Profil
Surono
Jenderal purnawirawan ini memulai dinas militernya di jaman Jepang, sebagai anggota Peta. Setelah terjadinya Revolusi Kemerdekaan, ia ditunjuk menjadi komandan kompi sebelum akhirnya menjadi komandan batalyon. Surono menjabat asisten KSAD pada saat usianya 28 tahun. Pada 1983, ia dilantik menjadi menteri koordinator bidang politik dan keamanan (menko polkam), menggantikan M. Panggabean.
Karena perawakannya yang atletis membuatnya ingin melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Olah Raga (STO) usai menyelesaikan pendidikan SMAnya. Ia memang memiliki hobi yudo. Bahkan, ia pernah mengikuti Institut Yudo Kodoka di Tokyo, Jepang. Kemudian, karier militer mengantarkan ia masuk ke SSKAD di Bandung. Ia yang saat itu merupakan hakim perwira untuk Yogyakarta, Semarang, dan Pekalongan pun berangkat ke Amerika Serikat untuk mengikuti Command and General Staff College pada tahun 1957. Setahun kemudian, ia kembali ke Indonesia dan mendapatkan tugas mengajar di SSKAD II. Ia dipindahkan ke Magelang, Jawa Tengah setelah sebelumnya sempat menjadi Direktur Akademi Teknik AD. Di kota ini, Surono menjabat sebagai Wakil Gubernur sebelum menjadi Gubernur sampai tahun 1966.
Namanya mencuat tatkala menjabat sebagai Pangdam VII/Diponegoro. Bersama Sarwo Eddie dari RPKAD, H.R. Dharsono dari Siliwangi, dan Kemal Idris dari Kostrad, ia berperan dalam forum rapat panglima se-Jawa untuk menghadapi era Orde Lama. Ia lalu menjabat sebagai Pangkowilhan II, kemudian KSAD. Sesudah menggantikan Sumitro sebagai Wakil Panglima ABRI, ia diangkat menjadi Menko Kesejahteraan Rakyat (Kesra). Menjabat Menko Kesra, ia bersama Soepardjo Rustam, Gubernur Jateng, mengeluarkan biaya sebesar 1,15 milyar untuk membangun museum di Kalibatang, Semarang. Surono menyumbangkan 1.100 keris koleksinya sendiri untuk disimpan dalam museum itu.
Sosoknya yang disiplin dan teliti membawanya untuk menerima sejumlah bintang, tanda jasa dan penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri.
Riset dan analisa oleh Pilar Asa Susila