Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Buku Karya Penyintas Uighur Beberkan Kekejaman China di Kamp Konsentrasi Xinjiang

Buku Karya Penyintas Uighur Beberkan Kekejaman China di Kamp Konsentrasi Xinjiang gulhumar. ©screengrab France24

Merdeka.com - Setelah tiga tahun yang mengerikan berada di kamp pendidikan ulang China, Gulbahar Haitiwaji, seorang perempuan Uighur dipikat agar kembali ke China dari Prancis hanya untuk ditangkap, diinterogasi, dan disiksa, seperti diceritakan dalam sebuah buku yang baru terbit.

"Di kamp, hidup dan mati tak berarti sama seperti yang berlaku di tempat lain. Ratusan kali lebih saya pikirkan, ketika hentakan kaki penjaga membangunan kami pada malam hari, bahwa saatnya kami dieksekusi. Ketika sebuah tangan dengan kejam menekan gunting di seluruh tengkorakku, dan tangan lain merenggut rambutku yang rontok di pundakku, saya tutup mata, kabur dengan air mata, berpikir akhir hidupku begitu dekat," tulis Gulbahar Haitiwaji dalam bukunya, “Rescapée du Goulag Chinois” (“Penyintas Penjara China”).

Buku ini ditulis bersama jurnalis Le Figaro, Rozenn Morgat dan diterbitkan dalam Bahasa Prancis pada 13 Januari.

Selama tiga tahun, Haitiwaji, penutur Bahasa Turki, seorang Muslim, minoritas Uighur, mengalami penyiksaan di kamp pendidikan ulang China. Dalam bukunya, ibu dua putri ini mengisahkan interogasi, penyiksaan, kelaparan, pencucian otak, dan pemaksaan KB yang dia alami dan saksikan.

Menghilangkan Orang

Haitiwaji lahir pada 1966 di provinsi barat laut China. Seorang insinyur seperti suaminya, dia mulai bekerja pada 1980 di sebuah perusahaan minyak di Karamay. Diskriminasi terhadap Uighur sudah sangat mengakar pada saat itu, dan secara profesional di dunia kerja, prospek mereka kecil.

Semuanya berubah

Pada 2002, suami Haitiwaji tak bisa lagi menghadapi situasi demikian, kemudian memutuskan mengundurkan diri dan mencari kerja ke luar negeri. Pertama, suaminya ke Kazakhstan dan kemudian ke Norwegia, sebelum menetap di Paris, di mana dia mengajukan suaka dan empat tahun kemudian membawa istri dan putrinya.

Selama bertahun-tahun, keluarganya secara bertahap beradaptasi. Namun pada November 2016, semuanya berubah.

Haitiwaji, yang saat itu berusia 50 tahun, suatu hari menerima telepon dari bekas perusahaannya di China, memanggilnya untuk menandatangani beberapa dokumen resmi yang diperlukan untuk pensiunnya. Dia memiliki firasat buruk, mengetahui orang-orang Uighur yang diasingkan sedang diawasi dan di Xinjiang, perburuan sedang berlangsung. Tetapi perusahaan bersikeras dan terlepas dari firasatnya, dia memutuskan untuk pergi ke China, hanya selama dua minggu.

Benar saja, itu jebakan. Tak lama setelah tiba, Haitiwaji ditangkap dan dibawa ke kantor polisi Karamay, di mana dia ditunjukkan foto seorang perempuan muda yang sangat dia kenal - salah satu putrinya, Gulhumar.

"Dia berpose di depan Place du Trocadéro di Paris, terbungkus mantel hitamnya, yang akan saya berikan padanya. Dalam foto itu, dia tersenyum, sebuah miniatur bendera Turkestan Timur (nama yang digunakan oleh orang Uighur untuk menyebut Xinjiang) di tangannya, sebuah bendera yang dilarang oleh pemerintah China. Bagi orang Uighur, bendera itu melambangkan gerakan kemerdekaan daerah itu. Itu adalah akhir dari salah satu demonstrasi yang diselenggarakan oleh Kongres Uiuughur Dunia cabang Prancis, yang mewakili Uighur di pengasingan dan berbicara menentang penindasan China di Xinjiang," tulis Haitiwaji dalam bukunya, dikutip dari France 24, Senin (18/1).

Pihak berwenang China menuduh putri Gulmuhar melakukan terorisme dan ibunya harus bertanggung jawab.

Haitiwaji ditahan dan dipisahkan dari keluarganya.

"Tak ada seperti Xinjiang di seluruh wilayah China lainnya. Membuat seseorang hilang sangat mungkin. Lebih buruk lagi: itu mudah," ungkapnya.

Selama beberapa pekan, dia dikunci di sebuah dan penyiksaan dimulai. Dia dinilai seorang kriminal, tanpa tahu alasannya.

"Penjaga datang pada suatu pagi dan mengikatku dengan rantai ke jeruji ranjang, tanpa kata. Itu dua pekan lalu. Sejak saat itu, saya hidup duduk bersandar di sisi ranjang besi, pantat saya berdebu. Saya bisa naik ke kasur untuk malam ini."

Dipindah ke Kamp

Pada Juni 2017, pihak berwenang memindahkan Haitiwaji pusat pendidikan ulang di mana para guru berusaha "menghapus terorisme Islam" dari pikiran warga Uighur. Menurut Amnesty International dan Human Rights Watch, lebih dari 1 juta Uighur sedang atau telah dipindahkan ke kamp-kamp ini.

Para tahanan menjadi target pencucian otak intensif. Mereka dilarang berbicara bahasa asli mereka dan kamera mengawasi mereka setiap saat di dalam sel mereka, koridor, dan bahkan toilet.

Hari-hari mereka dihabiskan dengan belajar sejarah China dan deklarasi untuk mengglorifikasi Presiden China Xi Jinping.

Sterilisasi Perempuan dengan Dalih Vaksinasi

Perempuan juga dikirim untuk divaksinasi, tapi menurut Haitiwaji, mereka malah disterilkan. Dia menyadari hal ini saat berbicara dengan tahanan lain.

"Selama waktu luang, banyak yang curhat kepada saya, malu karena tidak mendapat menstruasi lagi. Mereka bilang menstruasi mereka berhenti tepat setelah vaksinasi. Saya yang sudah berhenti menstruasi mencoba menenangkan mereka. Tapi jauh di lubuk hati, sebuah pemikiran buruk sudah mulai terbentuk: Apakah mereka mensterilkan kami?"

Menurut penyelidikan yang diterbitkan Juni lalu oleh AP, pemerintah China telah melakukan tes kehamilan kepada perempuan Uighur di Xinjiang dan memaksa mereka untuk memakai IUD, menjalani sterilisasi atau menggugurkan kandungan mereka.

Bebas dan Kembali ke Prancis

Pada November 2018, dua tahun setelah penangkapannya dan di akhir persidangan selama sembilan menit, Haitiwaji dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara.

Tapi ribuan kilometer jauhnya, keluarganya berjuang untuk mendapatkan kabarnya dan, yang lebih penting, berusaha membebaskannya. Putrinya Gulhumar memutuskan untuk berbicara di depan umum. Pada Februari 2019, Gulhumar meluncurkan pengajuan banding pertama di France 24.

"Putri saya belum mengetahuinya, tapi dia baru saja memicu permusuhan. Dia berbicara secara terbuka dan menuduh China melakukan perlakuan tidak manusiawi," tulis Hatiwaji.

Masalah ini sekarang ditangani Kementerian Luar Negeri Prancis. Diplomasi akhirnya dimulai, karena suami dan anak perempuan Haitiwaji berstatus pengungsi di Prancis. Negosiasi berlangsung lama, namun akhirnya Haitiwaji dipindahkan ke sebuah apartemen dan dijadikan tahanan rumah.

Pada Agustus 2019, setelah persidangan singkat, hakim dari Karamay menyatakan dia tidak bersalah dan diizinkan meninggalkan Xinjiang dan berkumpul kembali dengan keluarganya di Prancis tanpa menjalani hukuman. Kelegaannya terlihat jelas, tetapi bekas lukanya permanen.

"Saya kehilangan akal sehat di kamp, itu benar. Tapi ini semua sangat nyata. Apa yang saya alami adalah bukan ekspresi fantasi tidak wajar dari seorang tahanan yang melebih-lebihkan kondisinya. Saya terbawa, seperti ribuan orang lainnya, dalam kegilaan China. China yang mendeportasi. China yang menyiksa. China yang membunuh warga Uighurnya."

Setelah tiga tahun “kegilaan” ini, Haitiwaji telah memilih untuk berbicara secara terbuka, meskipun membahayakan dirinya dan, terutama, kepada kerabatnya yang masih tinggal di China. Dia sekarang ingin menjadi suara bagi warga Uighur yang menjadi korban penindasan brutal China.

(mdk/pan)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Cerita Warga Uighur Hilang Kontak Tujuh Tahun dengan Keluarga Akibat Aksi Genosida
Cerita Warga Uighur Hilang Kontak Tujuh Tahun dengan Keluarga Akibat Aksi Genosida

Cerita Warga Uighur Hilang Kontak Tujuh Tahun dengan Keluarga Akibat Aksi Genosida

Baca Selengkapnya
Aksi Solidaritas untuk Muslim Uighur, Demonstran Bentangkan Spanduk Tragedi Urumqi
Aksi Solidaritas untuk Muslim Uighur, Demonstran Bentangkan Spanduk Tragedi Urumqi

Massa AMI menuntut PBB agar membawa kasus tindakan kekerasan China terhadap muslim Uighur ke Mahkamah Internasional.

Baca Selengkapnya
Imparsial Terbitkan Buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan', Ceritakan Jejak Kasus Aktivis Orba Hilang Tergerus Zaman
Imparsial Terbitkan Buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan', Ceritakan Jejak Kasus Aktivis Orba Hilang Tergerus Zaman

Buku diterbitkan bertepatan gerakan melawan lupa 17 tahun aksi Kamisan terhadap 13 korban aktivis 97-98

Baca Selengkapnya
Jurnalis Palestina Diusulkan Jadi Penerima Nobel
Jurnalis Palestina Diusulkan Jadi Penerima Nobel

Komite Nobel akan mengumumkan peraih Nobel Perdamaian pada Oktober mendatang.

Baca Selengkapnya
Kisah-Kisah Mencekam dari Penjara Israel, Tahanan Palestina Alami Penyiksaan Terburuk, Dipukuli Sampai Disetrum
Kisah-Kisah Mencekam dari Penjara Israel, Tahanan Palestina Alami Penyiksaan Terburuk, Dipukuli Sampai Disetrum

Kisah-Kisah Mencekam dari Penjara Israel, Tahanan Palestina Alami Penyiksaan Terburuk, Dipukuli Sampai Disetrum

Baca Selengkapnya
FOTO: Biadab! Israel Bom Dua Jurnalis Al Jazeera saat Sedang Liputan di Gaza
FOTO: Biadab! Israel Bom Dua Jurnalis Al Jazeera saat Sedang Liputan di Gaza

Al Jazeera menyampaikan kedua jurnalisnya reporter dan juru kamera dibunuh di kamp pengungsi Shati, sebelah barat Kota Gaza.

Baca Selengkapnya
Israel Penjarakan Jurnalis Asing yang Ungkap Kerusakan Pangkalan Militer Akibat Serangan Rudal Iran
Israel Penjarakan Jurnalis Asing yang Ungkap Kerusakan Pangkalan Militer Akibat Serangan Rudal Iran

Iran menembakkan rudal ke Israel pada 1 Oktober lalu, dalam Operasi Janji Sejati 2.

Baca Selengkapnya
Potret Reporter Cilik Palestina Berusia 9 Tahun Lama Jamous, 'Saya Suka Posting Situasi Perang'
Potret Reporter Cilik Palestina Berusia 9 Tahun Lama Jamous, 'Saya Suka Posting Situasi Perang'

Berikut potret reporter cilik Palestina berusia 9 tahun bernama Lama Jamous.

Baca Selengkapnya
9 Desember Peringati Hari Pencegahan Genosida Internasional, Ini Latar Belakangnya
9 Desember Peringati Hari Pencegahan Genosida Internasional, Ini Latar Belakangnya

Setiap tahun, pada tanggal 9 Desember, dunia memperingati Hari Pencegahan Genosida sebagai suatu bentuk komitmen bersama untuk mencegah tragedi kemanusiaan.

Baca Selengkapnya
Sosok Cantik Sumayya Wushah Jurnalis Perang Cilik yang Ada di Jalur Gaza
Sosok Cantik Sumayya Wushah Jurnalis Perang Cilik yang Ada di Jalur Gaza

Jurnalis cantik di Jalur Gaza ini berusia 11 tahun.

Baca Selengkapnya
Melihat Kutupalong di Bangladesh, Lahan Hutan yang Dibuka Pemerintah untuk Pengungsi Etnis Rohingya
Melihat Kutupalong di Bangladesh, Lahan Hutan yang Dibuka Pemerintah untuk Pengungsi Etnis Rohingya

Tak tanggung-tanggung, ribuan hektar disediakan Bangladesh untuk para pengungsi.

Baca Selengkapnya
Mengenang Tragedi Rumoh Geudong, Tindak Pelanggaran HAM Berat Masa Konflik Aceh
Mengenang Tragedi Rumoh Geudong, Tindak Pelanggaran HAM Berat Masa Konflik Aceh

Peristiwa kelam ini cukup memberikan luka mendalam bagi masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI di era konflik Aceh.

Baca Selengkapnya