Benny Wenda Harap Pemerintah Indonesia Izinkan Petinggi PBB Kunjungi Papua Barat

Merdeka.com - Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai Tabimasmas mendesak para pemimpin dunia untuk membantu warga Papua Barat. Hal ini disampaikannya dalam sidang Majelis Umum PBB yang diselenggarakan di New York sepanjang pekan ini.

"Kami mengutuk dengan tegas pelanggaran HAM atas masyarakat adat Papua Barat," ujar Tabimasmas, seperti yang dilansir dari SBS News pada Minggu (29/9).

Secara khusus, Tabimasmas juga menyebut agar Australia dapat mengambil sikap dalam menanggapi masalah di Papua Barat.

"Australia harus meningkatkan secara substansial pada masalah Papua Barat, terutama karena mereka (Australia) menjadi bagian Dewan HAM, serta anggota Forum Kepulauan Pasifik," jelas Tabimasmas lebih lanjut.

Menanggapi isu Papua, Menteri Luar Negeri Marise Payne turut menyatakan keprihatinannya. Menurutnya, pemerintahan Australia terus memantau perkembangan isu di Papua melalui perwakilan Australia di Jakarta.

"Kami jelas sangat prihatin dengan laporan kekerasan di Papua dan Papua Barat," ucap Payne.

Vanuatu adalah sebuah negara kecil yang terletak di Samudra Pasifik, sebelah Timur Australia. Negara seluas 12.199 ini menjadi satu-satunya perwakilan yang menyuarakan isu Papua dalam Majelis Umum PBB tahun ini.

Sementara itu, tokoh separatis Papua Benny Wenda menekankan, pentingnya kunjungan PBB untuk melihat langsung apa yang terjadi di Papua.

"Saya berharap pemerintah Indonesia dan Presiden Jokowi akan mengizinkan Komisaris Tinggi PBB untuk mengunjungi Papua Barat, karena ini adalah krisis HAM," katanya kepada SBS News.

Benny turut hadir di markas PBB itu untuk melobi, agar PBB bersedia memantau langsung kondisi Papua Barat. Namun, ia tidak datang bersama rombongan Indonesia.

Demi bisa menyuarakan pendapat di tengah sidang majelis PBB, Benny sempat mencoba bergabung dengan rombongan Vanuatu. Akan tetapi kehadirannya ditolak PBB karena bukan merupakan warga negara Vanuatu.

Beberapa pekan terakhir, sejumlah protes yang berujung ricuh terjadi di Wamena dan Jayapura, Papua. Gejolak ini dipicu oleh isu rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya.

Menyusul kondisi di Papua yang tidak kondusif, pemerintah membatasi akses internet di wilayah tersebut. Kepolisian mengatakan, 31 orang tewas dalam kerusuhan yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.

Dilansir dari The Guardian, korban jiwa diklaim merupakan warga non-Papua yang terjebak di tengah kerusuhan. Polisi mengatakan, korban umumnya mengalami luka tusuk dan panah, atau terjebak dalam gedung yang terbakar.

Meski demikian berdasarkan laporan The Guardian, diperkirakan jumlah korban tewas mencapai 41 orang lebih, setelah pasukan keamanan menembaki demonstran. Dikabarkan, para demonstran terdiri dari siswa sekolah menengah.

Salah satu saksi mata mengatakan, dirinya melihat 20 orang ditembak mati oleh polisi. Sementara, warga Papua berusaha melawan dengan batu dan panah, The Guardian melaporkan.

Selama kerusuhan terjadi, wartawan lokal ataupun asing kesulitan menjangkau lokasi untuk sekadar meliput. Senin (23/9) lalu, tiga jurnalis dicegah meliput aksi protes mahasiswa di Jayapura. RNZ mengabarkan, ketiga pewarta itu dibawa ke kantor kepolisian dan dihujani makian.

Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan, kericuhan di Papua tahun ini menjadi yang terburuk dalam 20 tahun terakhir.

Reporter Magang: Anindya Wahyu Paramita