Enam bulan betah di pengungsian, masa depan warga Rohingya masih suram
Merdeka.com - Rumah mereka hanya beratap lembaran plastik. Makanan juga dari pemberian bantuan kemanusiaan. Pekerjaan jarang, tak ada yang bisa dilakukan. Namun para pengungsi Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh merasa cukup nyaman.
"Tidak ada yang datang untuk membunuh kita, itu pasti," kata Mohammed Amanullah, warga Rohingya yang tahun lalu desanya hancur sebelum dia berangkat ke Bangladesh bersama istri dan tiga anaknya. Saat ini mereka tinggal di kamp pengungsi Kutupalong di luar kota pesisir Cox's Bazar, seperti dilansir dari laman Japan Times, Senin (26/2).
"Kami memiliki kedamaian di sini (Bangladesh)," kata Amanullah.
-
Apa itu Rohingya? Etnis Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim yang mayoritas tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar.
-
Dimana Rohingya tinggal? Etnis Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim yang mayoritas tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar.
-
Bagaimana Rohingya berjuang? Sejarah panjang perjuangan etnis Rohingya ini menunjukkan bahwa mereka terus berjuang untuk diakui sebagai warga negara yang setara di Myanmar, namun hingga kini mereka masih menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan hak-hak dasar mereka.
-
Dimana Rohingya ditampung? 'Mereka pengungsi Rohingya ini akan ditempatkan di kamp pramuka oleh Satgas Provinsi,' kata Muhammad Iswanto.
-
Dimana Rohingya ditemukan? Mereka terlantar di jalan protokol yakni di pinggir Jalan Sudirman, Kota Pekanbaru.
-
Apa yang dilakukan Pengungsi Rohingya di Aceh? 'Disana sudah ada pengaturannya, berapa lama di negara transit dan berapa lama sampai di negara tujuan,' sambungnya.
Kesengsaraan pengungsi Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dimulai pada 25 Agustus lalu. Saat itu militan Rohingya menyerang pos keamanan di negara bagian Rakhine, 14 orang tewas dalam penyerangan tersebut.
Lalu serangan dibalas oleh militer dan massa Budha beberapa jam kemudian. Mereka menyerbu desa Rohingya, membunuh ribuan orang, memperkosa wanita dan anak perempuan, dan membakar seluruh rumah di desa.
Menurut lembaga Dokter Lintas Batas, setidaknya ada 6.700 orang Rohingya yang tewas di Myanmar pada bulan pertama kekerasan tersebut, termasuk setidaknya 730 anak-anak di bawah usia 5 tahun. Korban yang selamat saat ini mengungsi di Bangladesh.
Lalu enam bulan kemudian, Myanmar dan Bangladesh sepakat untuk mengembalikan pengungsi Rohingya dalam waktu dekat. Kedua negara menandatangani sebuah kesepakatan untuk memulangkan Rohingya secara bertahap. Tentu dalam situasi yang aman. Namun prosesnya masih belum terlihat dan bahaya masih ada.
Gambar satelit menunjukkan desa warga Rohingya sudah rata dengan tanah DigitalGlobe/AP©2018 Merdeka.com
Laporan dari citra satelit memperlihatkan pedesaan Rohingya mulai rata dengan tanah, menghapus jejak kehidupan pertanian warga. Militer Myanmar dituding mengerahkan buldoser untuk menghapus bukti jejak kekejaman mereka.
Kini sudah ada 700.000 orang meninggalkan Myanmar sejak Agustus, dan semakin banyak etnis Rohingya yang terus melarikan diri. Hingga saat ini, pengungsi Rohingya masih menunggu pemulangan ke Myanmar.
"Jika mereka setuju untuk pulang, tidak apa-apa, tapi apakah itu mudah?" Tanya Amanullah.
Menurutnya, jika Rohingya kembali ke Myanmar tanpa kewarganegaraan, maka penindasan akan kembali mereka rasakan. Dia juga ingin kembali ke Myanmar di bawah perlindungan penjaga perdamaian PBB.
"Myanmar harus memberi kita kewarganegaraan. Itu adalah rumah kami. Tanpa kewarganegaraan, mereka akan menyiksa kita lagi. Mereka akan membunuh kita lagi," kata Amanullah.
Myanmar dengan negara mayoritas Buddha tidak mengakui Rohingya sebagai etnis resmi, dan mereka mendiskriminasi dan melakukan penganiayaan. Namun pihak berwenang Myanmar mengaku ada operasi keamanan di negara bagian Rakhine yang bertujuan untuk membersihkan gerilyawan.
Menteri Luar Negeri Junior Bangladesh M. Shahriar Alam mengatakan negaranya tidak akan memulangkan Rohingya meski apapun keinginan mereka. Dia juga mendesak masyarakat di dunia untuk mendesak Myanmar agar bisa menciptakan kondisi yang baik saat pemulangan nanti.
"Kita perlu menyadari bahwa masalahnya berawal di Rakhine dan solusi lengkapnya harus ditemukan di sana. Bangladesh tidak bisa menanggung bebannya," kata Alam.
Dua peraih Nobel Perdamaian, Tawakkol Karman dari Yaman, dan Mairire Maguire dari Irlandia Utara mengunjungi kamp pengungsi di Cox's Bazar dan berbicara dengan korban pemerkosaan, Minggu (25/2). Pelaku yang dituduh adalah pasukan keamanan Myanmar. Mereka melakukan hal itu sebelum dan selama serangan besar ke desa Rohingya.
Selama kunjungan ke Bangladesh selama seminggu, mereka bertemu dengan pengungsi dan menuduh pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan militer melakukan kekejaman.
Salah satu wanita pengungsi Rohingya Minara Begum (25), mengaku diperkosa dan disiksa oleh tentara. Dua wanita peraih nobel tersebut langsung memeluk Begum.
"Mereka kewalahan. Mereka menangis bersama kami. Mereka tidak bisa menahan air mata. Saya juga tersentuh oleh keinginan mereka untuk mengetahui kisah sedih kami," kata Begum.
Melalui email, Karman dan rekan-rekannya ingin berdiri dalam solidaritas dengan perempuan pengungsi Rohingya, dan ingin suara wanita Rohingya untuk didengar.
Dia mengatakan bahwa perempuan Rohingya dua kali menjadi korban, yaitu karena menjadi Rohingya dan karena menjadi perempuan. Dan mereka menjadi korban pembersihan etnis dengan merasakan kekerasan seksual.
Menurut Karman, kebutuhan wanita Rohingya sebagian besar tidak terpenuhi di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh.
"Kurang dari 20 persen perempuan pengungsi Rohingya yang selamat dari kekerasan seksual, memiliki akses terhadap perawatan pasca pemerkosaan," kata Karman.
Sementara itu, anak-anak di kamp juga mengalami masa-masa sulit. Menurut survei, anak-anak yang ada di kamp menghadapi serangkaian teror, dan anak perempuan rentan mengalami pelecehan di dekat toilet kamp, termasuk serangan dari gajah dan ular saat mereka mengumpulkan kayu bakar.
"Kita tidak bisa mengharapkan anak-anak Rohingya mampu mengatasi pengalaman traumatis yang mereka alami ketika menghadapi keresahan dan ketakutan di kamp-kamp," kata Direktur Save the Children di Bangladesh Mark Pierce.
"Pesan paling luar biasa jelas yang terlihat dari anak-anak ini adalah mereka merasa takut. Ini bukan cara hidup untuk anak-anak," kata Pierce.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Konflik Rohingya termasuk kejahatan genosida yang menelantarkan banyak orang.
Baca SelengkapnyaPengungsi Rohingya kembali terdampar di wilayah Pidie, Aceh, Rabu (15/11). Sehari sebelumnya 196 orang yang terdampar, kali ini jumlahnya 146 orang.
Baca SelengkapnyaNelayan Aceh melakukan penyelamatan puluhan warga Rohingya setelah air pasang membalikkan kapal mereka saat cuaca buruk.
Baca SelengkapnyaDiketahui jumlah imigran Rohingya yang tiba di Aceh, telah melebihi 800 orang.
Baca Selengkapnya170 pengungsi Rohingya berlabuh di Langkat, ada yang sakit dan kelaparan
Baca SelengkapnyaViral Pengungsi Rohingya di Aceh 'Ngelunjak', Menko Muhadjir Ngaku Belum Terima Laporan
Baca SelengkapnyaKedatangan Etnis Rohingya di Aceh Barat Didalangi Warga Lokal
Baca SelengkapnyaBelasan pengungsi tersebut kabur dengan cara merusak pagar jaring besi.
Baca SelengkapnyaPengungsi Rohingya kini mendapat penolakan dari warga Aceh. Pemerintah diminta bertindak tegas.
Baca SelengkapnyaBelasan mayat tanpa identitas ditemukan mengapung di perairan laut mulai dari Aceh Jaya, Aceh Barat hingga Sabang
Baca SelengkapnyaKejadian ini yang kedua kalinya setelah pada Jumat (31/5) kemarin, juga ada pengungsi yang kabur.
Baca SelengkapnyaRatusan pengungsi Rohingya yang menumpang satu kapal kayu terdampar di tepi pantai Kulee Laweung, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Selasa (14/11).
Baca Selengkapnya