Islamofobia Meningkat di Prancis Jelang Pemilihan Presiden
Merdeka.com - Menjelang pemilihan presiden di Prancis, pandangan sayap kanan telah meresapi wacana publik arus utama tentang komunitas Muslim, imigrasi, dan keamanan.
Bagi Anasse Kazib, serangkaian tindakan dan undang-undang negara itu dalam beberapa dekade terakhir berusaha untuk membatasi cara hidup Muslim dengan kedok memerangi "terorisme" dan "Islamisme".
Pegawai kereta api yang juga seorang Marxis berusia 35 tahun dan putra seorang imigran Marokonitu maju sebagai kandidat kiri untuk putaran pertama pemilihan presiden Prancis pada 10 April. Tapi dia gagal mengumpulkan 500 sponsor yang diperlukan dari pejabat terpilih untuk tampil di surat suara, dan mengatakan reaksi pencalonannya oleh lembaga didasarkan pada ketakutan dan permusuhan.
-
Bagaimana cara pihak berwenang Perancis menanggapi ancaman tersebut? Pihak berwenang Perancis telah meyakinkan publik akan memberikan pengamanan yang maksimal dengan mengerahkan puluhan ribu personel keamanan.
-
Siapa yang jadi ancaman bagi Prancis? Selain itu ada nama Romelu Lukaku yang berpotensi jadi ancaman bagi Prancis.
-
Siapa yang menjadi ancaman bagi Prancis? Tentu hal ini yang perlu diwaspadai Prancis jika tidak ingin terhambat langkahnya karena kejutan dari Polandia.
-
Bagaimana cara mencegah terorisme di Indonesia? Di Hari Peringatan dan Penghargaan Korban terorisme ini, Anda bisa membagikan cara mencegah radikalisme di media sosial. Hal ini penting dilakukan agar tindakan terorisme bisa diminimalisir atau dihilangkan.
-
Apa yang dilakukan Prancis ke Israel? Presiden Prancis Charles De Gaulle, tiba-tiba mengumumkan memblokade pasokan senjata untuk Israel.
-
Dimana larangan itu diterapkan? Dalam laporan yang dikutip dari Android Headlines pada Kamis (14/11), tindakan pelarangan ini terjadi di tengah ketegangan yang meningkat dalam perang semikonduktor yang saat ini berlangsung di pasar.
"Ketika saya mencalonkan diri, ada jejak-jejak Islamofobia dan politik reaksioner di sana," jelasnya, dikutip dari Al Jazeera, Senin (4/4).
"Ada poster wajah saya di Paris, dengan kata-kata '0% Prancis, 100% Islamis' tertulis di situ. Ketika Anda seorang aktivis politik, Anda tidak berhak menjadi Muslim, atau bahkan Arab."
Sangat kontras dengan kandidat lainnya, Kazib tidak diberikan jam tayang kampanye oleh media arus utama, yang dia sebut merupakan bukti pesan politiknya dirusak sistem.
Kazib mengatakan dia mencalonkan diri mewakili para pemuda, kelas pekerja, dan orang yang merasa tidak terwakili dalam pemilihan ini.
"Ini melampaui masalah jam tayang; mereka menyangkal keberadaan kami," ujarnya.
"Ketika nama Anda sesuatu seperti 'Anasse Kazib', itu bahkan lebih buruk. Ada bias Islamofobia dan xenofobia yang dipertaruhkan," lanjutnya.
Meskipun dia bangga menjadi keturunan imigran, dan menjadi pekerja dan berasal dari daerah kelas pekerja, dia tidak berbasa-basi ketika ditanya di mana Muslim cocok dalam masyarakat Prancis.
"Identitas Prancis tidak termasuk komunitas Muslim," ujarnya.
"Mereka tidak pernah menghormati kami sebagai orang Prancis. Mereka ingin memutuskan seberapa Prancis kita."
Stigmatisasi komunitas Muslim
Menurut Julien Talpin, peneliti ilmu politik di National Centre for Scientific Research (CNRS), masa jabatan pertama Presiden Emmanuel Macron "suram" bagi Muslim Prancis, dengan pengesahan UU separatisme pada musim panas 2021.
Walaupun pemerintah mengklaim UU itu bertujuan untuk memperkuat sistem sekuler Prancis, para pengkritik mengatakan UU secara tidak adil mengasingkan komunitas Muslim dan membatasi kebebasan beragama.
"Kami melihat dengan jelas pembahasan di Majelis Nasional bahwa targetnya adalah komunitas Muslim," jelasnya.
"Ada gagasan bahwa ada masalah besar-besaran separatisme dan komunitarianisme di masyarakat, yang harus dilawan oleh Prancis dengan hukum."
UU itu pertama kali diajukan setelah pembunuhan Samuel Paty, seorang guru yang dipenggal oleh pengungsi Muslim Rusia berusia 18 tahun setelah Paty menunjukkan kepada siswanya kartun Charlie Hebdo yang menggambarkan Nabi Muhammad.
Talpin mengatakan, konsekuensinya dihadapi komunitas Muslim. Puluhan masjid ditutup, organisasi Perkumpulan Melawan Islamofobia di Prancis (CCIF) ditutup, dan beberapa lembaga amal Muslim dibubarkan.
Dia juga menambahkan, salah satu konsekuensi paling besar selama Macron menjabat adalah meningkatnya stigmatisasi terhadap Islam dan komunitas Muslim di Prancis.
Tinggalkan Prancis
Prancis memperkirakan ada 5,7 juta Muslim di negara itu, populasi Muslim terbesar di Eropa barat.
Namun menurut penelitian akademik, diskriminasi, kekerasan rasial, dan politik reaksioner terhadap komunitas Muslim telah menyebabkan banyak dari mereka, khususnya golongan berpendidikan tinggi, beremigrasi dari Prancis untuk mencari kesempatan kerja yang lebih baik dan kebebasan yang lebih baik.
Olivier Esteves, seorang profesor Studi Inggris di Universitas Lille, mewawancari 148 Muslim Prancis yang tinggal di luar negeri. Menurut penelitiannya, negara tujuan utama para emigran Muslim ini adalah Inggris, Uni Emirat Arab, Kanada, Maroko, dan Aljazair.
Dalam survei yang lebih luas yang melibatkan 1.074 responden, 69 persen mengatakan diskriminasi dan rasisme menjadi faktor yang membuat mereka meninggalkan Prancis. Sedangkan 63 persen mengatakan mereka meninggalkan Prancis agar bisa menjalankan perintah agama dengan lebih damai, dan 40,5 persen menyebut alasan pekerjaan.
Ketika ditanya apakah mereka akan kembali ke Prancis, hanya 4,56 persen yang menjawab setuju, sedangkan 44,7 persen mengatakan mereka tidak akan pernah kembali.
Esteves mengatakan orang yang memakai simbol keagamaan dengan jelas seperti jenggot atau jilbab kerap sulit mendapatkan pekerjaan di Prancis.
Menurut Talpin, isu identitas Prancis ini tampaknya dipolarisasi oleh kelompok sayap kanan yang menilai menjadi Prancis dikaitkan dengan identitas Kristen, sejarah negara tersebut, dan menerima nilai-nilai Republik.
Tapi bagi Kazib, masyarakat multikuktur tidak berarti penerimaan.
"Sayap kanan menganggap kami sebagai orang Prancis hanya di atas kertas," ujarnya.
"Sayap kanan mengatakan banlieues (pinggir kota) dan quartiers populaires (lingkungan berpenghasilan rendah) adalah zona yang tidak kemana-mana (no-go zone), dan kelompok kiri mengatakan ini adalah kawasan yang dilupakan Republik," jelasnya.
"Apapun itu, ada bentuk subordinasi terus menerus terhadap keturunan imigran - tidak hanya Muslim - di Prancis," pungkas Kazib.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Penggunaan abaya atau gamis bagi perempuan dan anak perempuan Muslim dilarang sejak tahun lalu.
Baca SelengkapnyaSekolah-sekolah di Prancis menyuruh pulang siswi-siswi muslim karena mereka menolak melepaskan abaya atau pakaian muslimah mereka.
Baca SelengkapnyaIslamophobia juga bisa disebabkan oleh propaganda media yang bertujuan membuat kerusakan.
Baca SelengkapnyaAmnesty International mengecam keras keputusan ini, menyebutnya sebagai pelanggaran HAM.
Baca SelengkapnyaJilbab di masa lalu bukanlah sesuatu yang mudah dijumpai, bahkan sempat dilarang pemerintah.
Baca SelengkapnyaTrubus khawatir, sikap FPI yang penuh kontroversi akan kembali muncul jika AMIN menang
Baca SelengkapnyaSalah satu praktik yang masih ditemui saat ini adalah terorisme yang berbasis ideologi agama dan kekerasan.
Baca SelengkapnyaPemerintah Prancis akan melarang pakaian abaya yang dikenakan perempuan muslim di sekolah.
Baca SelengkapnyaJelang Pemilu, India Terapkan Undang-undang 'Anti-Muslim'
Baca SelengkapnyaPresiden Iran mengutuk keras tindak pembakaran Alquran di Swedia dan Denmark yang dibiarkan begitu saja dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat.
Baca SelengkapnyaDewan HAM PBB kemarin menyepakati adanya perbedaan resolusi soal kasus kebencian agama setelah terjadi insiden pembakaran kitab suci Alquran di Swedia.
Baca SelengkapnyaMa’ruf menyampaikan, media sosial dapat dimanfaatkan sejumlah pihak untuk memecah belah umat.
Baca Selengkapnya