Habis visa di Hong Kong, TKI pasti terjerumus ke dunia malam
Merdeka.com - Peristiwa pembunuhan dua warga negara Indonesia (WNI) di Hong Kong pekan lalu membuat heboh masyarakat, termasuk di Tanah Air.
Pria asal Inggris bernama Rurik Jutting, 29 tahun, menjadi tersangka utama tewasnya Sumarti Ningsih, 25 tahun, asal Cilacap, Jawa Tengah, dan Seneng Mujiasih, 29 tahun, asal Sulawesi Tenggara.
Polisi Hong Kong menemukan mayat kedua korban, salah satunya di dalam koper, di apartemen Jutting, di kawasan Wan Chai, Sabtu dini hari lalu.
-
Kenapa razia dilakukan di tempat hiburan malam? 'Hasil evaluasi sebelumnya banyak peredaran ekstasi yang masuk ke tempat hiburan malam, makanya kita membuat KRYD dengan melibatkan bea cukai. Hasilnya ya ini, karena kita mengantisipasi tahun baru. Untuk tempat tempat hiburan malam tidak semua dirazia, tapi yang sudah DPO yang sudah ada laporan dari masyarakat,' jelas Mukti.
-
Apa ciri lingkungan kerja toxic? Salah satu ciri lingkungan kerja yang toxic adalah budaya kerja yang tidak sehat, seperti lembur hampir setiap hari dengan jam kerja yang tidak menentu.
-
Di mana pekerja Indonesia bekerja? Haygrove, sebuah perkebunan di Hereford yang memasok buah beri ke supermarket Inggris, memberikan surat peringatan kepada pria tersebut dan empat pekerja Indonesia lainnya tentang kecepatan mereka memetik buah sebelum memecat mereka lima dan enam pekan setelah mereka mulai bekerja.
-
Siapa yang merasa tertekan di lingkungan kerja toxic? Lingkungan seperti ini akan membuat karyawan merasa stres, tidak aman, dan tertekan.
-
Dimana kejadian ini berlangsung? Sebuah video memperlihatkan prajurit TNI yang memberi kejutan di HUT Bhayangkara. Sejumlah TNI tiba-tiba datang ke kantor Polisi Tuban dengan membawa massa yang cukup banyak.
-
Bagaimana lingkungan kerja toxic membuat karyawan merasa tidak aman? Dalam lingkungan kerja yang penuh dengan persaingan tidak sehat, karyawan cenderung merasa tidak aman dan tidak termotivasi.
Sejumlah media Hong Kong dan media asing menyebut dua WNI itu sebagai pelacur atau pekerja seks komersial. Jika benar demikian, bagaimana sebetulnya seluk-beluk para buruh migran itu sampai bisa terjerumus ke lembah hitam dunia pelacuran di Hong Kong?
Salah seorang buruh migran asal Indonesia di bekas koloni Inggris itu, bernama Fera, menuturkan peristiwa semacam itu biasa menimpa rekannya sesama tenaga kerja perempuan.
Fera mengatakan para buruh migran di Hong Kong kebanyakan bekerja di sektor informal seperti menjadi pembantu rumah tangga. Mereka ada yang bekerja di rumah warga Hong Kong atau warga asing dari luar Hong Kong, seperti dari Inggris.
"Biasanya jika ada masalah dengan majikan, para pembantu rumah tangga itu memilih keluar dan mencari pekerjaan lain," ujar Fera ketika dihubungi merdeka.com, Senin (3/11).
Menurut Fera, para buruh migran yang keluar itu jika masa tinggalnya di Hong Kong sudah melewati batas waktu (habis visa) maka mereka memilih bekerja di malam hari buat menghindari pemeriksaan.
"Mereka yang kerja di diskotek rata-rata yang masa tinggalnya sudah habis. Jadi mereka keluar malam."
Dari penuturan Fera, majikan asal Hong Kong biasanya meminta pembantunya bekerja dan tinggal di rumah, sedangkan majikan bule membolehkan pembantunya keluar malam dan tidur di tempat lain selama jam kerjanya sudah terpenuhi. Mereka sudah dibiayai oleh majikan untuk menginap di tempat lain.
"Jadi yang pekerja malam itu bisa terpengaruh lingkungan di tempat-tempat hiburan, seperti kasus pengaruh obat-obatan juga," ujar Fera.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menuturkan akar permasalahan yang kerap dialami pekerja migran seperti Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih memang ketidakmampuan mencari solusi ketika visa kerja habis.
Para buruh yang memilih tinggal lebih lama buat bekerja di Hong Kong tanpa perpanjangan visa itu, kata Anis, sesungguhnya karena kebijakan pemerintah membuat mereka terpaksa berbuat demikian.
"Untuk perpanjangan visa kerja itu harus lewat agen dan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Mereka harus membuat kontrak baru dan itu biayanya mahal," ujar Anis saat dihubungi merdeka.com, Jumat (7/11).
Dengan kondisi seperti itu, bukan tidak mungkin para buruh migran memilih menyambung hidup dengan cara menjadi wanita penghibur atau pelacur di sejumlah diskotek. (mdk/ard)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Lelahnya fisik seolah hilang, setelah hasil mengamen mereka belanjakan untuk makan.
Baca SelengkapnyaDari gangguan tidur hingga risiko penyakit kronis, dampak bekerja di luar jam kerja normal dapat jauh lebih kompleks daripada sekedar rasa kantuk di siang hari.
Baca SelengkapnyaSebuah video memperlihatkan seorang sopir bus yang rela meninggalkan dunia malam karena ingin mencari pekerjaan yang halal.
Baca SelengkapnyaCerita korban TPPO Disekap Berbulan-Bulan dan Kerja Tanpa Digaji
Baca SelengkapnyaPelemahan nilai tukar Ringgit dan perekonomian Malaysia mendorong warganya mencari pekerjaan di Singapura.
Baca SelengkapnyaMenteri Ketengakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah kembali menemui Pekerja Migran Indonesia (PMI) di sela-sela kunjungan kerjanya di Arab Saudi.
Baca Selengkapnya