Kecemasan Jurnalis di Afghanistan: Ketakutan akan Membunuhmu Sebelum Kematian
Merdeka.com - Hari-hari menjelang jatuhnya Kabul ke tangan Taliban pada 15 Agustus 2021, Sama (nama samaran), seorang jurnalis perempuan berusia 27 tahun, mengatakan dia berusaha tetap positif, berharap kali ini segalanya bakal berbeda dan Taliban mungkin telah berubah.
“Saya telah mewawancarai mereka. Saya berinteraksi dengan mereka,” jelasnya, mengisahkan bagaimana dia bepergian ke berbagai provinsi di Afghanistan saat mewawancarai banyak anggota Taliban.
Merasa nyaman dengan perlakukan pejuang Taliban selama perjalanan liputannya, Sama memutuskan membuat film saat Taliban menguasai Kabul.
-
Siapa yang sering dikritik netizen? Stefan William sering dikritik netizen gara-gara jarang ketemu anaknya.
-
Siapa yang paling sering dikritik netizen? Artis dr. Richard Lee juga menghadapi permasalahan serupa. Wajahnya pernah menjadi sorotan netizen karena terlihat bopeng ketika diambil gambar oleh kamera wartawan beberapa waktu lalu. Hal ini membuatnya menjadi perbincangan hangat di media sosial.
-
Siapa yang sering dianggap bersikap buruk? Anak yang tidak ingin berbagi mainan atau makanannya dengan orang lain seringkali dianggap bersikap buruk.
-
Siapa yang sering menjadi target sindiran? Kata-kata sindiran buat pacar yang sering chat sama orang lain.
-
Siapa yang paling sering disalahkan? 'Ini bukan kedurhakaan. Taat dan berbakti kepada orangtua terdapat batasannya.'
-
Mengapa rumah Muzdalifah dikritik? Ada yang berkomentar betapa disayangkannya rumah yang seindah ini kini terlihat seperti gudang karena barang dagangan.
Sama mengatakan pada awalnya “tidak ada masalah”, pejuang Taliban bersenjata menyambutnya dengan memanggilnya “Mor Jana” (ibu sayang dalam bahasa Pashto). Dalam beberapa hari, semuanya berubah. Dia mulai menerima surel “aneh” dan telepon, memintanya tetap tinggal di dalam.
Tapi Sama memutuskan terus membuat film dan segera dia dihadapkan dengan kenyataan yang berubah. Dalam hitungan hari, dia mengatakan sikap para pejuang Taliban berubah.
“Pulang, kenapa kamu malah keluar?” kata pejuang tersebut kepadanya.
Lebih buruk, sopirnya, yang menunggunya dan kru di dalam mobil yang terparkir, dipukul Taliban. Sopirnya dicurigai karena tiga alasan.
“Dia di dalam mobil yang penuh dengan peralatan kamera, dia memakai jeans dan dia seorang Hazara,” kata Sama, dikutip dari Al Jazeera, Rabu (15/9).
Selama berkuasa pada 1996-2001, Taliban melarang semua alat perekam, memaksa pria memakai pakaian tradisional, dan dituduh membantai minoritas Hazara.
Sama sedih karena pekerjaannya membuat sopirnya yang juga kawannya, dalam posisi seperti itu. Pada hari itulah dia memutuskan sudah waktunya untuk pergi.
“Kalau saya tidak bisa melakukan pekerjaan saya, saya bukan siapa-siapa.”
Ratusan media berhenti beroperasi
Sejak Taliban berkuasa pada Agustus, kelompok militan tersebut berulang kali membuat pernyataan terkait komitmennya untuk menjunjung kebebasan pers di Afghanistan.
Dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan hanya dua hari setelah mantan Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani melarikan diri, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid mengatakan media seharusnya tidak memihak.
“Ketidakberpihakan media sangat penting. Mereka bisa mengkritik kerja kami, supaya kami bisa memperbaiki,” ujarnya.
Tapi pemantau media lokal memperkirakan, sedikitnya 153 organisasi media berhenti beroperasi di 20 provinsi di Afghanistan sejak pertengahan Agustus, ketika Taliban mengambil alih negara tersebut.
Taliban juga kerap dikritik karena perlakuan buruknya terhadap jurnalis dan media pada umumnya. Ada sejumlah laporan Taliban menyita peralatan pekerja media, menangkap jurnalis, dan bahkan melakukan pemukulan terhadap wartawan, sebagian besar terjadi di Kabul. Hal ini mengundang perhatian organisasi media internasional.
Pekan lalu, setelah sejumlah jurnalis ditangkap dan disiksa karena meliput unjuk rasa di Kabul, Komisoner Tinggi HAM PBB menerbitkan sebuah pernyataan, meminta Taliban “segera menghentikan penggunaan kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang, terhadap mereka yang menggunakan haknya untuk berkumpul secara damai dan terhadap jurnalis yang meliput unjuk rasa”.
Human Rights Watch juga mengecam penyerangan terhadap jurnalis dalam sebuah pernyataan.
“Para komandan dan pejuang Taliban sejak lama terlibat dalam ancaman, intimidasi, dan kekerasan terhadap anggota media, dan bertanggung jawab untuk pembunuhan jurnalis yang ditargetkan,” jelas pernyataan tersebut.
Ketakutan sangat nyata
Pengalaman Sama mirip dengan sejumlah jurnalis perempuan Afghanistan lainnya yang diwawancarai Al Jazeera selama tiga pekan terakhir.
Marjana Sadat, yang bekerja untuk Voice of America (VOA) dan media lainnya, mengatakan dia sedang mengambil gambar di Universitas Kabul pada 15 Agustus, hari di mana Taliban mengambil alih kekuasaan.
“Saya mulai mendapat SMS-SMS panik agar segera pulang. ‘Taliban datang,’ kata mereka semua,” ujarnya.
Sadat mengingat jalan-jalan macet karena orang-orang bergegas pulang ke rumah. Dia mengatakan dia harus berjalan beberapa kilometer untuk menuju rumahnya di dekat bandara Kabul.
Sepanjang jalan, perempuan 24 tahun ini melihat ratusan laki-laki berlari dengan membawa tas. Dia menduga mereka pengungsi internal dari provinsi lain yang telah jatuh ke tangan Taliban dalam 10 hari sebelumnya, ketika dia menanyakan ke mereka, dia mendapat respons yang mengherankan.
“Kami baru keluar dari penjara,” kata mereka kepada Sadat.
“Saya takut. Bayangkan, saya seorang jurnalis dan saya berada dalam situasi di mana saya tidak tahu akan seperti apa negara saya dalam beberapa jam,” ujarnya kepada Al Jazeera melalui telepon.
Ketakutan memaksanya tetap diam di dalam rumah selama sepekan. Dia sangat ingin kembali bekerja, tapi dia mengatakan cerita intimidasi dan kekerasan yang dialami para jurnalis, termasuk yang tidak dilaporkan media, membuatnya takut keluar rumah.
“Ketakutan sangat nyata,” ujarnya.
Jumlah jurnalis semakin berkurang
Bagi Sama, retorika dan tindakan Taliban tidak sejalan.
“Tidak ada sistem yang berlaku. Jika Anda takut atau dilecehkan, kepada siapa Anda melaporkan” kata dia.
Seperti Sama, Sadat juga beruntung. Paspornya, dengan visa dari AS, Uni Eropa, dan Turki, berarti dia punya kesempatan besar untuk meninggalkan negaranya.
Faktanya, di bandara dia pertama kali berhadapan dengan Taliban.
Pejuang Taliban pertama yang dia lihat dekat pintu masuk militer di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, ramah kepadanya.
Ketika mereka melihat dia memiliki paspor dan beberapa visa, mereka memintanya minggir sementara mengizinkan orang-orang dengan paspor asing dan kartu hijau melangkah – seperti diinstruksikan pasukan AS – dan mereka akan memastikan dia bisa melewati gerbang tersebut.
Komandan Taliban yang sebelumnya menyambutnya ramah menghilang. Seorang penggantinya sangar dan agresif. Setelah itu Sadat mengatakan tidak ingin lagi berhadapan dengan anggota Taliban.
“Saya menyadari para pria ini menyimpan kebencian, dendam terhadap perempuan, dan kita tidak akan pernah bisa kembali ke keadaan normal,” ujarnya.
Sama dan Sadat mengatakan kedatangan Taliban benar-benar mengubah situasi bagi para jurnalis, khususnya perempuan, di Afghanistan.
“Kami mulai melihat para perempuan pemberani, perempuan kuat ini, yang bisa melaporkan bom bunuh diri, menetaskan air mata,” ujar Sama kepada Al Jazeera.
Salah seorang jurnalis foto perempuan, yang saat ini berada di Eropa dan meminta tidak disebutkan namanya, mengatakan dia menyaksikan eksodus para profesional media.
“Begitu banyak laki-laki dan perempuan terkenal yang Anda bisa lihat di TV dan dengar di radio setiap hari menunggu di bandara untuk keluar,” ujarnya.
Ketiga jurnalis ini berulang kali menyebut statistik pekerja media yang semakin berkurang.
“Kami terdiri dari 700 jurnalis perempuan di seluruh negeri menjadi 100 sekarang, hampir semuanya di Kabul,” kata Sama dan Sadat.
Baru-baru ini, majalah TIME menyebut jumlahnya kurang dari 40.
Kedua jurnalis perempuan ini mengatakan, rekannya yang masih bersembunyi menghubungi mereka dan mengungkapkan ketakutan mereka.
Sama, yang mengatakan masih berusaha untuk melarikan diri, berbicara terus terang tentang ketakutan yang dihadapi banyak jurnalis di Afghanistan saat ini.
“Ketakutan akan membunuhmu sebelum kematian,” pungkasnya.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pada Juli 2023 misalnya, seorang jurnalis media asing yang meliput penambangan nikel di Halmahera Tengah menjadi korban intimidasi petugas keamanan perusahaan.
Baca SelengkapnyaHasil Investigasi Ungkap Militer Israel Perbolehkan Tentaranya Bunuh Jurnalis di Gaza
Baca SelengkapnyaMembunuh jurnalis di tengah konflik adalah pelanggaran hukum internasional
Baca SelengkapnyaSejak 7 Oktober, Israel membunuh sedikitnya 70 jurnalis dan pekerja media.
Baca SelengkapnyaDaftar wartawan di Indonesia yang tewas dibunuh usai meliput kasus sensitif.
Baca SelengkapnyaKetua AJI Jakarta, Afwan Purwanto mengatakan kasus kali ini merupakan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terus berulang menjelang tahun politik 2024.
Baca SelengkapnyaIsrael menembakkan artileri ke rombongan jurnalis yang meliput di Libanon selatan, menewaskan satu orang.
Baca SelengkapnyaLaporan dilayangkan oleh AJV pada Kamis, 5 September 2024 malam.
Baca SelengkapnyaSejak agresinya di Gaza dimulai pada 7 Oktober, Israel telah membunuh sekitar 110 jurnalis.
Baca SelengkapnyaTNI-AL bertanggung jawab untuk melakukan proses pengobatan terhadap korban.
Baca SelengkapnyaAksi arogan bodyguard Atta Halilintar-Aurel Hermansyah terhadap para wartawan menjadi sorotan publik.
Baca SelengkapnyaDia sudah menerima pesan ancaman dari Israel lewat ponselnya pada Mei lalu.
Baca Selengkapnya