Ketika Jokowi Dibandingkan dengan Duterte dan Modi dalam Pemilu Tahun Ini
Merdeka.com - Beberapa negara besar di Asia akan menggelar Pemilu dalam beberapa bulan ke depan. Pemilu akan menguji semangat populisme yang muncul di beberapa negara di kawasan Asia. Dari Rodrigo Duterte di Filipina, Narendra Modi di India, dan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir pengamat dari luar menilai ketiga presiden ini telah berhasil merebut kekuasaan karena berjanji melakukan transformasi besar-besaran untuk rakyatnya.
Apapun hasil Pemilu di ketiga negara ini, yang diikuti petahana, populisme yang melekat dari Jokowi, Duterte dan Modi akan tetap membekas kecuali jika saingan liberal mereka menawarkan alternatif yang lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah yang aspiratif. Demikian analisis akademisi dari Manila, Richard Heydarian, seperti dilansir dari South China Morning Post, Kamis (31/1). Heydarian juga menulis buku Asia’s New Battlefield: US, China and the Struggle for Western Pacific.
Kendati ketiga presiden ini memiliki latar belakang dan cara kerja yang berbeda, ketiga tokoh ini memiliki empat kesamaan karakter. Pertama, untuk melawan birokrasi cacat dan korup, mereka menjanjikan kepemimpinan yang tegas dan efektif. Secara khusus, mereka sangat mengandalkan latar belakang eksekutif mereka dalam pemerintahan lokal. Selain itu juga kesantunan, serta latar belakang mereka yang termasuk kalangan warga biasa.
-
Bagaimana pemilu di Indonesia berkembang? Pemilu di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dan evolusi sejak masa kolonial hingga era modern.
-
Di mana Pupulih populer? Populer di wilayah Lebak Mengutip kantorbahasabanten.kemdikbud.go.id, Pupulih cukup populer dan masih dilestarikan oleh warga di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
-
Dimana PDIP meraih suara terbanyak di Pileg 2019? Adapun dalam Pileg 2019, PDIP di Bali berhasil meraih 60 persen suara sedang untuk Pilpres yang mengusung pasangan Jokowi-Amin mencapai 90 persen.
-
Kapan masyarakat Indonesia memilih pemimpin? Pada 14 Februari mendatang, masyarakat Indonesia akan menentukan pilihannya di TPS untuk Pemilu 2024.
-
Siapa yang diusung PDIP? Tri Rismaharini dengan Zahrul Azhar Asumta atau Gus Hans yang diusung PDIP.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte Noel Celis/AFP
Kedua, ketiga pemimpin ini menjalankan platform anti kemapanan, yang menjanjikan transformasi politik dengan menyingkirkan elit penguasa yang memiliki reputasi buruk. Ketiga, mereka menekankan pentingnya tatanan masyarakat, bahkan jika perlu dengan mengorbankan aturan hukum dan kebebasan sipil dasar. Dan, yang terpenting, mereka memiliki daya tarik besar di antara kelas menengah baru dan kaum muda.
Seruan mereka bukanlah kebebasan dan demokrasi, melainkan pemerintahan yang efektif dan pelayanan publik yang adil. Baik Jokowi, Duterte maupun Modi akan kembali mengikuti Pemilu.
Walapun mereka gagal menepati sejumlah janji kampanye akibat kelemahan birokrasi dan kompleksitas tantangan era globalisasi, Pemilu mendatang diprediksi tak bisa menggeser populisme mereka atau menyingkirkan mereka dari kekuasaan.
Di Filipina, salah satu negara demokrasi tertua di Asia, Duterte berhasil mempertahankan tingkat elektabilitas tertinggi (74 persen pada Desember). Survei ini bahkan mencengangkan mengingat ceracauan anti-Katoliknya di tengah masyarakat yang sangat konservatif, meningkatnya inflasi, lambannya pertumbuhan, dan pembunuhan di luar hukum yang meluas, yang mengganggu para investor dan komunitas internasional.
Di Indonesia, Jokowi berhasil mempertahankan tingkat elektabilitas dimana hasil surveinya mendekati angka 68 persen menjelang Pemilu pada April nanti, kendati ekonomi melambat, mata uang jatuh, serangan teror di kota-kota besar, dan peningkatan ketegangan komunal. Jokowi juga dinilai bukan populis yang sempurna, menampilkan diri sebagai satu-satunya wakil rakyat melawan elit, tetapi sebagai pemimpin reformis dengan daya tarik populis. Namun, cap populis ini dinilai sedikit demi sedikit memudar karena mengadopsi gaya retorika Duterte melawan kriminalitas dan narkoba serta memilih ulama sebagai cawapresnya yaitu Ma'ruf Amin di tengah kekhawatiran pendukungnya yang lebih liberal.
Sementara itu, Jokowi menghadapi jenis populisme sayap kanan yang lebih keras yaitu Prabowo Subianto, yang telah mengadopsi bahasa apokaliptik yang memuji otoritas absolut dan memanfaatkan nostalgia masa lalu yang otoriter.
Bahkan jika Jokowi menang, diperkirakan dia akan terus bergerak ke kanan untuk mengadang Prabowo dan para pendukungnya, terutama dalam masalah hukum dan ketertiban atau masalah sosial-agama.
Jokowi naik motor trail di Papua ©biro pers
Di India, Modi berada di posisi yang lebih sulit, dengan tingkat elektabilitas yang merosot (pertengahan 2018 merosot di bawah 50 persen untuk pertama kalinya) dan partainya, BJP, mengalami serangkaian kekalahan pemilihan lokal bulan lalu.
Merosotonya elektabilitas Modi diperkirakan akibat meningkatnya ketidakpuasan masyarakat atas kegagalannya mewujudkan janji-janji ekonominya yang ambisius. Namun, Modi masih diharapkan memenangkan Pemilu tahun ini walaupun dengan suara yang lebih kecil dari sebelumnya.
Inilah yang disebut Heydarian sebagai "emerging market populism", yang mempengaruhi negara-negara dengan tradisi politik demokrasi yang relatif kuat.
"Ini adalah merek politik yang mungkin akan tetap bersama kita di masa mendatang di tengah ketidakpuasan yang tumbuh dengan kemampuan lembaga-lembaga demokratis untuk mengakomodasi kebutuhan kelas menengah yang meningkat," jelasnya.
"Pertumbuhan ekonomi mengilhami peningkatan eksponensial dalam ekspektasi masyarakat, tetapi institusi negara terlalu lambat untuk merespons," lanjutnya.
Ini berbeda dengan populisme di Barat, di mana stagnasi dan tekanan ekonomi serta migrasi berskala besar telah memperkuat dorongan yang berlarut-larut untuk proteksionisme dan perbatasan yang lebih ketat. Populisme, terutama sayap kanan, diperkirakan akan menjadi ciri utama politik regional di tahun-tahun mendatang. Hal ini mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap demokrasi.
Menurut Survei Pew, hanya sejumlah kecil warga di Filipina (15 persen), Indonesia (12 persen) dan India (8 persen) menyatakan komitmen terhadap politik perwakilan. Artinya, populisme cenderung bertahan lebih lama dari masa pemerintahan para pemimpin seperti Duterte dan Modi.
"Cara terbaik untuk mengalahkan populis bukan hanya dengan mengandalkan nilai, karena keyakinan demokratis telah merosot secara dramatis di tengah masyarakat. Dengan memaparkan ketidakmampuan dan salah kelola yang mereka lakukan, sambil menawarkan agenda politik alternatif yang menggabungkan hak asasi manusia dengan pemerintahan yang efektif, suara kelas menengah yang tidak puas dapat dikuasai," kata Heydarian. (mdk/pan)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Survei Indikator Politik Indonesia mencatat pengaruh figur Jokowi dan Megawati dalam mempengaruhi pillihan publik ke PDIP
Baca SelengkapnyaDari Oktober 2023, elektabilitas PDI Perjuangan mengalami penurunan dari 20,8 persen, lalu 19,7 persen dan 19,1 persen di Desember 2023
Baca SelengkapnyaElektabilitas PDI Perjuangan memang masih di paling atas dengan angka 19,1 persen, tetapi terus alami penurunan dari survei sebelumnya.
Baca SelengkapnyaAirlangga menjelaskan bahwa pilkada melibatkan 508 kabupaten/kota dan 37 provinsi.
Baca SelengkapnyaPSI hanya menarik 3 persen dari pemilih yang puas dengan kinerja Jokowi.
Baca SelengkapnyaSurvei ini dilakukan 28 Januari sampai 4 Februari 2024 dengan metode multistage random sampling
Baca SelengkapnyaKetika tingkat dukungan untuk Jokowi meningkat, maka berdampak positif bagi PDIP.
Baca Selengkapnyaapabila pemilihan legislatif dilakukan pada hari ini, PDIP menjadi partai yang paling banyak dipilih dengan 17,4 persen."
Baca SelengkapnyaPDIP mendapatkan perolehan paling banyak sebanyak 24,1 persen dibandingkan dengan partai politik lainnya, berdasarkan survei indikator
Baca SelengkapnyaPopulasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau s
Baca SelengkapnyaPrabowo Subianto dinilai mendapatkan ‘Jokowi Effect’ yang membuat elektabilitasnya kian tinggi jelang Pilpres 2024.
Baca SelengkapnyaHasilnya, TNI memperoleh angka 85,8 persen dan Presiden 77,1 persen.
Baca Selengkapnya