Franz Magnis Dukung Muhammadiyah dan NU Raih Nobel Perdamaian
Merdeka.com - Pastor Katolik sekaligus budayawan Franz Magnis-Suseno menyatakan dukungannya terhadap NU dan Muhammadiyah untuk mendapat penghargaan Nobel Perdamaian.
Dalam sebuah seminar di Oslo, Norwegia, pastor dari Ordo Katolik Serikat Yesus yang akrab dipanggil Romo Magnis ini mengatakan kedua organisasi tersebut memiliki andil besar dalam merekatkan bangsa Indonesia yang sangat majemuk, bahkan jauh sebelum kemerdekaan.
Kiprah NU dan Muhammadiyah tidak hanya dirasakan oleh mayoritas kelompok muslim tapi juga oleh minoritas non-muslim.
-
Bagaimana NU dan Muhammadiyah berdampak pada perkembangan Islam di Indonesia? NU dan Muhammadiyah berperan penting dalam sejarah perjalanan negara ini dan berpengaruh besar terhadap perkembangan Islam di Indonesia.
-
Apa perbedaan utama NU dan Muhammadiyah? NU merupakan organisasi yang menganut paham Islam Sunni yang mengikuti tradisi keagamaan yang telah ada sejak masa kolonial. Mereka menghargai dan menghormati tradisi-tradisi keagamaan seperti tahlil, doa arwah, dan ziarah kubur. Di sisi lain, Muhammadiyah memiliki pandangan yang lebih puritan dan lebih menekankan pada ibadah yang benar dan tegas dalam kerangka yang sederhana, dengan menekankan pentingnya pemahaman ajaran agama yang murni.
-
Kenapa NU dan Muhammadiyah punya pandangan berbeda? Perbedaan orientasi keagamaan NU dan Muhammadiyah bisa dilacak berdasarkan proses polarisasi pemikiran dan pengalaman pendidikan dua tokoh utama pendiri organisasi tersebut, yaitu KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy‟ari. Keduanya merupakan representasi ulama nusantara yang hidup pada abad ke 19 dan ke 20.
-
Siapa yang mendirikan NU dan Muhammadiyah? NU atau Nahdlatul Ulama, didirikan oleh ulama Ahlussunnah wal Jamaah di Surabaya pada 31 Januari 1926. Sementara itu, Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18 November 1912.
-
Kenapa NU dan Muhammadiyah ada di Indonesia? Salah satu alasan utama bagi pertumbuhan ini adalah kehadiran dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
"Saya sudah sejak lama sangat mengenal kedua organisasi ini. Kita tahu, Indonesia telah lama punya sejarah gerakan radikal. Seperti gerakan DI-TII tahun 1950-1966 yang mengancam wilayah Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan," ujar Romo Magnis, Kamis 20 Juni 2019, dalam seminar yang dihadiri cendekiawan dan tokoh pemikir dari berbagai kalangan ini seperti dikutip dari DW Indonesia, Rabu (26/6).
"Kemudian sekitar tahun tujuh puluhan beberapa ideologi Islam dari Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Wahabi, menjalar di Indonesia. Demikian pula pengaruh mujahidin dari Afghanistan. Tokoh NU dan Muhammadiyah saat itu berjuang keras agar pengaruh-pengaruh tersebut berhenti berkembang," ujar Romo Magnis.
Ia menyimpulkan tiga prinsip fundamental dari kiprah NU dan Muhammadiyah untuk perdamaian dan memajukan toleransi di masyarakat seperti menjunjung tinggi keberagaman, kebebasan beragama, keterbukaan demokrasi dan menolak diskriminasi dan intoleransi.
Lebih lanjut ia menyatakan kalau kedua organisasi tersebut menanamkan dan mengembangkan warisan nilai budaya Indonesia yang mengutamakan kerukunan, kebersamaan, serta menghargai hak orang lain.
"Intinya, sebagai pendeta Katolik dan bagian dari kelompok minoritas saya mengakui NU dan Muhammadiyah meskipun jadi mayoritas tidak pernah menjadi ancaman bagi kami kelompok minoritas. Sebaliknya, kehadiran kedua organisasi ini di tengah masyarakat Indonesia memberikan rasa aman dan jaminan bahwa nilai-nilai pluralisme dan toleransi akan tetap terjaga dan tumbuh di Indonesia," tutur Romo Magnis.
Seminar yang digagas bersama oleh Peace Research Institute Oslo (PRIO) dan KBRI Oslo ini bertujuan untuk mengenalkan dan mempublikasikan kepada publik Oslo tentang NU dan Muhammadiyah serta perannya dalam menangkal radikalisme di Indonesia. Sebelumnya, pada Januari 2019 lalu dua organisasi Islam terbesar Indonesia ini telah dinominasikan sebagai penerima penghargaan Nobel Perdamaian.
Dalam seminar tersebut hadir juga Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Direktur Wahid Institut Yenny Wahid. Prof Azra mencontohkan pengaruh besar NU dan Muhammadiyah terlihat pada saat Indonesia dilanda krisis pasca runtuhnya Orde Baru tahun 1998. Saat itu Gus Dur yang merupakan tokoh NU terpilih sebagai Presiden Indonesia.
"Meski banyak yang mengkhawatirkan Indonesia akan pecah tapi saya tetap optimis selama kita bisa menjaga Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan yang telah diwariskan pendiri bangsa, Indonesia akan tetap utuh. Dan kita yakin NU dan Muhammadiyah adalah guardian nilai-nilai tersebut untuk tetap tumbuh di masyarakat," jelas Prof Azra.
Sementara Yenny Wahid dalam paparannya menyampaikan bahwa untuk bisa melawan radikalisme maka perlu diteliti kelompok mana saja yang rentan dan menjadi target dari kelompok radikalis.
"Kalau kita amati setidaknya ada beberapa sebab. Di antaranya ketakutan yang berlebih dan selalu merasa kekurangan materi, memahami literatur agama secara tekstual saja, gampang terpengaruh oleh informasi keliru dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama yang cenderung menyebar kebencian. Sebab lainnya adalah mereka yang memiliki kecenderungan terhadap intoleransi dan menafikan hak kelompok yang berbeda paham," ujar Yenny.
Yenny juga menekankan perlunya NU dan Muhammadiyah untuk menjadi aktor utama dalam melakukan konter narasi dan konter identitas terkait maraknya hoaks dan fake news di media sosial.
Sumber: Liputan6.com
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mahfud memandang ada peran ulama termasuk santri-santri dari kiai Hamid memperjuangkan Indonesia merdeka.
Baca SelengkapnyaDua organisasi ini dianggap sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Baca SelengkapnyaDukungan pemilih yang merasa bagian dari Muhammadiyah dan NU kepada Prabowo-Gibran meningkat
Baca SelengkapnyaBasis dukungan Prabowo di kalangan Ormas terbilang kuat.
Baca SelengkapnyaElektabilitas Prabowo-Gibran dinilai menguat jelang Pilpres 2024.
Baca SelengkapnyaMahfud MD menegaskan dirinya bukan seorang Nahdlatul Ulama (NU) naturalisasi.
Baca SelengkapnyaMegawati menyambut gembira pelaksanaan penganugerahan Zayed Award tersebut.
Baca SelengkapnyaZayed Award yang diberikan kepada Muhammadiyah dan NU menjadi berkah bagi 2 Ormas islam terbesar di Indonesia
Baca SelengkapnyaMahfud mengingatkan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia dengan pelbagai sikap perdamaian.
Baca SelengkapnyaZulhas ingin memperkuat persatuan dengan merangkul semua golongan, termasuk Nadhlatul Ulama (NU).
Baca SelengkapnyaSuara NU untuk mendukung pasangan Anies-Cak Imin pada akhirnya tidak akan tergerus mengingat PKB lahir dari NU.
Baca SelengkapnyaDukungan itu dengan mendeklarasikan dukungan untuk pasangan capres-cawapres nomor urut 3 di Pondok Pesantren Sulaiman Trenggalek, Jawa Timur.
Baca Selengkapnya