Benarkah Kolesterol Tinggi Bisa Memicu Kanker Pankreas? Ketahui Faktanya
Para ahli mengungkapkan fakta mengejutkan yang penting terkait hubungan kolesterol tinggi dengan kanker pankreas.
Kolesterol tinggi dan asam urat sering dianggap sebagai faktor risiko untuk berbagai penyakit. Penyakit jantung dan stroke hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak penyakit serius yang dapat dipicu oleh kondisi ini. Pertanyaannya kemudian, apakah kolesterol bisa berkontribusi pada kanker pankreas?
Untuk menjawab hal ini, Dr. dr. Hasan Maulahela, Sp.PD, Subsp.GEH(K), seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Subspesialis Gastroenterologi Hepatologi di Rumah Sakit Pondok Indah, memberikan penjelasannya. Menurut Dr. Hasan, meskipun kolesterol tinggi tidak secara langsung menyebabkan kanker pankreas, kondisi ini dapat memicu sindrom metabolik yang berisiko meningkatkan beberapa masalah kesehatan lainnya, seperti hipertensi, diabetes, fatty liver, dan asam urat.
-
Kenapa kolesterol tinggi bisa menyebabkan penyakit? Namun jika jumlahnya melebihi kebutuhan, maka dapat mengendap pada dinding-dinding arteri yang menyebabkan penyakit.
-
Apa itu kanker pankreas? Kanker pankreas adalah jenis kanker yang berasal dari sel-sel yang ada di jaringan pankreas. Sel-sel kanker pankreas merupakan sel-sel yang mengalami pertumbuhan yang tidak terkontrol dan dapat menyebar ke organ dan jaringan lain di sekitarnya.
-
Kolesterol tinggi bisa menyebabkan apa? Kadar kolesterol yang tinggi bisa menimbulkan efek samping berbahaya bagi tubuh. Dalam jangka panjang, kadar kolesterol yang tinggi dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan, terutama yang terkait dengan organ jantung seperti stroke atau penyakit jantung koroner.
-
Apa bahaya kolesterol tinggi? Bahaya kolesterol tinggi akan memengaruhi organ-organ vital tubuh hingga akhirnya menyebabkan penyakit serius.
-
Kolesterol tinggi menyebabkan apa? Dalam kadar normal, kolesterol sebenarnya diperlukan oleh tubuh dalam memaksimalkan fungsinya seperti membantu proses metabolisme.Namun, jika kadar kolesterol terlalu tinggi hal ini justru dapat memicu berbagai masalah kesehatan.
"Jadi, kolesterol itu banyak teman-temannya, tuh. Habis kena kolesterol, darah tinggi, habis itu diabetes, fatty liver, terus asam urat. Nah, ikutan-ikutannya itulah yang mengakibatkan sindrom metabolik," ungkap Hasan dalam wawancaranya dengan Health Liputan6.com di Jakarta pada Senin, 11 November 2024. Penyakit-penyakit tersebut saling terkait dan merupakan bagian dari sindrom metabolik, yang sering disertai dengan obesitas, kondisi yang diketahui sebagai salah satu faktor risiko kanker pankreas. "Walaupun kolesterol tinggi tidak langsung menyebabkan kanker pankreas, tetapi efek sampingnya dapat berujung pada gangguan metabolik yang meningkatkan risiko kanker tersebut," tambahnya.
Lebih jauh, Hasan menjelaskan tentang kondisi yang dikenal sebagai fatty pancreas atau perlemakan pankreas. Sama seperti fatty liver, kondisi ini menandakan adanya akumulasi lemak di pankreas. "Walaupun perlemakan pankreas tidak secara langsung menyebabkan kanker pankreas, tetapi bisa menimbulkan masalah pada kelenjar pankreas yang akhirnya mempengaruhi fungsinya," tutup Hasan.
Penyebab Kanker Pankreas
Kanker pankreas memiliki tingkat harapan hidup yang rendah karena sering kali terdiagnosis pada tahap yang sudah lanjut. Menurut Hasan, terdapat beberapa faktor risiko utama yang dapat menyebabkan kanker pankreas, termasuk gaya hidup dan faktor genetik. Kebiasaan merokok serta konsumsi alkohol yang berlebihan dapat merusak pankreas dan mempercepat kerusakan sel, yang dapat memicu peradangan kronis yang berpotensi berkembang menjadi kanker. Selain itu, diabetes tipe 2 juga dapat meningkatkan risiko, karena tingginya kadar gula darah dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel pankreas.
Faktor genetik juga memiliki pengaruh yang signifikan, di mana perubahan pada gen BRCA2 serta kondisi seperti sindrom Lynch atau FAMMM dapat meningkatkan kerentanan terhadap kanker ini. Riwayat keluarga yang memiliki kanker pankreas juga menjadi faktor risiko yang tidak bisa diabaikan. Selain itu, obesitas, khususnya yang berkaitan dengan lemak di area perut, dapat meningkatkan risiko sindrom metabolik dan memberikan beban tambahan pada pankreas. Usia di atas 65 tahun juga berkontribusi pada meningkatnya kemungkinan terjadinya kanker pankreas, menjadikannya sebagai salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan.
Faktor Genetik
Salah satu penyebab yang berkontribusi terhadap perkembangan kanker pankreas adalah faktor genetik. Penelitian menunjukkan bahwa adanya perubahan pada gen tertentu dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengidap kanker pankreas. Gen BRCA2, yang juga terkait dengan kanker payudara, adalah salah satu contohnya. Gen ini dapat meningkatkan kerentanan terhadap kanker pankreas, terutama bagi individu yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit tersebut. Hasan menjelaskan bahwa kanker pankreas memiliki potensi untuk menyebar ke organ lain, terutama hati, yang merupakan organ yang paling cepat terpengaruh. Namun, penyebaran kanker ini juga dapat terjadi ke organ lain seperti paru-paru dan otak. Penyebaran yang cepat dan sulit terdeteksi ini menekankan pentingnya deteksi dini.
Dia juga menekankan bahwa mengenali tanda-tanda peringatan atau 'alarm sign' pada kanker pankreas sangatlah penting. Gejala yang perlu diwaspadai termasuk penurunan berat badan yang signifikan, muntah-muntah yang berulang, serta anemia. "Jika seseorang mengalami sakit perut yang tidak biasa disertai dengan penurunan berat badan atau muntah-muntah terus-menerus, segeralah melakukan pemeriksaan lebih lanjut," ujarnya. Oleh karena itu, mengenali gejala yang mencurigakan sejak dini dan melakukan pemeriksaan secara rutin adalah langkah penting untuk mendeteksi kanker pankreas lebih awal, serta mencegah perkembangan penyakit yang lebih serius. Pankreas yang bermasalah sering kali menimbulkan gejala yang mirip dengan gangguan lambung. Untuk membedakan masalah pada pankreas dengan penyakit lambung, Hasan menyarankan agar penderita memperhatikan gejala dengan lebih seksama. Hal ini membuat pemeriksaan menyeluruh dan konsultasi dengan dokter menjadi sangat penting untuk penanganan yang tepat.
Nyeri pada Pasien Kanker
Nyeri merupakan keluhan yang paling umum dialami pasien kanker dan dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka baik secara fisik maupun psikologis. Menurut dr. I Gusti Ngurah Akwila Dwiyundha, Sp. An-TI, seorang Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit Pondok Indah, terdapat beberapa faktor yang saling berkaitan yang menyebabkan nyeri pada pasien kanker. Nyeri ini umumnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kerusakan jaringan tubuh dan efek samping dari pengobatan. Pertumbuhan sel kanker dapat merusak jaringan di sekitarnya, termasuk saraf, tulang, atau organ, yang mengakibatkan rasa nyeri yang signifikan. Kanker yang menyebar ke organ lain, seperti tulang, juga dapat menyebabkan nyeri yang sangat hebat.
Selain itu, efek samping dari pengobatan kanker seperti kemoterapi, radiasi, atau pembedahan dapat menyebabkan gangguan pada saraf, sehingga memperburuk rasa nyeri yang dialami oleh pasien. Lebih dari 50 persen pasien kanker pada stadium awal hingga menengah mengalami nyeri, dan sekitar 90 persen pasien kanker secara keseluruhan merasakan nyeri selama perjalanan penyakit mereka. Intensitas nyeri ini bervariasi tergantung pada lokasi dan jenis kanker, serta tingkat penyebarannya. Contohnya, pada pasien dengan kanker payudara yang menyebar ke tulang, nyeri tulang dapat muncul meskipun sel kanker awalnya berada di payudara. Selain itu, nyeri yang dialami oleh pasien kanker dapat menyebabkan kecemasan dan depresi, terutama jika tingkat nyerinya sangat parah.
Oleh karena itu, manajemen nyeri yang efektif sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Setiap pasien memerlukan penanganan yang sesuai dengan kondisi dan tingkat keparahan nyeri yang dialami. Sering kali, pengobatan yang diberikan akan menggabungkan beberapa metode untuk mengatasi nyeri secara efektif. Dalam perawatan kanker, sangat penting untuk memahami sumber nyeri secara akurat agar dapat memberikan penanganan yang optimal, baik melalui terapi medis maupun pendekatan lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien.