Kisah Para Pendaki yang Berkecil Hati di Puncak Tertinggi
Merdeka.com - Ed Dohring, seorang dokter dari Arizona, Amerika Serikat, sudah memimpikan sepanjang hidupnya dia akan mencapai puncak tertinggi dunia di Gunung Everest. Tapi ketika dia menjejakkan kaki di titik tertinggi di muka bumi itu dia terkejut dengan apa yang dia saksikan.
Para pendaki berebutan naik ke puncak dan ingin berswafoto. Bagian datar di puncak tertinggi yang ukurannya kira-kira hanya dua kali lebar meja ping pong itu dipenuhi sekitar 15 sampai 20 orang pendaki. Untuk mencapai puncak, Dohring harus mengantre selama beberapa jam dengan jarak antarpendaki sangat rapat, dada saling menempel dengan pendaki lain, di tubir pijakan kaki berbatu es di ketinggian beberapa puluh ribu kaki.
Dohring bahkan harus melangkahi mayat seorang pendaki perempuan yang baru meninggal.
-
Siapa pendaki gunung yang tewas di Everest? Pada Juni 1924, sebuah tim ekspedisi melakukan pendakian Gunung Everest. Di tanggal 8 Juni, pendaki gunung asal Inggris bernama George L Mallory dan seorang mahasiswa teknik bernama Andrew 'Sandy' Irvine berangkat meninggalkan tim ekspedisi mereka untuk mecapai puncak. Sayangnya, mereka tidak pernah terlihat lagi dalam keadaan hidup.
-
Dimana pendaki ditemukan? 'Korban yang hilang ini kita tidak tahu masuk kelompok mana dia. Pencarian juga kita mempertimbangkan cuaca, jangan sampai nanti korban bertambah,' sebutnya.
-
Siapa pendaki yang hilang? Pada Senin (7/10), seorang gadis pendaki Gunung Slamet bernama Naomi Daviola dikabarkan hilang dan diduga tersesat.
-
Apa yang terjadi pada pendaki di Amerika Serikat? Seorang pendaki dari California, Amerika Serikat, berhasil selamat setelah terjebak di pegunungan selama sepuluh hari.
-
Mengapa warga Puncak meninggal? Kematian karena diare dan dehidrasi,“ Abdul menyebutkan berdasarkan laporan tersebut, kekeringan ini telah berdampak pada kurang lebih 7.500 jiwa.
-
Apa yang terjadi jika pendaki jatuh? 'Yang sering naik dan yang sering bikin konten, ini ke bawahnya sangat jauh, bisa sampai puluhan meter. Makanya yang jatuh kami pastikan tidak akan dievakuasi apapun alasannya. Karena apapun alasannya, ini sangat berbahaya,' terang pencinta alam tersebut.
"Sungguh menakutkan," kata dia via telepon dari Kathmandu, Nepal, tempat dia beristirahat di sebuah kamar hotel, seperti dikutip dari laman the New York Times, dua hari lalu. "Suasananya seperti di kebun binatang."
Peristiwa ini menjadi musim pendakian paling mematikan di Everest dengan 11 orang tewas. Masalahnya bukanlah longsoran salju, badai, atau angin kencang. Para veteran pendaki dan pentolan industri pendakian menyebut masalahnya adalah terlalu banyak orang di puncak itu, alias kebanyakan pendaki yang kurang berpengalaman.
Perusahaan penyedia penerbangan dalam semalam membawa para pendaki yang kurang terlatih dan itu menjadi risiko bagi semua orang di Everest. Sebagian pendaki berpengalaman berpendapat, pemerintah Nepal terlalu haus dengan dolar yang bisa mereka raih sehingga dengan mudah memberi izin bagi para pendaki melebihi yang bisa ditampung Everest. Apalagi Everest punya daya tarik yang tak bisa ditolak oleh para pendaki. Naik hajinya para pendaki adalah ke puncak Everest. Dan faktanya, Nepal adalah salah satu negara miskin di Asia dan punya catatan panjang bobroknya kebijakan, tata kelola yang berantakan dan korupsi.
©2019 Merdeka.com/PixabayAkibatnya menjadi terlalu padat di atas sana. Di ketinggian 8.800 meter tidak ada tempat untuk berbuat ceroboh dan sikap mendahulukan orang lain diuji hingga batas terjauhnya.
Untuk mencapai puncak, para pendaki harus membawa setiap peralatan yang mereka bisa angkut dan beberapa tabung oksigen untuk mencapai puncak dan turun kembali. Di ketinggian seperti itu sulit untuk berpikir jernih, kata para pendaki, dan penundaan sekitar satu dua jam bisa berarti taruhan hidup mati.
Menurut para sherpa dan pendaki, sejumlah kematian tahun ini disebabkan karena orang mengantre terlalu banyak di sisa ketinggian sekitar 300 meter dan mereka tidak mampu naik dan turun cukup cepat untuk mengisi kembali tabung oksigen. Sebagian lain memang belum cukup mampu untuk berada di puncak.
Para sherpa mengatakan, sejumlah pendaki bahkan tidak tahu cara memasang klip taji di sepatu untuk menjejakkan kaki di lapisan es. Nepal tidak punya aturan ketat untuk menyeleksi siapa yang boleh mendaki Everest dan para veteran pendaki mengatakan hal itu menjadi sumber bencana.
"Anda harus memenuhi kualifikasi untuk menjadi seperti Ironman," kata Alan Arnette, pendaki everest terkenal dan penulis buku kronik pendakian. "Tapi kemudian Anda tidak harus memenuhi kualifikasi untuk mendaki gunung tertinggi di dunia? Ada apa dengan semua ini?"
Terakhir kali 11 orang tewas di Everest adalah pada saat longsoran salju di 2015.
Tahun lalu para veteran pendaki, perusahaan asuransi dan media pemberitaan mengungkap kongkalikong para pemandu, perusahaan helikopter, dan rumah sakit untuk meraup jutaan dolar dari perusahaan asuransi dengan mengevakuasi para pendaki yang mengalami sedikit gejala sakit di ketinggian.
Pendaki juga mengeluhkan banyaknya pencurian dan sampah di Everest. Awal tahun ini tim penyelidik pemerintah menemukan ada masalah dalam tabung-tabung oksigen yang dipakai para pendaki. Para pendaki mengatakan tabung yang mereka pakai bocor, meledak, atau diisi dengan sembarangan di pasar gelap.
Namun meski sudah banyak laporan keluhan dan masalah, tahun ini pemerintah Nepal mengeluarkan 381 izin pendakian, terbanyak dalam sejarah, pertanda pendakian ini menjadi kian komersil. Para pendaki mengatakan izin pendakian terus bertambah saban tahun dan tahun ini kepadatan di puncak adalah yang terparah.
©Phunjo Lama/Agence France-Presse"Kondisi ini tidak akan membaik," kata Lukas Furtenbach, pemandu yang belum lama ini memindahkan para pendakinya ke sisi China dari Everest karena terlalu padatnya pendakian dari Nepal dan meningkatnya jumlah pendaki yang belum berpengalaman.
"Terlalu banyak korupsi di pemerintahan Nepal. Mereka ambil semua yang bisa mereka dapat."
Pemerintah Nepal membantah semua tuduhan itu dan mengatakan perusahaan pendakianlah yang bertanggung jawab atas keselamatan pendaki di atas sana.
Danduraj Ghimire, direktur jenderal departemen pariwisata Nepal dalam wawancara dua hari lalu mengatakan banyaknya korban tewas tahun ini tidak ada hubungannya dengan kepadatan di puncak. Tapi karena terlalu singkatnya cuaca cerah bagi para pendaki untuk mencapai puncak. Dia menuturkan, pemerintah tidak ada rencana untuk mengurangi izin pendakian.
"Kalau mau membatasi jumlah pendaki," kata Ghimire, "sekalian saja hentikan semua ekspedisi di Everest."
Yang pasti, pertaruhan untuk mencapai puncak memang ditentukan oleh cuaca. Bulan Mei adalah waktu yang paling tepat untuk mencapai puncak meski hanya ada beberapa hari ketika cuaca cukup cerah dan angin tidak terlalu kencang untuk mencapai puncak.
Beberapa dekade lalu, orang yang mendaki Everest kebanyakan adalah para pendaki berpengalaman yang mau membayar banyak uang. tapi belakangan, kata pendaki berpengalaman, perusahaan operator berbiaya rendah membuka loket di Kathmandu. Bahkan perusahaan asing yang mahal tapi tidak mengutamakan keselamatan ikut bermain di pasaran. mereka menawarkan siapa saja yang mau naik ke puncak.
Dari wawancara dengan sejumlah pendaki, tampaknya semakin mendekati puncak, tekanan emosi kian meningkat dan orang terkadang kehilangan kewarasan.
fatima Deryan, pendaki berpengalaman dari Libanon baru-baru ini menjumpai pendaki yang kurang berpengalaman ketika dalam perjalanan menuju puncak. Dia melihat mereka mulai tak sadarkan diri depannya. Suhu udara turun drastis ke minus 30 derajat Celsius. Tabung oksigen mulai menipis. Dan saat itu ada sekitar 150 orang berkerumun menuju puncak.
"Orang-orang panik, khawatir dengan keselamatan mereka dan tak ada satupun yang peduli terhadap mereka yang sudah pingsan," kata Deryan.
"Ini masalah etika. Kita semua bergantung pada oksigen. Anda mulai berpikir, kalau saya menolong yang lain maka saya akan mati."
Deryan menawarkan diri untuk menolong pendaki yang sakit tapi kemudian dia mulai berpikir hal itu bisa membahayakan dirinya dan dia meneruskan perjalanan ke puncak. Dalam perjalanan turun dia kembali harus berjuang melewati barisan kerumunan pendaki.
"Itu pengalaman mengerikan," kata dia.
Di saat yang kurang lebih sama, Rizza Alee, pendaki 18 tahun dari Kashmir, sedang dalam perjuangan menuju puncak. Dia mengaku terkejut dengan tipisnya rasa simpati orang-orang terhadap mereka yang sedang berjuang menuju puncak.
"Saya melihat beberapa orang yang tidak punya perasaan," kata Alee. "Saya meminta air minum tapi tidak ada yang mau memberi. Mereka sangat terobsesi dengan mencapai titik tertinggi. Mereka bersedia mati demi mencapai puncak."
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Adapun jarak puncak menuju pos evakuasi Batu Plano Gunung Marapi kira-kira dua setengah jam.
Baca SelengkapnyaKepala Kantor SAR Padang Abdul Malik mengatakan, 12 pendaki masih hilang, dan 11 meninggal dunia.
Baca SelengkapnyaPria ini mendaki Everest hampir setiap tahun karena berkaitan dengan pekerjaannya.
Baca Selengkapnya13 pendaki tersebut terpisah menjadi dua kelompok. Masing-masing 10 orang dan 3 orang.
Baca SelengkapnyaLima di antaranya sudah ditemukan lebih dulu dan sudah selesai diidentifikasi.
Baca SelengkapnyaIa membagikan momen saat temannya pamit untuk mendaki namun malah pulang dalam peti jenazah.
Baca SelengkapnyaErupsi Gunung Marapi mengeluarkan abu vulkanik sekitar 3.000 meter.
Baca SelengkapnyaTugu ini dibuat untuk seorang pendaki asal Kota Padang bernama Abel Tasman yang tewas karena terjebak erupsi.
Baca SelengkapnyaMemasuki hari ketiga pascaerupsi Gunung Marapi di Sumatera Barat, 18 pendaki dilaporkan masih hilang.
Baca SelengkapnyaDedaunan hijau dan tanaman sayuran kini berubah menjadi abu-abu karena berselimut debu.
Baca SelengkapnyaDia menyebutkan tidak ada peningkatan level saat Marapi mengalami erupsi. Karena saat itu Gunung Marapi mengalami erupsi freatik.
Baca SelengkapnyaSulitnya medan dan tingginya intensitas erupsi Gunung Marapi membuat upaya evakuasi tidak bisa berjalan baik.
Baca Selengkapnya