional anak kepada orang tuanya tidak dibentuk oleh seberapa “jantan” mereka diasuh, tetapi oleh seberapa dicintai, dipahami, dan diterimanya mereka sejak dini.