Profil
Zainal Abidin
Kyai Haji Zainal Abidin adalah sosok laki-laki religius yang lahir dari pasangan tokoh agama dengan julukan Longko Pati bersama istrinya yang berasal dari desa Nganjuk Kabupaten Pati,Jawa Tengah. Zainal Abidin lahir di Banjarwaru Kecamatan Ngawen Kabupaten Blora.
Zainal Abidin tumbuh menjadi seorang yang cerdas dan pintar dalam ilmu agama Islam. Dengan kecerdasan dan kepintaran Zainal Abidin ini, menghantarkannya menjadi menantu dari seorang hartawan di desa Talokwohmojo. Ia kemudian menikahi putri hartawan tersebut bernama Haminah. Dari pernikahan tersebut, Zainal Abidin dan Haminah dikaruniai 6 orang anak laki-laki dan 3 orang perempuan.
Dari ketertarikan sang mertua terhadap Zainal Abidin akan kepintarannya dalam agama Islam, maka sang mertua memberikan sebidang tanah satu hektar di desa Talokwohmojo untuk dijadikan sebuah tempat belajar mengkaji ilmu agama seperti belajar Alquran dan kitab-kitab kuning atau biasa disebut pondok pesantren, tepatnya pada tahun 1900. Dengan berjalannya waktu, pondok pesantren Zainal Abidin semakin berkembang, dia menjadi seorang mursyid tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah pada tahun 1908. Maksud dari Naqsabandiyah Khalidiyah adalah Zainal Abidin sudah mendapat izin mengajar dan membaiat para santri tarekat di desa tersebut.
Zainal Abidin mempunyai guru Tarekat Naqsabandiyah dengan nama K.H Ahmad Rowobayan, guru tersebut menikahkan anaknya yang bernama Ruqayyah dengan Zainal Abidin setelah sepeninggalan istri pertama Haminah. Dari pernikahan kedua tersebut Zainal Abidin dikaruniai 3 orang putra dan putri.
Pondok pesantren yang didirikan K.H Zainal Abidin merupakan pondok pesantren tertua dan satu-satunya pondok pesantren tarekat di kota Blora. Dia memimpin pondok tarekat tersebut hingga akhir hayatnya pada tahun 1922. Kemudian dilanjutkan dengan putra pertamanya bernama K.H Ahmad Hasan hingga meninggalnya pada tahun 1942. Kepemimpinan berlangsung estafet dipegang K.H Ismail,adik dari K.H Ahmad Hasan. Pada masa kepemimpinan K.H Ismail, pondok pesantren tersebut juga pernah menjadi markas pertahanan para tentara dan sukarelawan sewaktu melawan Belanda. K.H Ismail meninggal pada tahun 1956. Sepeninggal K.H Ismail, putra mantu dari putrinya yang merupakan anak dari istri kedua K.H Zainal Abidin, yakni K.H Nahrowi yang ditunjuk menjadi pemimpin pondok pesantren hingga dilanjutkan ke putranya K.H Musthofa Nahrowi. Saat ini pondok pesantren tersebut menjadi pondok pesantren syariat dan tarekat yang mengikuti kurikulum negara.
Riset dan analisa oleh Eko Setiawan