KEIN sebut utang asing bisa wujudkan cita-cita ekonomi Pancasila

Merdeka.com - Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengingatkan pemerintah untuk tidak membebankan jangka panjang untuk rakyat Indonesia akibat penerbitan utang. Untuk itu, pemerintah perlu memperhatikan imbal hasil dan suku bunga dalam penerbitan utang.
"Kalau imbal hasilnya tinggi dan jangka waktunya pendek, berpotensi menjadi beban bagi anggaran belanja pemerintah," ujar Arif dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (23/7).
Dia berharap, agar pemerintah mampu mengonversi utang menjadi aset yang produktif, sehingga mampu memberikan kesejahteraan bagi warga negara Indonesia. Data Kementerian Keuangan menyebutkan, utang pemerintah per Mei 2017 mencapai Rp 3.672 triliun.
Walaupun utang ini besar, kata Arif, seharusnya tetap dapat dimanfaatkan sebagai aset yang produktif, sehingga mampu mendorong terciptanya kesejahteraan sosial. Jadi, utang jangan dilihat sebatas upaya untuk menutupi kekurangan likuiditas atau memberikan napas lebih lega bagi fiskal.
"Jika hal itu dilaksanakan, maka kondisi utang saat ini akan sangat mendukung upaya pemerintah dalam mewujudkan semangat Ekonomi Pancasila. Karena yang harus dilihat adalah pemanfaatannya," tegasnya.
Sepanjang pemanfaatannya memberikan kesejahteraan kepada warga, maka dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas nasional. Dengan demikian, lanjutnya, terjadi proses pembangunan secara berkesinambungan yang baik.
Yakni, utang terkonversi menjadi aset produktif, kemudian memberikan manfaat pada tingkat kesejahteraan warga, selanjutnya masyarakat Indonesia pun semakin produktif sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan berkualitas.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan telah turun menjadi 10,64 persen, lebih rendah dibandingkan September dan Maret 2016 yang masing-masing 10,70 persen dan 10,86 persen. Bahkan, ketimpangan juga mulai menyempit. Pada Maret 2017, indeks Gini yang menjadi indikator ketimpangan telah turun menjadi 0,393 dari 0,394 pada September 2016.
Sedangkan tingkat pengangguran, pada 2017, pemerintah mampu mengurangi tingkat pengangguran yang sangat drastis. Per Februari 2017, data BPS menyebutkan, tingkat pengangguran hanya 5,3 persen lebih rendah dibanding Februari dan Agustus tahun sebelumnya yang masing-masing: 5,5 dan 5,6 persen.
"Tingkat pengangguran tersebut merupakan yang terendah sejak 18 tahun terakhir atau sejak 1999," jelas Arif.
Untuk itulah, Politisi PDIP ini menekankan agar kementerian dan lembaga pemerintahan mendukung penuh cita-cita Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan perekonomian yang berkeadilan sosial. Hal ini sejalan dengan semangat Ekonomi Pancasila.
Menurut Arif, Ekonomi Pancasila merupakan sistem pengaturan hubungan antara negara dan warga negara yang ditujukan untuk memajukan kemanusiaan dan peradaban, memperkuat persatuan nasional melalui proses usaha bersama dengan melakukan distribusi akses ekonomi yang adil bagi seluruh warga negara.
"Kebijakan perekonomian harus didorong untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan separuh-separuh," tambahnya.
Dia menambahkan, setidaknya ada tiga pilar penting dalam Ekonomi Pancasila. Pertama, pembangunan ekonomi harus berorientasi keadilan. Kedua, ekonomi digagas untuk memberikan pemerataan pembangunan dan mempersatukan bangsa. Ketiga, semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan kesempatan sama.
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya