Cerita Mereka yang Menyesal Setelah Bergabung dengan ISIS di Suriah
Merdeka.com - Nur Dhania baru berusia 15 tahun ketika dia terpikat propaganda ISIS hingga memutuskan berangkat ke Suriah pada 2015.
Begitu tiba di Suriah remaja asal Indonesia ini langsung menyadari kekeliruannya. Dia sebelumnya telah meyakinkan keluarganya untuk bergabung dengan 'kekhalifahan' ISIS.
Kini, dia menyebut kehidupan di sana tidaklah seperti surga yang digambarkan para propagandis.
-
Kenapa Pengungsi Rohingya datang ke Indonesia? Kapolda Aceh Irjen Achmad Kartiko menyebut, para pengungsi itu kabur dari Cox's Bazar di Bangladesh, tempat penampungan terbesar warga Rohingya yang kabur dari Myanmar.
-
Siapa yang terkena dampak terorisme di Indonesia? Di Indonesia, aksi terorisme telah menyebabkan banyak kerugian dan korban. Mereka menjadi korban terorisme mengalami disabilitas seumur hidupnya, bahkan tak sedikit juga yang harus meregang nyawa.
-
Apa teori masuknya Islam di Indonesia? Proses Masuknya Islam ke Indonesia Menurut Teori Gujarat Teori Gujarat merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang Islamisasi di Indonesia.
-
Siapa yang terlibat dalam penyebaran Islam? Salah satu tokoh terkenal dari Kesultanan Demak adalah Sunan Kalijaga.
-
Kapan Islam masuk ke Indonesia? Hamka menolak pendapat yang mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-13, sebab pada kenyataannya pada tersebut di Indonesia sudah berdiri suatu politik Islam. Jadi sudah barang tentu Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelumnya, yakni sekitar abad ke-7 Masehi atau pada abad pertama Hijriyah.
-
Bagaimana Islam masuk ke Indonesia? Proses perkembangan Islam di Indonesia sendiri tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer, melainkan secara damai dan melalui berbagai jalur seperti perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.
Dia merasa tertipu dan merasa sepenuhnya bertanggung jawab atas kesulitan yang kini dialami keluarganya.
"Saya anak manja, menolak mendengarkan orang lain. Saya sombong, keras kepala," kata dia, seperti dikutip dari situs ABC Indonesia, Senin (25/3).
Ketika itu, Nur Dhania jadi yang pertama dari keluarganya yang pergi bergabung dengan 'kekhalifahan'. Ketika itu, ISIS menguasai wilayah luas yang membentang dari Suriah barat ke Irak timur.
Yang luar biasa, 25 orang kerabatnya - termasuk nenek, saudara, orangtua, paman, bibi dan sepupunya - mengikuti jejaknya.
Namun hanya dalam tempo setahun, keluarga ini telah mempertaruhkan segalanya untuk kembali pulang ke Indonesia.
Terpesona
Nur Dhania pertama kali mendengar tentang ISIS dari pamannya yang kini mendekam dalam penjara karena pelanggaran terorisme. Sang paman ini juga turut membujuk anggota keluarga besar lainnya pergi ke Suriah.
Ketika itu, tahun 2014, Nur banyak menghabiskan waktu bermain media sosial, dan melahap semua informasi tentang ISIS dan propaganda tentang 'surga' di Suriah.
Namun Nur membantah mengalami radikalisasi oleh ISIS atau termotivasi jadi pelaku terorisme. Dia, katanya, lebih tergoda oleh janji kehidupan utopis di Suriah.
"Saya terpesona," katanya, mengenai propaganda ISIS yang menawarkan perumahan, pendidikan dan kesehatan gratis.
ISIS juga menjanjikan pekerjaan untuk semua orang serta membayarkan hutang keluarga yang datang ke sana.
Nur pun berusaha meyakinkan keluarganya mengenai hal itu. Dia lari dari rumah ketika keluarganya menolak.
Ketakutan akan keselamatan putri mereka, orangtua Nur akhirnya mengambil keputusan drastis.
Ayahnya Dwi Djoko Wiwoho bukan saja berhenti sebagai PNS di Batam, tapi juga menjual rumah mereka di Jakarta untuk membiayai perjalanan ke Suriah, melalui Turki.
Dalam bulan-bulan berikutnya, total ada 26 anggota keluarganya yang pergi ke sana. Tujuh di antaranya ditahan di Turki dan dideportasi kembali ke Indonesia.
Tetapi 19 orang lainnya, termasuk Nur Dhania dan orangtuanya, berhasil mencapai Kota Raqqa.
Selalu dilamar
Begitu keluarga Nur Dhania tiba di Suriah, mereka ditempatkan terpisah.
Perempuan dewasa dan anak-anak ditempatkan di asrama yang menurut Nur sangat kotor, bersama perempuan lain yang tak mereka kenal.
Cekcok fisik dan perselisihan sesama penghuni, katanya, menjadi hal biasa. Sering pula terjadi pencurian.
Para kombatan ISIS secara teratur datang ke asrama ini dan meminta Nur Dhania, saudara perempuannya dan wanita remaja lainnya untuk menikah. Tapi dia selalu menolak.
Kerabat laki-laki Nur dibawa ke perkemahan selama seminggu untuk mempelajari aturan yang ditetapkan ISIS.
Mereka, katanya, juga diajari menggunakan senjata, termasuk AK-47 dan granat berpeluncur roket. Tetapi Nur menegaskan ayah dan pamannya selalu menolak untuk berperang.
"Kami hanya ingin menjadi warga biasa," kata Nur Dhania.
Akhirnya keluarganya mendapatkan rumah yang disediakan ISIS.
Tetapi Nur mengatakan ketika saudara laki-lakinya menolak ikut berperang, rezim ISIS menyalahkannya.
"Mereka memaksa orang pergi berperang. Tapi Alquran menyebutkan bahwa tidak semua orang harus pergi berperang, ada yang perlu tinggal," katanya.
Mereka yang berharap menemukan surga di Raqqa, hanya dalam setahun, menemukan kondisi keluarganya sudah berantakan.
Neneknya meninggal karena sakit. Seorang pamannya terbunuh dalam serangan udara. Yang lainnya menghilang secara bersamaan.
17 anggota keluarganya yang selamat akhirnya memutuskan melarikan diri dari sana.
Ditipu penyelundup
Nur Dhania menceritakan betapa sulitnya menemukan orang yang bersedia menyelundupkan mereka ke perbatasan Kurdi. Karena ada risiko mereka dilaporkan ke ISIS.
Seorang penyelundup mencuri barang-barang mereka termasuk uang, ponsel, dan laptop.
Penyelundup lainnya juga hanya menipu keluarga ini.
Setelah tiga kali mencoba akhirnya ada penyelundup yang berhasil meloloskan mereka ke perbatasan Kurdistan.
Selama dua tahun berikutnya, keluarga ini ditampung di sebuah kamp pengungsi PBB yang dijaga oleh pasukan Kurdi.
Nur sempat bertemu dengan jurnalis di kamp ini. Saat itu dia sudah mengakui bahwa semua yang dialami keluarganya adalah kesalahannya.
Pada akhirnya, pihak berwenang Indonesia memfasilitasi kepulangan keluarga Nur bersama warga Indonesia lainnya.
Mereka tiba kembali di Jakarta dua tahun setelah mereka tinggalkan. Tapi cobaan mereka belum juga berakhir.
Polisi dan satuan anti-teror telah menunggu mereka begitu turun dari pesawat.
Seluruh keluarga Nur ditahan oleh pihak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Menjengkelkan
Masalah kembalinya mantan kombatan ISIS menjadi masalah menjengkelkan bagi pihak berwenang Indonesia.
Diperkirakan 800 warga Indonesia pergi ke Irak dan Suriah sejak ISIS mendeklarasikan kekhalifahan pada 2014.
Sekitar setengahnya - termasuk Nur Dhania dan keluarganya - telah kembali.
Sampai tahun lalu, Indonesia belum memiliki aturan mengenai warganya yang bergabung dengan kelompok militan di luar negeri.
Namun ayah Nur dan dua pamannya telah didakwa melakukan pelanggaran terkait terorisme karena menjalani pelatihan militer di Raqqa.
Pada Mei 2018, Dwi Djoko Wiwoho divonis 3,5 tahun penjara. Hukuman serupa juga diterima paman Nur.
"Polisi mengatakan kami semua seharusnya dihukum, tapi karena pertimbangan hati nurani, hanya laki-laki dewasa yang didakwa," kata Nur Dhania.
"Mereka mengakui kami tidak lagi berbahaya, tapi mereka harus mengikuti prosedur hukum," katanya.
Anggota keluarga lainnya menghabiskan beberapa minggu dalam program deradikalisasi sebelum dibebaskan.
Mantan kepala BNPT Ansyad Mbay sebelumnya menyatakan pentingnya memberikan kesempatan kedua kepada mereka.
"Mereka mendukung ISIS, tapi mereka sebenarnya ditipu. Dari sudut pandang kemanusiaan, siapa lagi yang akan menerimanya jika bukan kita? Kita tidak bisa membuang mereka ke laut, apalagi mereka menunjukkan penyesalan," katanya.
"Mari merangkul mereka kembali ke masyarakat dan belajar dari kesalahan mereka."
Nur Dhania dan keluarganya mengunjungi ayahnya di penjara sebulan sekali.
Dia mengatakan sang ayah masih menunjukkan kemarahan padanya.
"Kadang dia kesal dan marah. Ibuku juga marah padaku. Saudara-saudaranya mengatakan semua ini karena saya. Tentu saya merasa bersalah," kata Nur.
Kesalahan Bersama
Sekarang Nur sudah berusia 20 tahun. Dia mengaku penyesalan ini akan dia bawa seumur hidupnya.
Setelah kehilangan pekerjaan dan ayahnya bahkan mendekam di penjara, Nur bersama saudara dan ibunya kini kembali ke kehidupan normal.
Mereka tinggal di salah satu kawasan Jakarta Selatan. Tetangganya tak tahu apa yang telah dijalani keluarga ini.
Ibu Nur, Ratna Nirmala, sehari-harinya kini bekerja sebagai penjahit dan menjual kerajinan.
Dia kesulitan membiayai kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak-anaknya. Tapi Ratna juga ikut merasa bersalah atas tragedi yang menimpa keluarganya.
"Saya bukan hanya menyalahkan Nur, karena ini kesalahan saya juga. Kesalahan kami secara kolektif," kata Ratna kepada ABC.
"Kita tidak bisa terus saling menyalahkan atas apa yang terjadi. Semua orang membuat kesalahan," ujarnya.
Ditanya pendapatnya tentang ekstremisme ISIS, Nur menggambarkan kelompok tersebut "sangat kejam."
"Mereka mengatakan itu adalah Islam, bahwa jihad mereka adalah perang. Mereka harus membaca Alquran lagi. Jihad bukan berperang," katanya.
"Mereka mengobarkan perang dan menumpahkan darah dan mereka anggap hal itu benar. Tapi bukan itu yang diajarkan Tuhan kepada kita. Islam berarti damai," katanya.
Dia menyadari banyak orang tidak akan mempercayai apa yang dia sampaikan, termasuk soal ayah dan pamannya yang tak ingin berperang.
"Mereka tidak mengenal saya. Mereka harus mengenal kami, melihat siapa kami sebenarnya, mendengarkan cerita kami. Hanya itu yang bisa saya katakan kepada mereka," katanya.
Nur Dhania kini ingin menuliskan segala pengalamannya dan berperan aktif mencegah orang lain melakukan kesalahan serupa.
"Semoga saya bisa menyampaikan pesan sehingga tidak ada yang akan mengalami apa yang dialami keluarga saya," katanya.
"Dengan cara seperti itulah saya menyebarkan perdamaian dan kebenaran," tambahnya.
Reporter: Teddy Tri Setio Berty
Sumber: Liputan6.com
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sebanyak 18 warga Poso yang merupakan mantan simpatisan jaringan teroris mengucapkan ikrar setia kepada NKRI di Mapolres Poso, Kamis (13/6).
Baca SelengkapnyaMantan anggota Jamaah Islamih di wilayah Sumatera Selatan dan narapidana teroris mengucapkan sumpah setia ke NKRI
Baca SelengkapnyaAjakan ke Suriah sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab
Baca SelengkapnyaDeklarasi ini diikuti eks anggota Jamaah Islamiyah wilayah eks Karesidenan Surakarta, Kedu dan Semarang.
Baca SelengkapnyaDeklarasi Pembubaran JI ditandai dengan penyerahan dua pucuk senjata api kepada polisi.
Baca SelengkapnyaKelompok pemberontak Suriah akhirnya berhasil menggulingkan rezim Bashar al-Assad setelah upaya dilakukan sejak 2011.
Baca SelengkapnyaWNI yang terjebak telah dievakuasi melalui jalur darat dari Damaskus menuju Beirut, Lebanon, sebelum diterbangkan ke Jakarta.
Baca SelengkapnyaTiga narapidana terorisme (napiter) mengucapkan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca SelengkapnyaKetiga WNA tersebut hadir dalam persidangan tanpa didampingi penasihat hukum, kecuali didampingi ahli alih bahasa atau penerjemah.
Baca SelengkapnyaCawi, Eli Susanti dan Rohayati, tiga warga negara Indonesia asal Indramayu, Jawa Barat semula dijanjikan pekerjaan di berbagai negara, bukan ke Suriah.
Baca SelengkapnyaDeklarasi untuk patuh kepada pemerintah NKRI ini setelah para pendiri dan pimpinan JI sepakat membubarkan diri pada 30 Juni 2024 lalu.
Baca SelengkapnyaPPATK telah membekukan beberapa rekening yang berkaitan dengan pegawai KAI tersebut.
Baca Selengkapnya