Dunia yang Kian Terbelah dan Masa Depan yang Rawan
Merdeka.com - Sejarah pernah mencatat, selepas Perang Dunia Kedua dunia terpecah menjadi dua blok: Barat dan Timur. Berlin Timur berada di bawah kekuasaan Uni Soviet (USSR) dan Berlin Barat di bawah kekuasaan Amerika Serikat. Sejak itu politik perang dingin menghantui dunia. Sejumlah negara memilih bergabung dengan kubu AS dan negara lain memilih blok Uni Soviet.
AS dan sekutunya membentuk NATO, USSR membentuk WARSA meski kemudian WARSA bubar pada 1991 menyusul runtuhnya Uni Soviet. Tapi NATO masih menjadi aliansi militer terbesar di dunia saat ini.
Tatanan dunia baru lahir setelah bubarnya Uni Soviet dan berakhirnya era Perang Dingin. Dunia menjadi hanya punya satu kubu kekuatan (Barat) dan AS menjadi satu-satunya negara adikuasa dan pemimpin dunia untuk memimpin tatanan dunia baru. Tapi pada 2001 semuanya berubah. Insiden serangan 9 September atau 9/11 mengubah seluruh skenario dunia. AS memulai perangnya melawan Teror dan mengumumkan mereka akan menyerang siapa saja yang mengancam keamanan AS dan warganya.
-
Siapa yang menghapuskan Prusia? Penghapusan Prusia terjadi pada 25 Februari 1947 melalui dekrit Dewan Kontrol Sekutu, badan pemerintahan Jerman dan Austria yang diduduki pasca-Perang Dunia II.
-
Apa yang terjadi pada Uni Soviet? Misi Krikalev bertepatan dengan keruntuhan dramatis Uni Soviet.
-
Bagaimana hubungan AS dan Rusia saat ini? 'Hampir tidak mungkin hubungan ini memburuk lebih jauh. Saat ini, hubungan kita berada pada titik terendah dalam sejarah.'
-
Apa saja keajaiban dunia baru? Daftar tujuh keajaiban dunia baru dan lama yang perlu diketahui. 7 Keajaiban dunia yang masuk dalam daftar terbaru digagas oleh sebuah yayasan dari Swiss bernama New Open World Corporation (NOWC).
-
Bagaimana Prusia dihapuskan? Penghapusan Prusia dilakukan melalui dekrit Dewan Kontrol Sekutu.
-
Negara apa yang terbesar di dunia? Rusia, dengan wilayah seluas 17,098 juta kilometer persegi, adalah negara terbesar di dunia, dan ini bukanlah suatu kejutan.
Sejak itu AS menyerang Afghanistan, Irak, Libya dan kelompok militan ISIS di Suriah dan Irak tanpa menghadapi oposisi dari negara lain di Dewan Keamanan PBB.
Dunia mengalami masa terpanjang tanpa perang selama 30 tahun antara negara-negara kuat. Meski kita kerap melihat perbedaan sikap diplomatik antara AS dan Rusia dalam sekian tahun, tapi mereka tidak pernah mengalami situasi yang bisa memicu perang seperti yang terjadi saat ini di Ukraina.
Setelah 30 tahun, Rusia yang dipimpin Presiden Vladimir Putin menantang tatanan dunia baru di Eropa timur dengan menerima dua wilayah di Ukraina (Donetsk dan Lugansk) sebagai wilayah independen dan melancarkan operasi militer ke Ukraina pada 24 Februari 2022.
Operasi militer itu menjadi perang besar pertama di Eropa dalam tiga dasawarsa. Barat terguncang dan serta merta AS dan sekutunya menjatuhkan tsunami sanksi bagi Rusia. Tapi sanksi bagi Rusia itu justru berbalik menjadi senjata makan tuan bagi Barat, terutama terkait pasokan minyak, gas, dan gandum dari Rusia.
Senjakala Barat
Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair punya pandangan suram tentang dominasi Barat dari apa yang dia lihat di Ukraina.
Perang di Ukraina memperlihatkan dominasi Barat kini memasuki senjakala seiring China muncul menjadi kekuatan superpower bekerja sama dengan Rusia. Kondisi ini menjadi perubahan paling menonjol selama berabad-abad, kata Blair Juli lalu.
Dunia, kata dia, saat ini berada pada momen titik balik dalam
Sejarah dibanding pada saat Perang Dunia Kedua atau jatuhnya Uni Soviet. Namun kali ini Barat jelas tidak sedang berkuasa.
"Kita memasuki akhir dari dominasi politik dan ekonomi Barat. Dunia akan beralih menjadi bipolar dan kemungkinan multipolar," ujar Blair dalam pidatonya di London, seperti dilansir laman Al Arabiya, Minggu (17/7).
Pernyataan Blair senada dengan hasil penelitian Universitas Cambridge yang menyebut saat ini masyarakat dunia mempunyai sikap terhadap politik internasional yang mengerucut menjadi dua blok yang berlawanan: kubu yang mendukung negara liberal demokrasi seperti AS dan mereka yang lebih berpihak pada negara otoriter seperti China dan Rusia.
Peneliti di Universitas Cambridge menggelar survei di 137 negara, termasuk di 75 negara sejak Rusia menyerang Ukraina pada Februari lalu dan mendapati kesimpulan yang menyatakan dalam satu dasawarsa terakhir sikap masyarakat dunia kian terbelah.
Dikutip dari laman Bennet Institute for Public Policy, hasil survei yang dirilis Oktober lalu itu mengatakan perang di Ukraina membuat warga di negara Barat kian setia dengan AS dan NATO serta negara demokrasi yang kaya di Amerika Latin dan Eropa Timur lebih mendukung Amerika.
Sebaliknya, hasil survei juga memperlihatkan negara yang berada di zona tidak liberal dan tidak demokratis di Asia Timur sampai Timur Tengah hingga Afrika Barat mempunyai kecenderungan lebih mendukung China, Rusia atau keduanya dalam beberapa tahun terakhir.
Di antara 1,2 miliar penduduk yang tinggal di negara liberal demokrasi ada tiga perempat (75 persen) yang punya pandangan negatif terhadap China dan 87 persen negatif terhadap Rusia.
Sebaliknya di antara 6,3 miliar penduduk yang tinggal di 136 negara sisanya ada 70 persen warga yang punya penilaian positif terhadap China dan 66 persen positif terhadap Rusia.
Masa depan konflik di 2023
Para pengamat menilai konfrontasi antara Rusia dan AS dalam konflik militer di Ukraina akan makin memanas di 2023 dibayang-bayangi kemungkinan penggunaan senjata nuklir.
Presiden AS Joe Biden Oktober lalu memperingatkan ancaman Rusia tentang penggunaan senjata nuklir di Ukraina bukan hal main-main. Dunia kian rawan dan genting dibanding saat krisis rudal nuklir Kuba pada 1962.
Putin mengatakan kondisi saat ini membuat ancaman perang nuklir semakin nyata. Tapi Rusia, kata dia, tidak akan gegabah dan tidak akan menggunakan senjata nuklir lebih dulu.
Putin menegaskan Moskow hanya akan menggunakan senjata pemusnah massal untuk membalas serangan.
Menurut para pengamat, pada 2023 Rusia akan makin memperlihatkan tekadnya untuk kian memperkuat pertempuran tidak hanya di Ukraina tapi juga melawan AS dan negara Barat dan tidak hanya di bidang militer tapi juga sektor ekonomi.
Rusia bisa jadi akan mengambil keputusan besar untuk mengakhiri konflik karena Kremlin membutuhkan situasi yang lebih kondusif dan positif untuk menghadapi pemilu presiden pada 2024. Sementara sejauh mana Barat akan terus menerus mengalirkan dana bantuan keuangan dan militer kepada Kiev masih menjadi pertanyaan.
Situasi ekonomi yang kian memburuk di 2023 akan membuat dukungan publik Barat terhadap Ukraina kian melemah.
Konflik di Ukraina akan makin mencemaskan. Dan seperti yang dikatakan pakar militer China Song Zhongping,"apa yang tidak bisa diraih lewat pertempuran tidak akan bisa didapat lewat meja perundingan."
(mdk/pan)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Putin dan Xi Jinping kompak mengutuk rival mereka Amerika Serikat sebagai penabur kekacauan di seluruh dunia.
Baca SelengkapnyaPembubaran Pakta Warsawa terjadi setelah runtuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan berakhirnya Perang Dingin.
Baca SelengkapnyaGorbachev berperan penting dalam mengakhiri Perang Dingin.
Baca SelengkapnyaRoket Terakhir Berisi Senjata Kimia Paling Mematikan di Bumi Disebut telah Dihancurkan
Baca SelengkapnyaChina Salip AS, Jadi Negara dengan Kekuatan Diplomatik Nomor 1 di Dunia
Baca SelengkapnyaPresiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan Amerika Serikat agar tidak menyebarkan rudal jarak jauh di Jerman.
Baca SelengkapnyaTanggal 30 November menyimpan sejumlah peristiwa bersejarah, termasuk kemerdekaan Barbados dan pengusiran komunitas Yahudi dari negara-negara Arab.
Baca SelengkapnyaTrump sering kali menekankan prinsip "America First".
Baca SelengkapnyaMeski singkat, ternyata negara Lithuania juga pernah jatuh ke dalam cengkraman rezim komunis.
Baca SelengkapnyaPresiden Rusia Vladimir Putin mengatakan perang dan kekerasan yang terjadi antara Israel dan Palestina salah Amerika.
Baca SelengkapnyaPembebasan dilakukan sebagai bagian dari kesepakatan besar-besaran yang melibatkan tujuh negara.
Baca SelengkapnyaMeski demikian, situasi perdagangan ini belum menguntungkan Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ASEAN.
Baca Selengkapnya