Keseruan Tradisi Ojung, Saling Pukul Rotan untuk Datangkan Hujan

Merdeka.com - Sejak lama masyarakat Pulau Jawa begitu identik dengan komoditas pertanian. Berada dalam lingkup kerajaan menumbuhkan kepercayaan, tradisi maupun ritual. Salah satunya saat musim kemarau panjang tiba. Ajaran turun temurun berupa ritual meminta hujan kerap dilaksanakan. Beda daerah beda pula prosesinya, salah satunya di Sumenep, Jawa Timur. Masyarakatnya biasa melakukan tradisi Ojung atau Ojhung, saling beradu pukul rotan di dalam arena pertunjukan.
Kedua peserta ojung berlomba saling memukul tubuh lawan dengan rotan. Mulanya Tradisi Ojung berasal dari Sumenep, hingga menyebar ke Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi, Surabaya, Malang, hingga Lumajang. Pertarungan yang dilakukan dua orang pria dianggap sebagai permohonan. Sedangkan mereka percaya, luka dan darah yang mengalir ialah wujud kesungguhan yang nyata dalam meminta hujan. Terlepas itu, nilai spiritual dan kekeluargaan tertanam dalam pagelaran Ojung.
Meskipun mengandung unsur kekerasan, tradisi Ojung tetap dilaksanakan. Pasalnya, perkembangan zaman semakin lama menggeser keberadaan Ojung yang nyaris punah.
©2021 Merdeka.com/Eko Andi
Para pemain Ojung bukanlah pria sembarangan. Mereka harus berani dan gesit dalam memainkan rotan. Rotan diibaratkan sebagai pedang, sebanyak mungkin diayunkan untuk mengenai tubuh lawan. Tak hanya itu, kesungguhan beradu rotan harus dijauhkan dari sifat pemarah dan balas dendam. Kedua sifat buruk ini akan menodai kemurnian tradisi Ojung yang telah ada berabad-abad lamanya.
Konon tradisi Ojung berkembang pada abad ke-13 di Pulau Madura yang tak lepas dari Leluhur mereka Raden Imam Asy'ari. Dialah sang murid Sunan Kalijaga yang turut menyebarkan agama Islam di Madura. Selain itu, pelaksanaan tradisi Ojung merupakan ajang mengenang perjuangan Raden Imam Asy'ari. Kala itu Ojung digelar di tanah lapang yang diikuti oleh para pemudanya.
©2021 Merdeka.com/Eko Andi
Rotan yang digunakan memiliki panjang 1 meter, karakteristik kayu rotan yang lentur dan kokoh. Jika terkena pukulannya tak hanya luka memar yang ditinggalkan, tajamnya rotan mampu membelah kulit lawan. Tak bisa dielakkan, darah segar akan keluar dan menetes saat pertandingan.
Seorang wasit yang dijuluki Peputo akan mengatur jalannya pertarungan. Ia akan menjaga permainan agar tetap sportif tanpa menimbulkan dendam. Keberadan penonton terkadang menjadi provokator kericuhan jika jago mereka dikalahkan lawan.
©2021 Merdeka.com/Eko Andi
Jika sudah menemukan lawan berduel, sang wasit akan memberikan aba-aba. Kedua pemain saling memukul dan menghindari pukulan. Satu kali pertandingan berlangsung 5 hingga 7 menit. Bahkan ada pemain yang mampu melakukan Ojung lebih dari satu ronde. Dia yang menang apabila telah mengantongi jumlah pukulan lebih dari lawan. Selain itu, jatuhnya rotan lawan juga menandakan permainan berakhir.
Musik tradisional Okol dan Kidungan mengiringi jalannya tradisi Ojung. Sorak-sorak penonton menambah keseruan jalannya Ojung. Baik pemenang maupun pihak yang kalah akan saling memaafkan. Digambarkan pemain Ojung bak seorang kesatria. Di medan pertandingan mereka bertempur, namun selepasnya, nilai persahabatan selalu ada pada posisi tertinggi.
©2021 Merdeka.com/Eko Andi
Remaja, hingga tua berusia 17 hingga 50 tahun diperkenankan bertanding dalam tradisi Ojung. Biasanya para pemain memilih lawan duel mereka di balik arena. Jika terjadi kesepakatan, maka mereka harus mendaftarkan diri ke pengatur acara Ojung.
Hingga kini keseruan Ojung tetap dilestarikan dalam tradisi meminta hujan. Warisan budaya dari Madura ini dianggap sakral yang dapat menghindarkan diri dan masyarakat dari musibah dan bencana. Terlepas itu, nilai kekeluargaan, sportivitas, dan kebersamaan menjadi nilai utama yang selalu dijunjung tinggi. (mdk/Ibr)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya