Melihat satu-satunya rumah sakit Yahudi di Iran yang bergulat dengan sanksi AS
Merdeka.com - Sebuah spanduk besar terlihat membayangi pintu masuk ke Rumah Sakit Dr. Sapir, satu-satunya fasilitas medis milik Yahudi di Iran yang terletak di jalan yang sibuk di pusat kota Teheran.
"Cintailah tetanggamu seperti dirimu sendiri," begitu bunyinya dalam bahasa Persia, menggemakan perintah yang ditemukan dalam teks agama Yahudi, Torah.
"Sejak awal, ada peraturan yang sangat penting di rumah sakit ini: Kami tidak bisa bertanya tentang agama pasien. Di sini, kami hanya bertanya tentang rasa sakit pasien," ujar direktur rumah sakit, Dr. Siamak Morsadegh, dikutip dari Aljazeera, Senin (3/9).
-
Apa bentuk pelanggaran etika oleh dokter Israel? Keterlibatan tenaga medis secara nyata dalam penyiksaan tahanan dilarang oleh Deklarasi Tokyo Asosiasi Kedokteran Dunia.
-
Siapa yang dirawat di rumah sakit? Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, saat ini dirawat di rumah sakit akibat infeksi pernapasan.
-
Siapa saja dokter relawan di Gaza? Kedua sosok tersebut adalah dr. Dede Subrata, SpAn dan dr. Faradina Sulistiyani, SpB yang telah 4 minggu berada di Gaza.
-
Apa pekerjaan Ayah Alshad Ahmad? Ayah Alshad Ahmad pernah bekerja di kantor pajak selama 11 tahun dan saat ini memiliki banyak bisnis, termasuk rumah produksi film.
-
Mengapa dokter relawan ke Gaza? Perasaan saya akhirnya bisa kembali ke Indonesia alhamdulillah saya bersyukur. Tapi di sisi lain saya juga sedih, kita punya keluarga di Palestina sana itu saudara kita sesama Muslim dan di sana sudah menjadi rumah kedua bagi saya pribadi,' kata Faradina.
-
Apa prestasi Dokter Kasil sebagai kepala dinas? Di bawah kepemimpinannya, ia berhasil menciptakan pelayanan terpadu dari faskes tingkat desa hingga rumah sakit daerah.
"Kami ingin melakukan yang terbaik untuk semua rakyat Iran," ujar ahli bedah itu.
Selama 76 tahun, Rumah Sakit Dr. Sapir menjadi bagian di lingkungan Oudlajan Teheran, yang dulu merupakan kawasan Yahudi, hanya berjarak beberapa blok dari Grand Bazaar terkenal yang telah berusia ratusan tahun dan tak jauh dari parlemen Iran.
Sebagian besar penduduk Yahudi di daerah itu telah pergi, tetapi rumah sakit itu tetap beroperasi sebagai rumah sakit amal melayani sebagian besar pasien berpenghasilan rendah dari lingkungan mayoritas Muslim, ditopang oleh dana dari Komite Yahudi Teheran.
Saat ini, 98 persen pasien dan 95 persen staf di Rumah Sakit Dr. Sapir bukan orang Yahudi.
Selama bertahun-tahun, rumah sakit telah melewati beberapa episode paling bergolak dari sejarah Iran, seperti revolusi 1979, di mana staf medisnya merawat pengunjuk rasa dan menyembunyikan mereka dari polisi rahasia yang ditakuti Shah, Savak.
Tapi sekarang, dengan kembalinya sanksi AS di belakang penarikan Washington dari kesepakatan nuklir Iran, Morsadegh dan staf rumah sakitnya menghadapi dilema bagaimana merawat pasien yang paling rentan.
Rumah Sakit Dr Sapir yang merupakan satu-satunya fasilitas medis Yahudi di Iran Ted Regencia/Al Jazeera
Sama seperti rumah sakit lain di seluruh Iran, rumah sakit Dr. Sapir membutuhkan obat-obatan impor dengan kondisi saat ini akses mendapatkan obat-obatan itu menjadi tidak pasti.
Meskipun obat-obatan dari luar negeri tidak termasuk dalam babak pertama sanksi AS yang diumumkan sebelumnya pada bulan Agustus, namun sistem pembayaran dari Bank di Iran efeknya tetap sama. Ini adalah konsekuensi hidup dan mati bagi orang-orang Iran yang sakit.
Selain bekerja sebagai dokter di rumah sakit, Morsadegh juga merupakan anggota parlemen Iran, ia merupakan satu-satunya orang Yahudi di antara 290 legislator di negeri Mullah. Sejak 2008, ia telah mewakili lebih dari 25.000 orang Yahudi Iran.
Morsadegh mengakui menyeimbangkan kedua peran tersebut memiliki tantangan tersendiri.
"Tetapi kita memiliki pepatah, 'Tuhan mencintai orang bodoh dan ahli bedah. Dan tentu saja, Tuhan mengasihi seorang ahli bedah yang bodoh seperti saya. Jadi, Dia membuatnya berhasil di saya," katanya, sambil memegang tasbihnya dengan tangan kirinya.
Melihat sanksi AS, dan permusuhan antara Teheran dan Washington, dokter itu mengatakan bahwa orang-orang Yahudi Iran saling berdiri bahu-membahu dengan kebijakan Republik Islam.
"Kami bukan kelompok yang berbeda dari orang Iran lainnya. Kami adalah bagian dari bangsa Iran," katanya, menambahkan bahwa tidak ada kontradiksi antara menjadi orang Iran dan Yahudi.
"Setiap keputusan yang dibuat oleh bangsa Iran, tentang kepentingan nasionalnya, tentang perbatasannya dan tentang hubungannya dengan orang lain diterima oleh orang Yahudi Iran," ujar Morsadegh.
Fasilitas kesehatan di Rumah Sakit Dr Sapir yang telah beroperasi sejak 1942 Ted Regencia/Al Jazeera
Manajer Rumah Sakit Dr. Sapir, Khodad Asna Ashahri, yang juga seorang pria Muslim mengatakan, bahwa sepanjang karirnya selama lima dekade di fasilitas kesehatan tersebut, staf Yahudi dan non-Yahudi telah bekerja berdampingan untuk melayani pasien 'tanpa memandang agama, warna atau asal mereka'.
Selama delapan tahun perang Iran-Irak di tahun 1980-an, rumah sakit itu mengalokasikan setidaknya 30 persen dari kapasitasnya untuk merawat tentara yang terluka, katanya. Pada saat itu, banyak orang Yahudi Iran bertempur dan mati dalam perang.
Ikatan kuat akar Iran-Yahudi
Younes Hamami Lalehzar, seorang rabi senior di Sinagog Abrishami, salah seorang dari lebih dari 50 rumah ibadat Yahudi di Teheran, mengatakan mungkin banyak orang yang terkejut jika hubungan Yahudi dengan Iran telah terjalin sejak 2.700 tahun yang lalu.
Dipercaya bahwa pahlawan wanita Yahudi, Ester, dan pamannya Mordechai dimakamkan di kota Hamedan di Iran barat. Menurut teks alkitab Yahudi, Ester menikah dengan raja Persia, Xerxes.
Dalam sejarah yang lebih kontemporer, Iran juga menyambut orang-orang Yahudi, yang melarikan diri dari Inkuisisi Spanyol. Dan selama pemimpin Nazi Jerman Adolf Hitler mengamuk di Eropa, orang Yahudi Polandia mencari perlindungan di Iran.
Tetapi ada juga periode kerusuhan, seperti konversi paksa orang Yahudi ke Islam selama era Safawi dan Qajar, dan migrasi ribuan orang Yahudi Iran ke AS setelah Revolusi Islam 1979.
"Kehidupan Yahudi di Iran terhubung dengan kehidupan Iran lainnya, mereka tidak terpisah," kata Lalehzar, yang juga seorang dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Dr. Sapir.
Lalehzar mengatakan orang Yahudi Iran "berbagi kesedihan" dan pengalaman seluruh negeri dengan kembalinya sanksi AS.
(mdk/frh)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tim pertama terdiri dari 25 orang nakes ditempatkan di Field Hospital UEA di Raffah, Palestina (10 orang)
Baca SelengkapnyaSeorang dokter yang bertugas di Gaza memberikan kesaksian yang begitu memilukan atas apa yang dialami warga Gaza Palestina.
Baca SelengkapnyaAgung mengatakan pihaknya meminta maaf sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan.
Baca SelengkapnyaDengan total 34 tenaga kesehatan TNI, satgas ini terbagi menjadi dua tim yang bekerja di lokasi berbeda.
Baca SelengkapnyaRumah Sakit (RS) Medistra Jakarta melarang dokter dan perawat menggunakan hijab.
Baca SelengkapnyaKeterlibatan tenaga medis secara nyata dalam penyiksaan tahanan dilarang oleh Deklarasi Tokyo Asosiasi Kedokteran Dunia.
Baca SelengkapnyaPendeta Gereja Baptis di Jalur Gaza berinisiatif mengubah rumah ibadahnya menjadi klinik untuk merawat korban perang.
Baca SelengkapnyaUAS menjelaskan pentingnya bagi seorang muslimah untuk tidak bekerja di perusahaan yang mewajibkan mereka melepas jilbab.
Baca SelengkapnyaMomen pria Indonesia berkunjung ke komplek Masjidilaqsa.
Baca SelengkapnyaPenjajah Israel menyerbu RS Al-Shifa pada November 2023, memaksa para pasien dan tenaga medis keluar dari fasilitas kesehatan terbesar di Gaza tersebut.
Baca SelengkapnyaPara dokter di Gaza menanggapi pernyataan dari sekelompok dokter Israel yang akhir pekan lalu menyerukan pengeboman rumah sakit di Gaza.
Baca SelengkapnyaAgung mengatakan, RS Medistra sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan selalu patuh dan tunduk terhadap peraturan yang berlaku.
Baca Selengkapnya