Facebook Papers, Mengungkap Sisi Negatif Raksasa Media Sosial
Merdeka.com - Proyek Facebook Papers menunjukkan kolaborasi unik 17 organisasi media berita Amerika, termasuk The Associated Press (AP). Para jurnalis dari beragam newsroom, besar atau kecil, bekerja bersama untuk mendapatkan akses ke ribuan halaman dokumen internal perusahaan yang diperoleh Frances Haugen, mantan manajer produk Facebook yang menjadi pembocor rahasia.
Konsorsium terpisah media berita Eropa telah memiliki akses ke dokuman yang sama, dan anggota kedua kelompok mulai menerbitkan konten yang berkaitan dengan analisis mereka terkait materi tersebut pada Senin (25/10).
Jadwal penerbitan tersebut diatur oleh rekan organisasi berita untuk memberikan siapapun dalam konsorsium itu kesempatan untuk menganalisis penuh dokumen tersebut, memaparkan rincian-rincian yang relevan, dan memberikan waktu yang cukup bagi staf humas Facebook untuk merespons pertanyaan-pertanyaan dan penyelidikan yang dipicu laporan tersebut.
-
Siapa yang terlibat dalam kerja sama? Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dr Sandi Nugroho, mengatakan sebagai garda terdepan dalam mengelola dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Divisi Humas Polri berupaya menyesuaikan tren kekinian generasi milenial melalui peningkatan digitalisasi informasi, melalui aplikasi Portal Humas Presisi, yang merupakan rumah besar bagi seluruh aplikasi dan platform online yang dimiliki Divhumas Polri.
-
Siapa yang terlibat dalam kolaborasi? Penandatanganan perjanjian kerja sama ini dilakukan oleh Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI Arga M. Nugraha, dan Presiden Direktur Microsoft Indonesia Dharma Simorangkir, Rabu (24/4).
-
Informasi apa yang disebarluaskan? Diseminasi adalah proses penyebaran informasi, temuan, atau inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan dikelola agar dapat dimanfaatkan oleh kelompok target atau individu.
-
Siapa yang terlibat dalam kerjasama ini? Bersama PT Cyberindo Aditama (CBN) dan Lippo Group melalui PT Tata Mandiri Daerah Lippo Karawaci (TMD Lippo Karawaci) telah menandatangani kesepakatan strategis.
-
Bagaimana orang mengakses berita? Di Inggris, hampir tiga perempat orang (73%) mengatakan mereka mendapatkan berita secara daring, dibandingkan dengan 50% untuk TV dan hanya 14% untuk media cetak.
-
Siapa yang terlibat dalam kolaborasi ini? Kolaborasi ini turut disambut baik oleh Astrid Tampubolon, Vice President of Payment and Fintech Tokopedia.
Setiap anggota konsorsium melakukan pelaporan independennya sendiri tentang isi dokumen dan signifikansinya. Setiap anggota juga berkesempatan mengikuti pemaparan kelompok untuk mendapatkan informasi dan konteks tentang dokumen tersebut.
Peluncuran proyek Facebook Papers ini menyusul laporan yang sama oleh The Wall Street Journal, bersumber dari dokumen yang sama, termasuk kemunculan Haugen di acara “60 Minutes” stasiun televisi CBS dan kesaksiannya pada 5 Oktober di hadapan subkomite Senat AS.
Dokumen itu sendiri adalah versi yang telah disunting oleh Haugen selama beberapa bulan untuk diserahkan kepada Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC), dia menuduh Facebook memprioritaskan keuntungan daripada keamanan dan menyembunyikan penelitiannya sendiri dari investor dan publik.
Keluhan-keluhan ini mencakup berbagai topik, mulai dari upaya perusahaan itu untuk terus memperbesar audiensnya, hingga bagaimana platformnya dapat membahayakan anak-anak, termasuk dugaan perannya dalam menghasut kekerasan politik. Versi yang sama dari dokumen itu diberikan kepada anggota Kongres sebagai bagian dari penyelidikannya.
Dan proses itu berlanjut saat tim hukum Haugen menjalani proses penyuntingan dalam dokumen yang disampaikan kepada SEC dengan menghapus nama pengguna Facebook dan karyawan tingkat bawah dan menyerahkannya ke Kongres.
Konsorsium Facebook Papers akan terus melaporkan dokumen-dokumen ini karena akan lebih banyak tersedia dalam beberapa hari dan pekan mendatang.
“AP secara teratur bekerja sama dengan organisasi berita lain untuk membawa jurnalisme penting ke dunia,” kata wakil presiden senior dan editor eksekutif AP, Julie Pace, dikutip dari laman AP, Selasa (26/10).
“Proyek Facebook Papers sejalan dengan misi itu. Dalam semua kolaborasi, AP mempertahankan independensi editorialnya.”
Gagal kendalikan konten ujaran kebencian
Salah satu yang disorot dalam dokumen yang bocor itu adalah perjuangan terus-menerus Facebook dalam menghentikan konten kasar berisi ujaran kebencian dan propaganda anti-Muslim di India.
Ketegangan komunal dan agama di India memiliki sejarah yang dipicu percikan hasutan di media sosial dan berujung kekerasan atau kerusuhan.
Facebook Papers mengungkapkan, perusahaan tersebut menyadari masalah itu selama bertahun-tahun, menimbulkan pertanyaan apakah mereka telah bertindak cukup untuk mengatasi masalah ini.
Banyak kritikus dan pakar digital menilai Facebook gagal, terutama dalam kasus kekerasan yang melibatkan anggota Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di bawah Perdana Menteri Narendra Modi.
Modi dituding memanfaatkan platform tersebut untuk keuntungan partainya selama pemilihan, dan laporan The Wall Street Journal tahun lalu meragukan apakah Facebook secara selektif menegakkan kebijakannya soal ujaran kebencian untuk menghindari pukulan balik dari BJP.
Dokumen yang bocor termasuk sejumlah laporan internal perusahaan tentang ujaran kebencian dan misinformasi di India. Dalam beberapa kasus, sebagian besar dipicu fitur dan algoritma "yang direkomendasikan" sendiri Facebook.
Tetapi mereka juga memasukkan kekhawatiran staf perusahaan atas kesalahan penanganan masalah ini dan ketidakpuasan mereka yang diungkapkan tentang "konten buruk" viral di platform tersebut.
Menurut dokumen tersebut, Facebook melihat India sebagai salah satu "negara paling berisiko" di dunia dan mengidentifikasi bahasa Hindi dan Bengali sebagai prioritas untuk "otomatisasi pelanggaran ucapan permusuhan". Namun, Facebook tidak memiliki cukup moderator bahasa lokal atau penandaan konten untuk misinformasi yang terkadang mengarah pada kekerasan di dunia nyata.
Dalam sebuah pernyataan kepada AP, Facebook mengatakan pihaknya “berinvestasi besar dalam teknologi untuk menemukan ujaran kebencian dalam berbagai bahasa, termasuk Hindi dan Bengali” yang telah menghasilkan “pengurangan jumlah ujaran kebencian yang dilihat orang hingga setengahnya” pada tahun 2021.
“Ujaran kebencian terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan, termasuk Muslim, sedang meningkat secara global. Jadi kami meningkatkan penegakan dan berkomitmen untuk memperbarui kebijakan kami saat ujaran kebencian berkembang secara online,” jelas juru bicara Facebook, dikutip dari Al Jazeera, Senin (25/10).
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jumlah Situs Berita Hoaks di AS Lebih Banyak Dari Surat Kabar Resmi, Ini Perbandingan Jumlahnya
Baca SelengkapnyaDisinformasi yang bersumber dari platform media sosial merembes ke forum-forum personal seperti whatsapp group.
Baca SelengkapnyaBeberapa jam setelah serangan Hamas ke Israel, X atau Twitter dibanjiri video dan foto hoaks serta informasi menyesatkan tentang perang di Gaza.
Baca SelengkapnyaPerpres Publisher Right tidak bermaksud untuk mengurangi kebebasan pers.
Baca SelengkapnyaAMSI dan AJI merupakan dua organisasi dari Indonesia yang terlibat dalam perumusan prinsip global tersebut.
Baca SelengkapnyaIni penjelasan dari pakar siber security mengenai kecurigaan orang-orang terkait hal itu.
Baca SelengkapnyaDaftar platform ini paling banyak sebar hoaks terlebih jelang pemilu.
Baca SelengkapnyaElon Musk dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap Trump dalam pemilihan presiden AS tahun 2024.
Baca SelengkapnyaTanpa adanya regulasi yang jelas, media siber cenderung tidak mendapatkan insentif dari berita atau konten yang diambil oleh platform digital.
Baca SelengkapnyaAda tiga rekomendasi yang diberikan untuk pemerintah dalam pembentukan komite publisher rights.
Baca SelengkapnyaKonten pro Palestina tersebut diunggah di akun Facebook pejabat bersangkutan.
Baca SelengkapnyaMenjadi sebuah kebutuhan pemanfaatan teknologi AI bagi pemerintah.
Baca Selengkapnya