Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Alasan Mengapa Banyak Orang Tidak Mau dan Ragu Disuntik Vaksin Covid-19

Alasan Mengapa Banyak Orang Tidak Mau dan Ragu Disuntik Vaksin Covid-19 Ilustrasi Vaksin Covid-19. ©2021 REUTERS/Dado Ruvic/File Photo

Merdeka.com - Seharusnya tidak ada keraguan terkait ini: Vaksin Covid-19 menyelamatkan nyawa.

Pertimbangkan beberapa statistik terbaru dari Inggris. Dalam sebuah penelitian yang menelusuri lebih dari 200.000 orang, hampir setiap peserta mengembangkan antibodi yang bisa melawan virus corona dalam dua pekan setelah menerima dosis kedua mereka.

Terlepas dari kekhawatiran sebelumnya bahwa vaksin yang ada saat ini mungkin kurang efektif melawan varian Delta, analisis menyatakan vaksin AstraZeneca dan Pfizer-BioNTech mengurangi angka rawat inap sampai 92-96 persen. Seperti banyak diulangi para praktisi kesehatan, risiko efek samping parah karena vaksin sangat kecil dibandingkan dengan risiko penyakit tersebut.

Orang lain juga bertanya?

Namun masih banyak orang yang masih enggan disuntik vaksin Covid. Menurut laporan terbaru IMF, dikutip dari BBC, Kamis (5/8), berkisar sekitar 10 sampai 20 persen orang di Inggris, sekitar 50 persen di Jepang, dan 60 persen di Prancis jumlah orang yang tidak mau divaksinasi.

Hasilnya menjadi semacam perang budaya di media sosial, dengan banyak komentator online mengklaim mereka yang ragu-ragu dengan vaksin itu bodoh atau egois. Tetapi psikolog yang berspesialisasi dalam pengambilan keputusan medis berpendapat, pilihan ini seringkali merupakan hasil dari banyak faktor rumit yang perlu ditangani secara sensitif, jika kita ingin memiliki harapan untuk mencapai kekebalan populasi.

Pertama, beberapa perbedaan. Meskipun ada asumsi siapa pun yang menolak vaksin memiliki keyakinan yang sama, ketakutan sebagian besar orang yang ragu-ragu terhadap vaksin tidak boleh bingung dengan teori aneh para antivaksin (anti-vaxxer).

"Mereka sangat vokal, dan mereka memiliki kehadiran yang kuat secara offline dan online," kata Mohammad Razai di Population Health Research Institute, St George's, Universitas London, yang telah menulis tentang berbagai faktor psikologis dan sosial yang dapat memengaruhi keputusan orang seputar vaksin.

"Tapi mereka minoritas yang sangat kecil."

Sebagian besar orang yang ragu-ragu terhadap vaksin tidak memiliki agenda politik dan tidak berkomitmen pada tujuan anti-ilmiah: mereka hanya ragu-ragu tentang pilihan mereka untuk menerima suntikan.

Kabar baiknya adalah banyak orang yang awalnya ragu-ragu berubah pikiran.

"Tetapi bahkan penundaan dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan karena infeksi virus menyebar dengan sangat cepat," kata Razai.

Ini akan menjadi masalah jika kita masih berurusan dengan varian virus yang lebih lama, tetapi transmisi yang lebih tinggi dari varian Delta meningkatkan urgensi untuk menjangkau sebanyak mungkin orang secepat mungkin.

Untungnya, para ilmuwan mulai mempelajari keragu-raguan vaksin jauh sebelum Sars-Cov-2 pertama kali diidentifikasi di Wuhan pada Desember 2019, dan mereka telah mengeksplorasi berbagai model yang mencoba menangkap perbedaan perilaku kesehatan masyarakat. Salah satu yang paling menjanjikan dikenal sebagai model 5Cs, yang mempertimbangkan faktor psikologis berikut:

Kepercayaan (Confidence): kepercayaan orang tersebut pada kemanjuran dan keamanan vaksin, layanan kesehatan yang menawarkannya, dan pembuat kebijakan yang memutuskan peluncurannya

Berpuas diri (Complacency): apakah orang tersebut menganggap penyakit itu sendiri sebagai risiko serius bagi kesehatannya

Perhitungan (Calculation): keterlibatan individu dalam pencarian informasi ekstensif untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat

Kendala/Constraint (atau kenyamanan/Convenient): seberapa mudah bagi orang yang bersangkutan untuk mengakses vaksin

Tanggung jawab kolektif (Collective responsibility): kesediaan untuk melindungi orang lain dari infeksi, melalui vaksinasi sendiri

Pada 2018, Cornelia Betsch di Universitas Erfurt di Jerman dan rekannya meminta peserta untuk menilai serangkaian pernyataan yang mengukur masing-masing 5C, dan kemudian membandingkan hasilnya dengan penerapan prosedur yang relevan, seperti influenza atau vaksin HPV. Hasilnya, mereka menemukan 5C dapat menjelaskan sejumlah besar variasi dalam keputusan orang, dan secara konsisten mengungguli banyak prediktor potensial lainnya – seperti kuesioner yang lebih berfokus secara eksklusif pada masalah kepercayaan tanpa mempertimbangkan faktor lain.

Dalam penelitian yang saat ini tidak dipublikasikan, Betsch baru-baru ini menggunakan model tersebut untuk memprediksi penyerapan vaksin Covid-19 dan hasilnya sejauh ini menunjukkan model 5C dapat menjelaskan sebagian besar variasi dalam keputusan orang.

Ada juga faktor lain yang berkontribusi. Sebuah penelitian baru-baru ini dari Universitas Oxford menunjukkan takut jarum suntik adalah penghalang utama bagi sekitar 10 persen populasi. Tetapi pendekatan 5C tampaknya menangkap alasan paling umum untuk keragu-raguan vaksin.

Bias konfirmasi

Ketika mempertimbangkan faktor-faktor yang berbeda ini dan cara mereka mempengaruhi perilaku orang, juga berguna untuk memeriksa berbagai bias kognitif yang diketahui mempengaruhi persepsi kita.

Pertimbangkan dua C pertama – kepercayaan (confidence) pada vaksin, kepuasan diri (complacency) tentang bahaya penyakit itu sendiri.

Jessica Saleska di Universitas California, Los Angeles menunjukkan manusia memiliki dua kecenderungan yang tampaknya bertentangan - "bias negatif" dan "bias optimisme" yang masing-masing dapat mengubah penilaian orang tentang risiko dan manfaat.

Bias negatif menyangkut cara Anda menilai peristiwa di luar kendali Anda.

"Ketika Anda disajikan dengan informasi negatif, itu cenderung melekat dalam pikiran Anda," kata Saleska.

Bias optimisme, sebaliknya, menyangkut keyakinan Anda tentang diri sendiri - apakah Anda berpikir Anda lebih bugar dan lebih sehat daripada rata-rata orang. Bias ini dapat bekerja secara independen, artinya Anda dapat berfokus pada efek samping berbahaya dari vaksin sekaligus meyakini bahwa Anda cenderung tidak menderita penyakit tersebut, kombinasi yang akan mengurangi kepercayaan diri dan meningkatkan rasa puas diri.

Lalu ada bias konfirmasi yang terkenal, yang juga dapat memutarbalikkan persepsi orang tentang risiko virus melalui ketersediaan informasi yang salah dari sumber yang meragukan yang membesar-besarkan risiko vaksin. Ketergantungan pada sumber daya yang menyesatkan ini berarti bahwa orang yang mendapat skor tinggi pada ukuran "penghitungan (calculation)" skala 5C – orang yang secara aktif mencari data – seringkali lebih ragu-ragu terhadap vaksin daripada orang yang mendapat skor lebih rendah.

"Jika Anda sudah berpikir vaksinasi bisa berisiko, lalu Anda mengetik 'apakah vaksinasi ini berbahaya?', maka yang akan Anda temukan hanyalah informasi yang menegaskan pandangan Anda sebelumnya," kata Betsch.

Kita juga tidak boleh melupakan faktor "kendala/kenyamanan (constraint/convenience)" dalam 5C. Sederhananya, persepsi bahwa vaksin sulit diakses hanya akan mengecilkan hati orang yang menunggu untuk divaksinasi.

Razai sepakat masalah kenyamanan ini perlu dipertimbangkan, terutama bagi mereka yang berada di komunitas miskin yang mungkin kesulitan dengan waktu dan biaya perjalanan ke pusat vaksinasi. Dia menyarankan vaksinasi dilakukan di pusat-pusat komunitas lokal seperti tempat ibadah.

Membuka dialog

Tidak ada solusi yang mudah, tetapi otoritas kesehatan dapat terus memberikan informasi yang mudah dicerna dan akurat untuk mengatasi masalah utama. Menurut laporan baru-baru ini oleh Institut Inovasi Kesehatan Global (IGHI) Imperial College London, hambatan utama adalah kekhawatiran pasien tentang efek samping dan kekhawatiran bahwa vaksin belum diuji secara memadai.

Razai menyarankan edukasi tentang sejarah pengembangan vaksin diperbanyak. Penggunaan mRNA dalam vaksin telah dipelajari selama beberapa dekade, misalnya – dengan uji coba panjang yang menguji keamanannya. Ini berarti teknik ini dapat dengan cepat diadaptasi untuk pandemi.

"Tidak satu pun dari teknologi yang telah digunakan akan berbahaya karena kami telah menggunakan teknologi ini di bidang lain dalam perawatan kesehatan dan penelitian," kata Razai.

Sarah Jones, seorang peneliti doktoral yang ikut memimpin laporan IGHI, menyarankan pemerintah bekerja lebih kreatif dengan banyak mitra komunikasi yang efektif. Misalnya dengan kolaborasi dengan influencer di setiap komunitas, yang dapat memberikan informasi yang konsisten dan akurat tentang risiko dan manfaat vaksin.

Razai mengatakan, lembaga kesehatan juga perlu terlibat dalam dialog terbuka.

"Kita harus mendengarkan kekhawatiran orang, menjawab mereka, dan memberi mereka informasi sehingga mereka dapat membuat keputusan yang tepat."

Saleska setuju penting untuk terlibat dalam percakapan dua arah.

"Bersikap hormat dan mengakui keprihatinan mereka - saya pikir itu sebenarnya bisa lebih penting daripada hanya mengungkapkan fakta atau statistik," katanya.

"Sering kali, ini lebih tentang hubungan pribadi daripada tentang informasi aktual yang Anda berikan."

(mdk/pan)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
40 Atlet Dinyatakan Positif Covid-19 di Olimpiade Paris 2024
40 Atlet Dinyatakan Positif Covid-19 di Olimpiade Paris 2024

Adapun beberapa atlet terkenal telah dinyatakan positif COVID-19 di Olimpiade Paris 2024.

Baca Selengkapnya
Kasus Covid-19 Muncul lagi, Sekda Jateng Sebut yang Terpapar Karena Belum Booster
Kasus Covid-19 Muncul lagi, Sekda Jateng Sebut yang Terpapar Karena Belum Booster

Terkait mobilisasi orang yang banyak berpotensi terjadi pada liburan Natal dan Tahun Baru, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan pembatasan perjalanan.

Baca Selengkapnya
Vaksin Covid-19 Mulai Berbayar, Ini Kelompok yang Bisa Dapat Gratis
Vaksin Covid-19 Mulai Berbayar, Ini Kelompok yang Bisa Dapat Gratis

Maxi berujar, kelompok pertama yang bisa mendapatkan vaksin gratis adalah yang belum pernah menerima vaksin Covid-19 sama sekali.

Baca Selengkapnya
Menkes Ungkap Alasan Tak Masif Minta Masyarakat Vaksinasi Mpox
Menkes Ungkap Alasan Tak Masif Minta Masyarakat Vaksinasi Mpox

Sebelumnya, Budi menyatakan vaksin cacar monyet masih menyasar kelompok tertentu, seperti penderita HIV.

Baca Selengkapnya
Kasus Covid-19 Naik Lagi, Pakar Minta Pemerintah Cek Antibodi Masyarakat
Kasus Covid-19 Naik Lagi, Pakar Minta Pemerintah Cek Antibodi Masyarakat

Tjandra Yoga Aditama mengatakan, tren peningkatan laju kasus Covid-19 di Indonesia dan sejumlah negara lain masih perlu diwaspadai.

Baca Selengkapnya
40 Persen Kucing dan Anjing di Indonesia Sudah Vaksinasi Rabies
40 Persen Kucing dan Anjing di Indonesia Sudah Vaksinasi Rabies

Jumlah hewan kesayangan yang melimpah di Indonesia menimbulkan beragam permasalahan bagi para pemilik anabul dan hewan peliharaan.

Baca Selengkapnya
Punya Efek Samping Berbahaya, AstraZeneca Tarik Peredaran Vaksin Covid-19 di Seluruh Dunia
Punya Efek Samping Berbahaya, AstraZeneca Tarik Peredaran Vaksin Covid-19 di Seluruh Dunia

Badan Pengawas Obat Eropa juga telah melarang peredaran vaksin ini.

Baca Selengkapnya
Cacar Monyet di Indonesia Diprediksi Bisa Capai 3.600 Kasus dalam Setahun
Cacar Monyet di Indonesia Diprediksi Bisa Capai 3.600 Kasus dalam Setahun

Kelompok orang yang rawan tertular cacar monyet diminta untuk sadar dalam mencegah penyakit ini.

Baca Selengkapnya
Mengenal TTS, Penyakit yang Dikaitkan dengan Efek Samping  Vaksin AstraZeneca
Mengenal TTS, Penyakit yang Dikaitkan dengan Efek Samping Vaksin AstraZeneca

Hebohnya kasus TTS berawal dari gugatan yang dilayangkan Jamie Scott ke Pengadilan Tinggi Inggris.

Baca Selengkapnya
Masyarakat Lebih Pilih BPJS Kesehatan Dibanding Asuransi Lain, Ini Alasannya
Masyarakat Lebih Pilih BPJS Kesehatan Dibanding Asuransi Lain, Ini Alasannya

Jumlah tertanggung industri asuransi jiwa Lebih rendah dibandingkan jumlah kepesertaan BPJS Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di tahun 2022.

Baca Selengkapnya
Kelompok Ini Wajib Terima Vaksin Mpox, Termasuk Anak-Anak?
Kelompok Ini Wajib Terima Vaksin Mpox, Termasuk Anak-Anak?

Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin menyebut, pihaknya telah mendatangkan 1.000 dosis vaksin Mpox.

Baca Selengkapnya
Mulai Januari 2024 Vaksin Covid-19 Berbayar, Berapa Harga Idealnya?
Mulai Januari 2024 Vaksin Covid-19 Berbayar, Berapa Harga Idealnya?

Mulai Januari 2024, vaksinasi Covid-19 tidak lagi gratis alias berbayar.

Baca Selengkapnya