Ada Isu Rasisme di Balik Temuan Omicron oleh Ilmuwan Afrika Selatan
Merdeka.com - Ilmuwan Afrika Selatan, yang dipuji dunia internasional karena pertama kali mendeteksi virus corona varian Omicron, menuding negara-negara Barat mengabaikan bukti awal bahwa varian baru Covid tersebut jauh lebih ringan daripada varian penyebab gelombang Covid sebelumnya.
Dua ahli virus corona ternama Afrika Selatan menyampaikan kepada BBC, skeptisisme Barat terkait kerja mereka bisa ditafsirkan sebagai "rasis," atau, setidaknya, penolakan "untuk mempercayai sains karena datang dari Afrika".
"Sepertinya negara-negara kaya ini jauh lebih pandai menyerap berita buruk yang datang dari negara-negara seperti Afrika Selatan," jelas Profesor Shabir Madhi, ahli vaksin dari Universitas Witwatersrand di Johannesburg.
-
Bagaimana cara virus Corona varian Omicron bermutasi? Mereka menemukan bahwa varian asli Omicron BA1 telah mengalami lebih dari 50 kali mutasi, termasuk beberapa yang memungkinkannya untuk menghindari sistem kekebalan tubuh manusia.
-
Apa yang terjadi pada virus Corona varian Omicron di tubuh pria tersebut? Selama 20 bulan masa infeksi, dokter mencoba segala cara untuk membantu pria lanjut usia tersebut, namun tidak ada upaya yang berhasil.Tubuhnya tidak dapat memberikan respons kekebalan yang cukup kuat untuk melawan virus Corona, bahkan dengan bantuan obat antibodi sekalipun.
-
Apa yang ditemukan ilmuwan di Afrika Selatan? Ilmuwan menemukan kerangka dua spesies baru kucing bergigi atau bertaring pedang yang tidak diketahui sebelumnya.
-
Di mana kasus Covid-19 pertama ditemukan? Menurut pengumuman resmi dari Presiden Joko Widodo, kasus Covid-19 pertama di Indonesia terjadi pada dua warga Depok, Jawa Barat, yang merupakan seorang ibu berusia 64 tahun dan putrinya berusia 31 tahun.
-
Apa yang ditemukan peneliti? Para peneliti menggambarkan spesies baru dari genus Calotes di Tiongkok selatan dan Vietnam utara.
-
Siapa yang terlibat dalam penelitian Covid-19 ini? Tim peneliti yang dipimpin oleh Wellcome Sanger Institute dan University College London di Inggris menemukan respons kekebalan baru yang memberikan pertahanan garis depan yang kuat.
"Ketika kami menyampaikan berita baik, tiba-tiba ada banyak skeptisisme. Saya akan menyebut itu rasisme," lanjutnya, dikutip dari BBC, Kamis (20/1).
Profesor Salim Karim, mantan kepala komite penasihat Covid pemerintah Afrika Selatan dan wakil presiden Dewan Sains Internasional sepakat dengan Profesor Madhi.
"Kita perlu belajar dari satu sama lain. Penelitian kami akurat. Setiap orang memperkirakan yang terburuk (dari Omicron) dan ketika mereka melihatnya, mereka mempertanyakan apakah observasi kami cukup akurat secara ilmiah," jelasnya, sembari mengakui bahwa banyaknya mutasi baru di Omicron mungkin telah berkontribusi pada kehati-hatian ilmiah.
Gelombang terbaru Covid di Afrika Selatan yang mulai pada akhir November 2021, sekarang mengalami penurunan tajam dan nampaknya bakal diumumkan telah berakhir di seluruh negeri dalam beberapa hari ke depan.
Masih ada kekhawatiran angka infeksi bisa melonjak lagi setelah sekolah-sekolah dibuka kembali, namun secara keseluruhan, gelombang Omicron di Afrika Selatan dipekirakan bertahan tidak lama sepanjang periode gelombang sebelumnya.
Sampai awal bulan lalu, para ilmuwan dan dokter telah membagikan bukti-bukti yang mengindikasikan Omicron yang sangat menular, menyebabkan rawat inap dan kematian yang jauh lebih kecil daripada gelombang varian Delta.
"Prediksi yang kami buat di awal Desember masih sama. Omicron kurang parah. Secara dramatis. Virus tersebut berevolusi untuk beradaptasi dengan inang manusia, untuk menjadi semacam virus musiman," jelas Profesor Marta Nunes, peneliti senior di Departemen Analitik Vaksin dan Penyakit Menular Universitas Witwatersrand.
WHO terus menerus memperingatkan jangan menganggap Omicron "ringan", merujuk pada tingkat penularannya yang tinggi dapat menyebabkan "tsunami" di seluruh dunia, mengancam sistem kesehatan.
Tapi para ilmuwan Afrika Selatan tetap mempertahankan data mereka.
"Angka kematian sangat berbeda (dengan Omicron). Kami melihat angka kematian yang sangat kecil," jelas Profesor Karim, yang mengacu pada data terbaru yang menunjukkan angka rawat inap rumah sakit empat kali lebih rendah daripada varian Delta, dan angka pasien yang membutukan mesin ventilasi berkurang.
"Bahkan tidak perlu waktu dua minggu sebelum bukti pertama mulai bermunculan bahwa ini kondisinya jauh lebih ringan. Dan ketika kami membagikan itu kepada dunia, ada beberapa skeptisisme," jelasnya.
Keuntungan demografis
Muncul perdebatan bahwa Afrika - atau setidaknya beberapa bagian benua itu - mungkin mengalami pandemi secara berbeda karena demografi dan faktor lainnya. Usia rata-rata Afrika Selatan, misalnya, 17 tahun lebih muda dari Inggris.
Tetapi para ilmuwan di Afrika Selatan bersikeras bahwa keuntungan demografis yang mungkin dimiliki penduduk dalam hal memerangi Covid dikalahkan kesehatan yang buruk. Kelebihan kematian di Afrika Selatan selama pandemi sekarang mencapai 290.000 - atau 480 per 100.000 orang - dua kali lipat lebih daripada angka kematian di Inggris.
“Faktanya adalah Afrika Selatan memiliki populasi yang jauh lebih rentan daripada Inggris dalam hal penyakit parah. Ya, kami memiliki populasi yang lebih muda tetapi kami memiliki populasi yang tidak sehat karena prevalensi penyakit yang lebih tinggi, termasuk obesitas dan HIV," jelas Profesor Madhi.
"Setiap situasi dan setiap negara memiliki beberapa karakteristik unik. Tapi kami telah belajar bagaimana memperkirakan dari satu keadaan ke keadaan lainnya," tambah Profesor Karim.
Angka 290.000 kematian berlebih belum dikonfirmasi sebagai cerminan akurat dari jumlah korban pandemi di Afrika Selatan. Ini adalah tiga kali lipat jumlah kematian resmi Covid-19.
Tetapi para ilmuwan di sini percaya sebagian besar dari kematian berlebih itu mungkin karena pandemi. Separuhnya terjadi saat gelombang Delta, namun sejauh ini hanya 3 persen yang terjadi saat gelombang Omicron, kata Profesor Madhi.
Tak ada karantina
Pemerintah Afrika Selatan menolak memperketat berbagai pembatasan baru selama gelombang Omicron dan mengkririk tajam pemerintah negara lain yang memberlakukan pembatasan perjalanan dari kawasan Afrika.
Para ilmuwan di Afrika Selatan menyambut baik respons pemerintahnya dan berpendapat negara lain bisa mencontoh Afrika Selatan.
"Kami percaya virus ini tidak akan musnah dari populasi manusia. Sekarang kita harus belajar bagaimana hidup dengan virus dan virus akan belajar bagaimana hidup dengan kita," jelas Profesor Nunes.
"(Angka kematian rendah karena Omicron) menunjukkan kita berada dalam fase pandemi yang berbeda. Saya menyebutnya sebagai fase pemulihan," kata Profesor Madhi.
Profesor Madhi juga mendesak pemerintah untuk menghentikan tes Covid-19 di tingkat komunitas, mengatakan itu tidak perlu dan tidak ada gunanya.
Sebaliknya, kata dia, yang harus diprioritaskan adalah meminimalkan jumlah orang yang dirawat di rumah sakit akibat Covid-19.
Profesor Madhi juga menyatakan keprihatinannya bahwa pesan yang beragam tentang keberhasilan Afrika Selatan yang berkembang dalam memerangi pandemi dapat "benar-benar mengurangi kepercayaan pada vaksin (terlepas dari kenyataan bahwa) kita tahu vaksin mencegah penyakit parah".
Meskipun Afrika Selatan tertinggal jauh di belakang negara-negara seperti Inggris dalam hal tingkat vaksinasi, setidaknya tiga perempat dari populasi sekarang menikmati perlindungan yang signifikan dari kombinasi infeksi dan vaksinasi sebelumnya.
Profesor Karim mengakui bahwa penularan Omicron yang tinggi menyebabkan masalah bagi negara-negara seperti AS, tetapi, mengutip pengalaman Afrika Selatan sendiri, dia mengatakan "Hal baiknya adalah karena (tingkat infeksi) melonjak secepat itu, akan turun secepat itu juga, sehingga tekanan pada rumah sakit akan jauh lebih sedikit."
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Varian JN.1 merupakan pemicu lonjakan Covid-19 di Singapura.
Baca SelengkapnyaSaat ini, Omicron EG.5 mendominasi di tengah kenaikan kasus Covid-19.
Baca SelengkapnyaVarian baru virus corona bernama Pirola tengah menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia.
Baca SelengkapnyaTerjadi lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia menjelang Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.
Baca SelengkapnyaAni menjelaskan, JN.1 memiliki gejala yang sama seperti Covid-19 lainnya.
Baca SelengkapnyaMohammad Syahril, melanjutkan, varian Covid Eris termasuk ke dalam kelompok varian XBB, yang merupakan 'anakan' atau turunannya varian Omicron.
Baca SelengkapnyaTjandra Yoga Aditama mengatakan, tren peningkatan laju kasus Covid-19 di Indonesia dan sejumlah negara lain masih perlu diwaspadai.
Baca SelengkapnyaWHO menaikkan status Mpox menjadi darurat kesehatan pada 14 Agustus 2024.
Baca SelengkapnyaWHO saat ini memonitor berbagai varian yang banyak ditemui.
Baca SelengkapnyaCovid-19 varian JN.1 dilaporkan berkaitan erat dengan varian BA.2.86 dan dikhawatirkan dapat mempengaruhi pola penularan dan tingkat keparahan penyakit.
Baca SelengkapnyaWHO kemarin mengumumkan wabah mpox atau cacar monyet kini dalam status darurat kesehatan global.
Baca SelengkapnyaKemenkes meminta pelayanan kesehatan meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran Covid-19.
Baca Selengkapnya