Negara-Negara Kaya “Halangi” Pengiriman Vaksin Covid-19 untuk Negara Berkembang
Merdeka.com - Negara-negara kaya – termasuk Inggris – menghalangi permintaan untuk membantu negara-negara berkembang meningkatkan kemampuan produksi vaksin mereka, seperti ditunjukkan sebuah dokumen yang bocor yang ditayangkan dalam acara BBC Newsnight.
Beberapa negara miskin telah meminta WHO untuk membantu mereka. Tapi negara-negara kaya menolak ketentuan dalam hukum internasional yang memungkinkan negara miskin mendapatkan bantuan.
Ini sesuai dengan salinan yang bocor dari teks negosiasi resolusi WHO tentang masalah tersebut. Negara kaya yang disebutkan dalam dokumen itu di antaranya Inggris, AS, termasuk Uni Eropa.
-
Kenapa negara termiskin kesulitan beli vaksin? Ini terlepas fakta bahwa negara termiskin juga berjuang untuk membeli dan meluncurkan vaksin COVID-19 untuk melawan pandemi.
-
Siapa yang terlibat dalam produksi vaksin dalam negeri? Salah satu proyek unggulannya adalah pengembangan Vaksin Merah Putih atau INAVAC yang bekerja sama dengan Universitas Airlangga (Unair).
-
Apa tujuan produksi vaksin dalam negeri? Kemandirian dalam produksi vaksin merupakan salah satu kebijakan utama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam meningkatkan ketahanan kesehatan nasional.
-
Kenapa vaksin dalam negeri penting? Hal ini disampaikannya saat meresmikan fasilitas produksi vaksin PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia di Kabupaten Bogor, pada Rabu (11/9). Menkes Budi menekankan bahwa pengalaman sukses dalam mengembangkan Vaksin Merah Putih menunjukkan betapa krusialnya memiliki berbagai jenis vaksin untuk memastikan keamanan kesehatan masyarakat.
-
Bagaimana cara meningkatkan ketahanan kesehatan melalui vaksin? Menkes Budi juga menambahkan, untuk mendukung ketahanan kesehatan, diperlukan penelitian yang berkelanjutan dan mengikuti perkembangan teknologi. Pemerintah melalui berbagai program terus mendorong pengembangan vaksin berbasis teknologi terkini.
-
Mengapa beberapa orang kebal terhadap Covid-19? Meskipun vaksin dan booster secara radikal mengurangi risiko kematian dan komplikasi berat dari COVID-19, mereka tidak banyak membantu menghentikan virus dari memasuki lapisan hidung dan sistem pernapasan.
Diarmaid McDonald, dari Just Treatment, sebuah kelompok pasien untuk memperjuangkan akses obat-obatan yang adil, mengatakan program WHO bisa memudahkan negara-negara miskin untuk memproduksi lebih banyak vaksin dan obat-obatan di negara mereka, dengan bantuan fasilitas dan pendanaan.
“Inggris berada di sisi berlawanan dari argumen tersebut mencoba untuk menghapus proposal progresif semacam itu dari teks,” jelasnya, dikutip dari BBC, Minggu (21/3).
Seorang juru bicara pemerintah Inggris mengatakan “pandemi global membutuhkan solusi global dan Inggris berada di garda terdepan mendorong upaya untuk memastikan akses vaksin dan perawatan Covid yang adil di seluruh dunia”.
Juru bicara itu mengatakan Inggris adalah salah satu donor terbesar bagi upaya internasional untuk memastikan lebih dari 1 miliar dosis vaksin virus corona masuk ke negara-negara berkembang tahun ini.
Akses setara
Apakah pemerintah harus campur tangan untuk memastikan pasokan obat-obatan yang terjangkau adalah masalah yang sudah berlangsung lama. Tetapi kemampuan berbagai negara untuk mendapatkan vaksin dan obat-obatan semakin disorot saat pandemi.
Sejumlah pakar menyampaikan, akses yang setara terhadap vaksin penting untuk mencegah kasus dan kematian serta berkontribusi dalam pembentukan kekebalan masyarakat global.
Tetapi kapasitas global untuk produksi vaksin sekitar sepertiga dari yang diperlukan, menurut pakar kebijakan obat-obatan dan hukum kekayaan intelektual, Ellen t'Hoen.
“Ini adalah vaksin yang diproduksi negara-negara kaya dan pada umumnya diamankan oleh negara-negara kaya itu,” jelasnya.
“Negara-negara berkembang mengatakan kami membutuhkan jatah kue, tidak hanya jatah vaksin, tapi juga jatah hak untuk memproduksi vaksin-vaksin ini,” lanjutnya.
Untuk membuat vaksin, yang diperlukan tidak hanya hak untuk memproduksi bahan penyusunnya (yang dilindungi hak paten), tapi juga perlu memiliki pengetahuan tentang cara pembuatannya karena teknologinya bisa jadi rumit.
WHO tidak memiliki kewenangan untuk mengabaikan hak paten - tetapi berusaha menyatukan negara-negara untuk menemukan cara untuk meningkatkan pasokan vaksin.
Diskusi tersebut termasuk menggunakan ketentuan dalam hukum internasional untuk menyiasati paten dan membantu negara-negara memiliki kemampuan teknis untuk membuatnya.
Tetapi industri farmasi berpendapat, menghapus paten akan menghambat kemampuannya untuk berinvestasi dalam pengobatan masa depan untuk Covid dan penyakit lainnya.
Awal bulan ini, perwakilan industri farmasi AS menulis ke Presiden Joe Biden, mengungkapkan kekhawatiran mereka.
"Menghapus perlindungan itu akan merusak respons global terhadap pandemi,” tulis mereka, termasuk upaya berkelanjutan untuk mengatasi varian baru virus corona.
Ini juga akan menciptakan kebingungan yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap keamanan vaksin, dan menciptakan penghalang untuk berbagi informasi.
“Yang terpenting, menghilangkan perlindungan tidak akan mempercepat produksi,” ujarnya.
Anne Moore, seorang ahli imunologi vaksin, khawatir tentang dampak menghilangkan paten terhadap penelitian di masa depan.
“Seiring waktu kami melihat semakin sedikit organisasi dan perusahaan komersial yang bergerak di bidang vaksin karena keuntungannya sangat kecil,” jelasnya.
Perusahaan farmasi menunjukkan bahwa mereka juga telah menyumbang secara finansial dan memberikan obat-obatan untuk membantu mengatasi pandemi.
Tetapi para pegiat berpendapat, sekitar USD 125 miliar uang publik telah digunakan untuk mengembangkan pengobatan dan vaksin Covid sehingga masyarakat harus memiliki kepentingan. Begitu pandemi berakhir, ada banyak uang yang bisa dihasilkan.
“Jelas ada rencana jangka panjang untuk menaikkan harga vaksin ini setelah fase paling mendesak dari pandemi selesai. Jadi itu alasan lain mengapa negara berkembang mengatakan kita perlu mendapatkan kemampuan untuk memproduksi sendiri vaksin ini sekarang,” jelas t'Hoen.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kedua ancaman terbesar tersebut adalah kemungkinan terjadinya perang besar akibat ketidakstabilan global saat ini dan kemungkinan pandemi berikutnya.
Baca SelengkapnyaNamun kalau untuk yang komorbid, kata Menkes, risiko tetap ada karena virusnya tidak hilang.
Baca SelengkapnyaBerkembangnya hilirisasi Indonesia bikin China-Eropa ketar-ketir.
Baca SelengkapnyaBadan Pengawas Obat Eropa juga telah melarang peredaran vaksin ini.
Baca SelengkapnyaBahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca SelengkapnyaPemanfaatan BMN ini digunakan untuk usaha yang lebih produktif.
Baca SelengkapnyaPajak ringan bagi orang super kaya digagas saat G20 di bawah kepemimpinan Luiz Inácio Lula da Silva.
Baca SelengkapnyaProduksi vaksin dalam negeri dianggap akan mampu mendorong ketahanan kesehatan nasional.
Baca SelengkapnyaLangkah ini menuai reaksi positif, hanya saja juga muncul kekhawatiran akan digunakan untuk orang tidak bertanggungjawab.
Baca SelengkapnyaNegara miskin diyakini memiliki kekuatan dalam bernegosiasi karena mereka merasakan dampaknya secara langsung.
Baca SelengkapnyaDalam hal pajak, mereka membayar dengan presentase kekayaan lebih sedikit dibandingkan rata-rata pekerja.
Baca SelengkapnyaNegara miskin menghadapi ketidakstabilan ekonomi dan bahkan kebangkrutan akibat beban pinjaman luar negeri.
Baca Selengkapnya