BLT Rp4,5 Juta Thailand Tuai Kritik, Dinggap Tidak Akan Dongkrak Daya Beli
Ekonomi Thailand tumbuh 1,9 persen tahun lalu, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Indonesia.
Pekan ini, partai penguasa di Thailand, Pheu Thai, mulai mendistribusikan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar 10.000 baht (Rp4,5 juta) kepada 45 juta orang. Langkah ini sebagai inti dari rencana ekonomi untuk mendorong pertumbuhan, yang tertinggal dari negara-negara tetangga akibat tingginya utang rumah tangga, lemahnya ekspor, dan merosotnya pendapatan dari pariwisata.
Dilansir dari Financial Times, Perdana Menteri baru Paetongtarn Shinawatra memperkenalkannya secara bertahap, dengan pemerintah memperkirakan bahwa tahap pertama saja akan meningkatkan pertumbuhan sebesar 35 basis poin tahun ini.
Pada tahap pertama, pemerintah akan menyalurkan dana kepada sekitar 14,5 juta orang, termasuk beberapa kelompok masyarakat yang paling rentan. Awalnya dimaksudkan untuk disalurkan melalui dompet digital, bantuan tersebut kini akan langsung ditransfer ke rekening bank penerima.
"(Bantuan tunai) akan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, membantu mendistribusikan peluang ekonomi kepada masyarakat,” kata Paetongtarn pada acara peluncuran minggu ini. “Akan ada banyak kebijakan stimulus lainnya setelah ini. Pemerintah akan melanjutkan dan memajukan proyek dompet digital.”
Kebijakan yang Dikritik Ekonom
Sekitar 36 juta warga Thailand telah mendaftar untuk menerima bantuan tersebut, tetapi para ekonom memperingatkan bahwa bantuan tersebut akan berdampak terbatas dan hanya sekali saja serta tidak akan banyak membantu memperbaiki ekonomi yang terbebani oleh masalah struktural dan ketidakstabilan politik.
Ekonomi Thailand tumbuh 1,9 persen tahun lalu, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, yang tumbuh 5 persen.
Thailand tengah berjuang melawan tingginya utang rumah tangga, yang menghambat belanja konsumen dan, dengan lebih dari 90 persen PDB, merupakan salah satu utang tertinggi di Asia. Perekonomian negara itu juga terpukul oleh ekspor yang lemah dan perlambatan pariwisata sejak pandemi Covid-19.
"Skema dompet digital tidak diragukan lagi menguntungkan konsumsi jangka pendek, kekhawatiran tetap ada bahwa tanpa disertai reformasi struktural, ini mungkin hanya akan menjadi dorongan sementara, daripada solusi jangka panjang untuk masalah ekonomi mendalam negara ini,” kata Luca Castoldi, manajer portofolio senior di Reyl Intesa Sanpaolo.
Beberapa pihak juga meragukan program tersebut akan dilaksanakan secara penuh, mengingat adanya tekanan pada keluarga Shinawatra, yang memiliki sejarah berselisih dengan kelompok militer-kerajaan.