Kisah Pembakar Mayat Covid di India, “Saya Merasa Seperti Burung Pemakan Bangkai”
Merdeka.com - Deen Dayal Verma tidak pernah membakar mayat sebanyak tahun ini.
Duduk di bawah naungan atap semen di sebuah krematorium di kota Barabanki, pria 55 tahun yang menjadi pekerja krematorium selama enam tahun terakhir, berkata dengan senyum masam: “Sebenarnya, tidak ada mayat yang datang hari ini. Apakah Covid-19 sudah berakhir atau mayatnya dibawa ke krematorium lain?”
Di India, makna religius pembakaran mayat untuk menghormati orang yang meninggal ditinggalkan ketika mayat menumpuk selama gelombang kedua Covid-19 yang mematikan.
-
Bagaimana orang-orang di makam itu meninggal? Mereka ditemukan di bagian kota yang tidak memiliki karakteristik umum dari sebuah pemakaman, menunjukkan tanda-tanda kematian yang kejam.
-
Apa yang terjadi di kuburan massal? Menurut Pak Darmadi, di makam yang berada tepat di bawah sutet tegangan tinggi itu terdapat puluhan jasad korban anggota PKI.
-
Bagaimana korban meninggal? 'Dalam proses dari Lampung ke Jakarta ini (korban) pendarahan hebat. Pelaku juga mengetahui bahwa si korban sedang pendarahan. Pelaku ini mengetahui bahwa korban sedang pendarahan hebat, namun dibiarkan saja, sehingga korban kehabisan darah dan meregang nyawa,' kata dia.
-
Siapa korban tewas terbakar? Nasib tragis menimpa Anton (40), warga Dusun Darungan, Desa Kandangan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, yang tewas dalam kebakaran rumahnya.
-
Apa yang dialami korban? 'Dia alami luka cukup serius. Setelah kejadian, korban kemudian dilarikan ke RSUD Dekai, guna mendapatkan penanganan medis,' kata Kapolres Yahukimo AKBP Heru Hidayanto.
-
Apa yang terjadi pada pria di kremasi itu? Seorang pria berusia 25 tahun di Rajasthan, India, yang dinyatakan meninggal dunia oleh dokter di rumah sakit. Namun secara mengejutkan keluarga dari pria itu menemukannya masih bernapas di tempat kremasi.
Saat Deen Dayal menunggu pekerjaan datang, dia mengisap bidi (cerutu mini yang diisi dengan serpihan tembakau dan dibungkus dengan daun tendu yang diikat dengan tali).
“Saya belum menghitung jenazah, tetapi pada bulan April dan Mei, saya bekerja dari jam 5 pagi hingga tengah malam setiap hari. Saya pikir saya membakar lebih dari 100 tumpukan kayu bakar di bulan April saja. Tidak ada habisnya mayat yang datang ke krematorium ini,” jelasnya, dilansir Al Jazeera, Minggu (27/6).
“Sebelum gelombang kedua Covid-19, tiga hingga empat mayat biasa masuk per minggu.”
Deen Dayal adalah satu-satunya orang yang masih bekerja di krematorium ini. Dia tinggal di sebuah rumah kecil dengan dua kamar yang disiapkan untuknya di area tersebut, di mana dia tinggal bersama tiga anaknya – putri sulungnya, Soni (14) merawat dua adik laki-lakinya di siang hari. Istrinya pulang ke desa yang berjarak 48km di mana tinggal empat anaknya yang lain. Deen Dayal belum pulang selama dua bulan karena takut menularkan virus ke orang lain.
Krematorium menjadi sangat sibuk sehingga Deen Dayal tidak lagi menunggu petugas kebersihan kota datang setiap pagi – dia melakukannya sendiri sehingga keluarga jenazah tidak perlu menunggu krematorium siap.
“Selama dua bulan terakhir, beban kerja bertambah banyak sehingga saya sekarang membiasakan bangun pagi. Saya tidak ingin membuat orang menunggu. Saya tidak enak orang-orang harus menunggu bersama jasad-jasad itu untuk giliran kremasi.”
Negara bagian Uttar Pradesh, yang lebih padat penduduknya daripada Brasil, paling parah terkena dampak gelombang kedua Covid-19 di India. Uttar Pradesh mencatat 20.787 kematian, dengan ribuan lainnya diperkirakan tidak dilaporkan karena kurangnya tes Covid-19. Hingga 3 Juni, India secara resmi mencatat 337.787 kematian.
Keluarga tak mau menyentuh mayat
Deen Dayal mengatakan, ritual kremasi anggota keluarga yang dulu sangat dihormati mengalami perubahan besar karena pandemi.
Sebelumnya, kremasi merupakan tradisi penting dalam kepercayaan Hindu. Orang-orang datang berbondong-bondong memberikan penghormatan kepada orang mati sebelum tubuh ditempatkan di atas tumpukan kayu pemakaman dan dibakar.
“Sebelumnya, kremasi dilakukan dengan sangat hormat, tetapi sekarang bagi banyak keluarga, itu menjadi beban,” ujarnya.
Bahkan, lanjutnya, dalam banyak kasus, jasad hanya dibuang karena orang sangat takut tertular virus.
“Sering kali, anggota keluarga menolak untuk menyentuh mayat, dan dalam banyak kasus anggota keluarga bersikeras agar saya hanya menunjukkan wajah mereka sekali sebelum menyalakan kayu bakar, sehingga mereka dapat memberikan penghormatan terakhir.”
Deen Dayal tidak pernah menjalani tes Covid, juga belum divaksinasi. Dia tidak memiliki alat pelindung diri (APD). Semua yang telah diberikan oleh pemerintah kota setempat yang mengawasi krematorium adalah "Perlengkapan pencegahan Corona", yang berisi tablet vitamin C, tablet zinc, dan obat anti parasit selama lima hari.
“Saya mendengarkan semua orang. Saya pakai masker dan sarung tangan, pakai pembersih tangan, walaupun saya tahu itu tidak cukup, tapi saya tidak punya pilihan lain,” katanya.
Untuk kremasi setiap mayat, Deen Dayal dibayar 500 rupee atau sekitar Rp 97 ribu, dan dia meminta keluarga jenazah menyediakan sarung tangan, masker, dan pembersih.
Keluarga Deen Dayal sangat takut dengan pekerjaan yang digelutinya ini. Dia kerap diminta berhenti dari pekerjaannya.
“Tetapi jika saya berhenti mengatur dan menyalakan api, lalu siapa yang akan melakukannya dan apa yang akan saya lakukan? Satu-satunya pekerjaan yang saya tahu adalah ini. Jika saya berhenti melakukannya, bagaimana saya akan memberi makan keluarga?” kata dia.
“Saya mencoba mengambil tindakan pencegahan untuk menjauhkan diri dari infeksi tetapi ini adalah pekerjaan yang sangat berisiko. Saya harus melakukannya karena saya ingin memperlakukan setiap mayat dengan sangat hormat, kalau tidak saya tidak akan bisa menghadap Tuhan ketika saya mati.”
Menangis tiap malam
Putri Deen Dayal yang berusia 14 tahun, Soni, mengatakan keluarga di desa tidak mengizinkan ayahnya pulang setidaknya empat hari setelah membakar mayat. Di tempat tinggal mereka, ayahnya lebih memilih berada di luar rumah.
Jika ingin buang air, ayahnya pergi ke ladang dan tidak menggunakan toilet yang tersedia.
“Dia makan dan tidur di luar dan terkadang dia kesal kalau dia tidak bisa main dengan adikku yang laki-laki,” ujarnya.
“Saya melihatnya menangis di malam hari tetapi dia tidak pernah mengatakan alasannya.”
Soni melakukan yang terbaik untuk merawat adik laki-lakinya sementara ayahnya bekerja, tetapi itu tidak mudah. Salah satu adiknya, Sunny (6) mengalami patah pergelangan tangan saat bermain.
Jadi pendeta
Di Belai Ghat, di tepi sungai suci Gangga di Belai, Unnao, Uttar Pradesh, sekitar 64km utara Lucknow, Ankit Dwivedi menyampaikan kepada seseorang melalui telepon agar memastikan mayat yang bersamanya terbungkus rapat lembaran plastik jika mereka ingin melakukan kremasi.
Belakangan ini, para pendeta takut memimpin upacara kremasi karena pandemi, pemuda 23 tahun ini menggantikan peran tokoh agama tersebut. Meskipun dia bukan seorang pendeta dan tidak pernah mendapat pelatiha, Ankit bertugas memimpin doa sebelum mulai menyalakan api.
“Untuk melindungi diri saya sendiri, saya meminta semua orang untuk membungkus mayat dengan selembar plastik sebelum mereka datang ke ghats (tepi sungai).”
Setelah mayat dikremasi, anggota keluarga membawa abu dari krematorium terdekat untuk ditempatkan di sungai, dengan keyakinan jiwa orang yang meninggal akan dibersihkan oleh air.
Ankit mengatakan, karena krematorium tidak dapat memenuhi beban kerja, sekarang semakin banyak keluarga yang menguburkan orang mati – yang dulu dianggap tidak dapat diterima dalam agama Hindu. Tidak ada pilihan lain – krematorium penuh dan orang harus segera menyingkirkan mayat karena risiko infeksi dan stigma sosial yang melekat pada mereka yang meninggal karena Covid.
“Penyakit Covid ini telah mengubah banyak hal. Orang-orang sekarang ingin menguburkan jenazah mereka jika mereka tidak bisa melakukan kremasi secepat mungkin. Alasan di baliknya adalah kemiskinan dan ketakutan akan Covid,” kata Ankit.
“Sebelum pandemi, 10 hingga 12 kremasi dilakukan di ghat ini setiap minggu tetapi pada bulan April dan Mei saya telah melakukan setidaknya 25 kremasi setiap minggu dan tidak pernah dalam hidup saya melihat jumlah kematian yang begitu besar. Saya berdoa kepada Tuhan untuk tidak menunjukkan kepada kita situasi yang sama lagi.”
Setiap hari Ankit bangun pukul 05.30 dan sampai di tepi sungai pada pukul 06.00. Dia berada di tepi sungai sepanjang hari dan memakan makanan yang dibawa para pembawa mayat atau membeli di sekitar sungai.
“Sebelum pandemi, saya biasa mengayuh sepeda sendiri ke rumah pada sore hari untuk makan siang tetapi situasinya tidak sama sekarang. Saya telah mengisolasi diri saya karena saya tidak ingin membahayakan keluarga saya dengan membawa segala jenis infeksi,” jelasnya.
Ankit mengatakan orang tuanya telah berusia lanjut dan dia mengkhawatirkan mereka.
“Barang-barang saya telah dipisahkan oleh keluarga dan makan malam saya ditempatkan di luar kamar saya sebelum saya sampai di rumah.”
Begitu sampai di rumah, dia mengisolasi diri di kamarnya, dan tidak ada orang lain yang diizinkan masuk.
Ankit berasal dari keluarga pekerja kremasi. Mereka telah berkecimpung dalam pekerjaan ini selama lebih dari lima dekade. Mereka juga belajar bahasa Sansekerta, sehingga mereka dapat mengetahui ritual kremasi dalam agama Hindu.
Dalam dua bulan terakhir ini, Ankit tidak bisa kemana-mana termasuk bermain kriket bersama teman-temannya.
“Yang saya lakukan hanyalah melakukan kremasi, makan, tidur dan begitu terus. Ini telah menjadi rutinitas saya selama dua bulan terakhir dan tidak ada lagi yang terjadi dalam hidup saya,” kata dia.
“Yang saya pedulikan akhir-akhir ini adalah stok masker dan cairan pembersih saya karena ini adalah satu-satunya hal yang akan menyelamatkan saya dari Covid dan keluarga saya akan aman hanya jika saya aman,” ujarnya.
Ankit memiliki kebiasaan memijat kaki orang tuanya setiap malam sebelum tidur, tapi sekarang kebiasaan itu tidak bisa dilakukan lagi karena harus menjaga jarak.
“Ini adalah perasaan yang sangat menyedihkan karena tidak ada kehidupan tanpa keluarga dan jika pandemi ini tidak berakhir, maka saya yakin saya akan jatuh ke dalam depresi atau mati karena isolasi.”
Burung bangkai pemakan mayat
Satu-satunya “bonus” bagi Ankit, yang merupakan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarganya, adalah menghasilkan lebih banyak uang. Biaya standar 500 rupee atau Rp 97 ribu per mayat yang dikremasinya naik menjadi 2.000 rupee atau sekitar Rp 389 ribu. Tetapi keluarganya tidak terlalu gembira dengan hal ini.
“Melakukan kremasi adalah usaha keluarga kami, tetapi sekarang saya merasa seperti burung pemakan bangkai yang memakan mayat,” kata ayah Ankit, Vipin Bihari (50) yang telah pensiun.
“Saya belum pernah melihat kematian sebanyak itu dalam hidup saya dan putra saya harus melihat dan bekerja dalam situasi yang tidak menguntungkan ini. Keluarga kami tidak pernah berpikir untuk beralih pekerjaan tetapi sekarang saya merasa anak-anak kami harus melakukan sesuatu yang lain.”
Vipin mengatakan sedang mempertimbangkan untuk membuka toko kelontong yang dapat dia wariskan kepada anak-anaknya.
Dia mengatakan istrinya sangat merindukan putra mereka meskipun dia tinggal di kamar sebelah.
“Setiap malam istri saya meminta saya untuk menghentikan Ankit pergi ke tepi sungai dan melakukan kremasi, tetapi jika dia berhenti melakukan ini, apa lagi yang akan kami kerjakan untuk mendapatkan roti dan mentega?”
Ankit mengatakan dia merasa “seperti saya menipu agama saya karena orang-orang mengubur lebih banyak mayat dan tidak membakarnya sesuai dengan ritual keagamaan, tetapi apa lagi yang bisa saya lakukan?”
“Seperti yang ayah saya katakan, 'kami tidak lebih dari burung pemakan bangkai’. Kami memakan mayat. Semakin banyak mayat, semakin banyak uang tetapi tidak ada yang membayar kami dengan senang hati. Sering kali saya merasa bahwa uang ini bahkan lebih buruk daripada mengemis, tetapi ini adalah hidup saya dan saya menerimanya apa adanya.”
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Petugas ekspedisi tidak melaporkan kepada satpam perumahan karena menduga aroma busuk itu bau bangkai binatang.
Baca SelengkapnyaKekeringan air bersih akibat kemarau di Sumatera Selatan, memakan korban jiwa. Dua orang kakak beradik, tewas saat membersihkan sumur.
Baca SelengkapnyaPenyebab kematian kedua korban masih diselidiki dengan autopsi dan olah TKP.
Baca SelengkapnyaKotoran sapi diyakini bisa mengobati orang yang terkena sambaran petir.
Baca SelengkapnyaDigeshwar Rathiya, seorang pemuda dari desa Baigamar di India, meninggal setelah digigit ular berbisa katang benggala.
Baca SelengkapnyaAwalnya saat bangun dan digigit semut, ia membunuh semut tersebut. Namun ternyata hal itu justru membuat semut-semut lain mengejarnya.
Baca SelengkapnyaHasil penelitian di Afrika Selatan yang membuktikan jika spora yang dihasilkan dari bakteri Antraks ini bisa bertahan hingga 250 tahun lamanya.
Baca SelengkapnyaTahun baru, dua warga Blitar ditemukan membusuk dengan kondisi bersimbah darah
Baca SelengkapnyaUntuk biaya pemulangan jenazah ditanggung oleh pihak perusahaan.
Baca SelengkapnyaPara korban juga mengalami luka bakar maksimal dengan tingkatan atau grade enam.
Baca SelengkapnyaDua Warga Jonggol Tewas saat Bersihkan Sumur dari Bangkai Kucing, Diduga Keracunan Gas
Baca SelengkapnyaDi balik petugas yang istirahat sambil pakai alat bantu pernapasan, ada petugas lain yang sedang berjuang di tengah tebalnya asap.
Baca Selengkapnya