Lewat Film Propaganda, China Gambarkan Etnis Uighur yang Riang Gembira
Merdeka.com - Dalam salah satu adegan, perempuan Uighur terlihat menari dengan gaya Bollywood yang meriah saat berhadapan dengan sekelompok lelaki Uighur. Di foto lain, seorang pria Kazakh memainkan kecapi dua senar tradisional sambil duduk di yurt di hadapan kawan-kawannya.
Selamat datang di "The Wings of Songs", film musikal yang didukung negara, bagian terbaru dalam kampanye propaganda China untuk mempertahankan kebijakannya di Xinjiang. Kampanye tersebut semakin intensif dalam beberapa pekan terakhir karena sejumlah negara Barat dan kelompok hak asasi menuduh Beijing menindas Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang, diduga menerapkan kerja paksa dan melakukan genosida.
Film yang memulai debutnya di bioskop-bioskop China pekan lalu itu menawarkan sekilas visi alternatif Xinjiang yang didukung Partai Komunis China kepada penonton di dalam dan luar negeri. Tidak ada penindasan, film musikal ini sepertinya ingin menunjukkan Uighur dan minoritas lainnya bernyanyi dan menari dengan gembira dalam pakaian warna-warni. Tetapi propaganda ini dikecam aktivis HAM Uighur.
-
Bagaimana China mengawasi warga Uighur? Lebih lanjut, Astrid juga menjelaskan bahwa perkembangan situasi terkini dari masyarakat Uighur di China, di mana masih banyak CCTV atau kamera pengawas yang mengamati kondisi atau pergerakan warga di sana, khususnya di provinsi Xinjiang. 'Kondisi saat ini masih terjadi pembatasan atau pengawasan, baik secara langsung ataupun tidak langsung menggunakan teknologi yang lebih canggih,' jelasnya.
-
Apa yang terjadi pada warga Uighur? 'Dan kemudian mereka tidak tahu tentang orang tuaku. Itu terakhir kali aku mendengar kabar dari mereka,' ujar Abdul ketika menjadi narasumber pada agenda konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' diselenggarakan oleh OIC Youth Indonesia di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Kenapa warga Uighur dikriminalisasi? 'Penerintah komunis China mengkriminalisasi praktek Islam yang normal,' kata Abdul.
-
Bagaimana Tari Baris China dimainkan? Dalam tarian itu, musiknya dimainkan menghentak-hentak seperti siap perang. Para penari saling berhadap-hadapan dan puncak tarian itu adalah ketika mereka mengalami kesurupan saat memainkan pedang.
-
Apa yang ditampilkan di konser Wong Aksan? Komposer Aksan Sjuman bersama sejumlah musisi menampilkan berbagai komposisi musik dalam konser bertajuk “Dunia Saat Mata Terpejam“ yang diselenggarakan dalam rangkaian Powerfull Indonesia Festival di The Apurva Kempinski Bali, Kabupaten Badung, Bali.
-
Apa tindakan AS terkait genosida di Xinjiang? Laporan yang diterbitkan pada Rabu waktu setempat itu menggambarkan China sebagai 'rezim yang represif,' dengan mengklaim ada genosida di Xinjiang dan pembatasan kegiatan keagamaan tertentu.
"Gagasan bahwa orang Uighur bisa menyanyi dan menari karena itu tidak ada genosida - itu tidak akan berhasil,” jelas Nury Turkel, seorang pengacara Uighur-Amerika dan rekan senior di Institut Hudson di Washington.
“Genosida dapat terjadi di tempat yang indah sekalipun,” lanjutnya, dikutip dari The New York Times, Rabu (7/4).
Setelah sanksi Barat, pemerintah China menanggapi dengan gelombang baru propaganda Xinjiag. China menggambarkan versi kehidupan yang bersih dan nyaman di Xinjiang sebagaimana digambarkan dalam film musikal tersebut dan mengerahkan pejabat China di situs media sosial untuk menyerang para kritikus Beijing. Untuk memperkuat pesannya, partai tersebut menekankan upayanya untuk memberantas ancaman terorisme kekerasan.
Menurut pemerintah, Xinjiang sekarang menjadi tempat damai di mana etnis Han China, kelompok etnis mayoritas, hidup harmonis bersama etnis minoritas Muslim di kawasan itu, seperti "biji delima". Ini adalah tempat di mana pemerintah berhasil membebaskan perempuan dari belenggu pemikiran ekstremis. Dan etnis minoritas di kawasan itu digambarkan bersyukur atas upaya pemerintah.
Tak sesuai kenyataan
Film musikal ini membawa narasi ke tingkatan baru yang memicu rasa ngeri. Film ini bercerita tentang tiga pemuda, seorang Uighur, seorang Kazakh dan seorang China Han, yang berkumpul untuk mengejar impian musik mereka.
Film tersebut menggambarkan Xinjiang, wilayah yang didominasi Muslim di ujung barat China, yang terbebas dari pengaruh Islam. Pemuda Uighur mencukur jenggotnya dan terlihat menenggak bir, bebas dari jenggot dan pantangan alkohol yang dianggap pihak berwenang sebagai tanda-tanda ekstremisme agama. Perempuan Uighur terlihat tanpa penutup kepala.
Uighur dan etnis minoritas Asia Tengah lainnya juga digambarkan terasimilasi sepenuhnya dengan masyarakat arus utama. Mereka fasih berbahasa Mandarin, dengan sedikit petunjuk bahasa asli mereka. Mereka rukun dengan mayoritas etnis Han, tanpa rasa kebencian yang telah lama membara di antara Uighur dan minoritas lainnya karena diskriminasi sistematis.
Narasi tersebut menyajikan gambaran yang sangat berbeda dari kenyataan di lapangan, di mana pihak berwenang mempertahankan kontrol ketat menggunakan jaringan kamera pengintai dan kantor polisi yang padat, dan menangkap banyak orang Uighur dan Muslim lainnya di kamp-kamp interniran massal dan penjara. Pada Senin, film tersebut telah menghasilkan USD 109.000 di box office, menurut Maoyan, sebuah perusahaan yang melacak penjualan tiket.
Pejabat China awalnya membantah keberadaan kamp interniran di kawasan itu. Kemudian berdalih fasilitas tersebut pusat pelatihan vokasi atau keterampilan.
Semakin agresif
Saat ini pendekatan pemerintah China semakin agresif, berupaya membenarkan kebijakannya dengan dalih memerangi terorisme dan separatisme di wilayah tersebut.
Pejabat China dan media pemerintah telah mendorong narasi pemerintah tentang kebijakannya di Xinjiang sebagian dengan menyebarkan narasi alternatif - termasuk disinformasi - di jejaring sosial Amerika seperti Twitter dan Facebook. Pendekatan ini mencapai titik tertinggi sepanjang masa tahun lalu, menurut laporan yang diterbitkan pekan lalu oleh para peneliti di Pusat Kebijakan Siber Internasional Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI).
Para peneliti ASPI menemukan, kampanye media sosial dilakukan para diplomat China di Twitter, akun media pemerintah, influencer dan buzzer pro-Partai Komunis. Akun tersebut mengirim pesan yang kerap bertujuan menyebarkan disinformasi tentang Uighur yang berani berbicara, dan menyerang para peneliti, jurnalis, dan organisasi yang menangani masalah Xinjiang.
Profesor politik China Universitas Canterbury di Selandia Baru, Anne-Marie Brady, yang tidak terlibat dalam laporan ASPI, menyebut tindakan ofensif China di Xinjiang merupakan kampanye propaganda internasional terbesar yang dia lihat selama 25 tahun penelitiannya terkait sistem propaganda China.
"Lantang dan dogmatis, semakin agresif,” ujarnya melalui surel.
“Dan itu akan terus berlangsung, apakah itu efektif atau tidak.”
Dalam sebuah pernyataan, Twitter mengatakan telah memblokir sejumlah akun yang dikutip oleh para peneliti ASPI. Facebook mengatakan dalam sebuah pernyataan, baru-baru mereka telah menghapus grup peretas kriminal yang menargetkan diaspora Uighur.
Buku teks subversif?
Pekan lalu, pemerintah melontarkan klaim telah mengungkap rencana intelektual Uighur untuk menyebarkan kebencian etnis. Media pemerintah, CGTN, merilis sebuah film dokumenter pada Jumat yang menuduh para intelektual tersebut menulis buku teks yang penuh dengan “darah, kekerasan, terorisme dan separatisme.”
Buku-buku tersebut diizinkan penggunaannya di sekolah dasar dan menengah di Xinjiang selama lebih dari satu dekade. Kemudian pada 2016, sesaat sebelum penindasan dimulai, tiba-tiba buku-buku tersebut dianggap subversif.
Film dokumenter itu menuduh para intelektual telah mendistorsi fakta sejarah, mengutip, misalnya, dimasukkannya foto sejarah Ehmetjan Qasim, seorang pemimpin negara merdeka berusia pendek di Xinjiang pada akhir 1940-an.
“Itu tidak masuk akal,” kata Kamalturk Yalqun, yang ayahnya, Yalqun Rozi, seorang sarjana Uighur terkemuka, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara pada tahun 2018 karena percobaan subversi atas keterlibatannya dengan buku teks itu.
Dia mengatakan foto ayahnya yang ditampilkan dalam film tersebut adalah pertama kali dia melihat ayahnya dalam lima tahun terakhir.
“China hanya mencoba memikirkan cara apa pun yang dapat mereka pikirkan untuk merendahkan orang Uighur dan membuat buku teks ini terlihat seperti bahan berbahaya,” jelasnya melalui telepon dari Boston.
“Ayah saya bukanlah seorang ekstremis tetapi hanya seorang sarjana yang mencoba melakukan tugasnya dengan baik.”
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Erick siap berada di dalam maupun di luar pemerintahan.
Baca SelengkapnyaLaporan AS mengklaim ada genosida di Xinjiang dan pembatasan kegiatan keagamaan tertentu serta menunjukkan peningkatan "anti-Semitisme" secara daring.
Baca SelengkapnyaMassa AMI menuntut PBB agar membawa kasus tindakan kekerasan China terhadap muslim Uighur ke Mahkamah Internasional.
Baca SelengkapnyaVietnam menggelar penyelidikan terhadap panitia tur konser Blackpink di negara itu setelah ada kritikan dari fans.
Baca SelengkapnyaBeredar unggahan di media sosial yang mengklaim pasukan tentara China disiapkan untuk menyerang Indonesia
Baca SelengkapnyaRupanya, China memiliki drone untuk mendukung proses pengamatan sasaran dengan bentuk berupa burung gereja.
Baca SelengkapnyaMemberikan ucapan Gong Xi Fa Cai sudah menjadi tradisi tersendiri.
Baca SelengkapnyaTari Sining, seni tradisional asal Gayo yang saat ini sudah hampir punah termakan oleh zaman.
Baca SelengkapnyaToleransi antar umat beragama di Xinjiang cukup baik. Masjid ada dimana-mana, gereja juga ada.
Baca SelengkapnyaProject Pop tampil asyik dengan lagu-lagu seperti, Ingatlah Hari Ini, Dangdut Is The Music Of My Country, dan Goyang Duyu.
Baca SelengkapnyaKesenian ini biasanya dimainkan oleh puluhan orang untuk menyindir Belanda.
Baca SelengkapnyaDengan berkembangnya industri musik, lagu berkonsep tradisional yang menggunakan bahasa daerah juga tidak kalah, dan mendapatkan perhatian.
Baca Selengkapnya