Analisa: TKDN Bisa Berbahaya Diterapkan di Semua Sektor
Indonesia perlu fokus pada keunggulan komparatif yang dimiliki, seperti nikel, batu bara, dan kelapa sawit.

Presiden Prabowo Subianto kembali mengambil langkah strategis dalam mengelola kebijakan ekonomi Indonesia. Baru-baru ini, Prabowo memberikan arahan tegas kepada para menteri untuk segera mengevaluasi dan melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Meskipun kebijakan ini memiliki tujuan untuk mendorong penggunaan komponen lokal dalam industri, Prabowo menilai bahwa penerapannya harus lebih fleksibel agar tidak justru menjadi penghambat daya saing industri nasional.
Prabowo menekankan bahwa meskipun kebijakan TKDN sangat penting, penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi global yang semakin kompetitif.
"Kebijakan TKDN itu penting, tapi harus lebih fleksibel. Jangan sampai kebijakan yang bagus malah jadi penghambat," ujar Prabowo. Menurutnya, industri Indonesia harus bisa bersaing secara global, dan aturan yang terlalu kaku justru akan membatasi daya saing produk lokal.
Hal ini mencuat sebagai jawaban atas tantangan globalisasi dan global supply chain yang semakin kompleks. Di era persaingan ketat antar negara, kerja sama internasional dalam penyediaan bahan baku dan komponen semakin menjadi kebutuhan mendesak.
Sebagai contoh, beberapa komponen atau bahan baku lebih efisien diproduksi oleh negara lain. Jika Indonesia memaksakan untuk memproduksi semuanya secara domestik, dikhawatirkan produk lokal akan kalah bersaing, baik dalam hal harga maupun kualitas.
Pandangan Pengamat Ekonomi: Fokus pada Keunggulan Komparatif
Ronny P. Sasmita, Pengamat Ekonomi dari Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), menyambut positif langkah Prabowo tersebut. Menurutnya, kebijakan TKDN tidak bisa diterapkan secara seragam pada semua jenis produk.
Dalam konteks global supply chain, Indonesia perlu fokus pada keunggulan komparatif yang dimiliki, seperti nikel, batu bara, dan kelapa sawit, yang memang hanya tersedia di Indonesia.
Ronny mengingatkan bahwa dalam beberapa sektor, terutama industri otomotif dan teknologi, komponen atau bahan baku setengah jadi datang dari berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa memaksakan bahwa semua komponen, seperti dalam produksi mobil listrik, harus sepenuhnya berasal dari dalam negeri.
“Dalam konteks industri otomotif atau teknologi tinggi, kita harus realistis. Beberapa bahan baku lebih efisien diproduksi oleh negara lain,” katanya.
Diplomasi Ekonomi dan Kebutuhan untuk Beradaptasi dengan Persaingan Global
Strategi ini, menurut Ronny, tidak berarti Indonesia melemah dalam aspek ekonomi, melainkan lebih kepada cerdik dalam membaca dinamika persaingan global. Indonesia harus pintar dalam memilih sektor mana yang harus dikembangkan dengan menggunakan bahan baku dalam negeri, dan mana yang harus diimpor agar produk tetap kompetitif. Pendekatan ini juga dapat membuka peluang bagi diplomasi ekonomi yang lebih cerdas, terutama dalam hubungan dagang dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Contoh serupa pernah diterapkan oleh China selama perang dagang dengan Amerika Serikat, ketika China meningkatkan impor produk pertanian dari AS untuk memperbaiki hubungan dagang. Ini menjadi contoh nyata bagaimana strategi "take and give" dalam diplomasi ekonomi dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Ronny juga menekankan bahwa kebijakan ini akan menguntungkan produsen lokal, karena mereka akan terdorong untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi produksi. Dengan cara ini, industri Indonesia tidak hanya akan bertahan di pasar domestik, tetapi juga mampu bersaing secara global.
Mendorong Industri Lokal untuk Lebih Kompetitif
Selain itu, kebijakan ini akan memberikan dorongan bagi industri lokal untuk terus memperbaiki kualitas bahan baku dan komponen setengah jadi agar dapat bersaing, baik di pasar domestik maupun internasional. Ini akan membuka peluang bagi inovasi dan perbaikan yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing.
"Indonesia harus mengakui bahwa kita tidak bisa memproduksi semuanya dengan biaya yang lebih efisien dari negara lain. Namun, untuk sektor-sektor yang bisa kita kuasai, kita harus berfokus pada itu, dan sisanya, kita bisa mengimpor," tambah Ronny.
Dengan strategi ini, Indonesia diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang lebih dinamis dan tidak kaku, yang pada akhirnya dapat memperkuat daya saing industri dalam negeri di era globalisasi.