Pada Akhirnya Mereka Belajar 'Merelakan' dan Hidup Berdampingan dengan Covid-19
Merdeka.com - Inggris telah mencabut hampir seluruh pembatasan virus corona. Jerman mengizinkan orang-orang yang telah divaksinasi untuk bepergian tanpa karantina. Kewajiban pemakaian masker di luar ruangan sebagian besar telah dicabut di Italia. Mal-mal masih tetap buka di Singapura.
Delapan belas bulan setelah virus corona pertama kali muncul, pemerintah di Asia, Eropa, dan Amerika mendorong warganya kembali ke ritme kehidupan sehari-hari dan transisi menuju normal baru di mana kereta, kantor-kantor, restoran, dan bandara kembali penuh. Mantranya sama: Kita harus belajar hidup dengan virus.
Tetapi para ilmuwan memperingatkan strategi keluar dari pandemi mungkin premature. Munculnya varian virus corona yang lebih menular membuat negara-negara yang bahkan tingkat vaksinasinya tinggi seperti AS tetap rentan. Tempat-tempat seperti Australia, yang menutup perbatasannya, sedang mempelajari bahwa mereka tidak dapat mencegah virus keluar.
-
Mengapa Covid-19 menjadi pandemi global? Pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu peristiwa paling berdampak di abad ke-21. Penyakit yang disebabkan oleh virus corona jenis baru ini telah menginfeksi lebih dari 200 juta orang dan menewaskan lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia.
-
Apa dampak pandemi Covid-19? Pandemi Covid-19 mengubah tatanan kesehatan dan ekonomi di Indonesia dan dunia. Penanganan khusus untuk menjaga keseimbangan dampak kesehatan akibat Covid-19 serta memulihkan ekonomi harus dijalankan.
-
Kapan virus muncul? Virus-virus ini dapat menyebabkan penyakit ringan hingga mematikan.
-
Kapan kasus Covid-19 meningkat? Kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
-
Mengapa virus menyerang manusia? Virus yang dapat menyerang manusia memang perlu dipahami.
-
Kapan Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
Pemerintah mulai menerima lockdown dan pembatasan adalah bagian penting dari pemulihan. Warga didorong untuk mengubah perspektif pandemi mereka dan fokus untuk menghindari penyakit parah dan kematian daripada infeksi, yang lebih sulit untuk dihindari. Dan negara-negara dengan ambisi nol-Covid memikirkan kembali kebijakan tersebut.“Anda perlu memberi tahu orang-orang: Kami akan mendapat banyak kasus,” jelas Dale Fisher, seorang profesor kedokteran di Universitas Nasional Singapura yang mengepalai Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nasional Kementerian Kesehatan Singapura.
"Dan itu bagian dari rencananya - kita biarkan saja,” lanjutnya, dikutip dari The New York Times, Kamis (22/7).
“Rakyat kami lelah berperang,” tulis sekelompok menteri Singapura dalam esai opini di surat kabar Straits Times pada Juni lalu.
“Semua bertanya: Kapan dan bagaimana pandemi akan berakhir?”
Para pejabat di Singapura mengumumkan rencana untuk secara perlahan memperlonggar pembatasan. Rencana tersebut termasuk memantau sejumlah orang yang sakit parah, berapa yang memerlukan ICU, dan berapa yang butuh ventilator. Mereka fokus ke hal tersebut daripada infeksi.
Rencana tersebut mendapat ujian. Wabah menyebar melalui beberapa tempat karaoke dan pelabuhan ikan. Pada Selasa (20/7), Singapura mengumumkan untuk memperketat tindakan pencegahan, termasuk melarang semua layanan makan di tempat di restoran.
Singapura telah memvaksinasi penuh 49 persen populasinya dan menjadikan Israel yang tingkat vaksinasinya 58 persen sebagai contoh.
Israel juga lebih fokus untuk penanganan penyakit parah. Negara ini menghadapi lonjakan kasus baru, naik dari satu digit sebulan yang lalu menjadi ratusan kasus baru dalam sehari. Baru-baru ini, Israel kembali mewajibkan masker dalam ruangan.
Australia di persimpangan jalan
Ahli epidemiologi di Universitas Otago di Selandia Baru, Michael Baker, mengatakan negara-negara yang mengambil jalan pintas dalam perjalanan mereka untuk membuka kembali perbatasannya membuat orang yang tidak divaksinasi dalam risiko dan bertaruh dengan nyawa.
Baker, yang membantu merancang strategi penanganan Covid Selandia Baru, mengaku cukup kaget dengan keputusan pemerintah yang memutuskan untuk hidup berdampingan dengan virus.
Warga Selandia Baru tampaknya telah menerima kemungkinan pembatasan jangka panjang. Dalam survei yang dilakukan pemerintah baru-baru ini terhadap lebih dari 1.800 orang, 90 persen responden mengatakan mereka tidak berharap kehidupan kembali normal setelah mereka divaksinasi.
Para ilmuwan masih belum sepenuhnya memahami “covid jangka panjang” – gejala jangka panjang yang masih dihadapi oleh ratusan ribu pasien yang sebelumnya terinfeksi. Mereka mengatakan Covid-19 tidak boleh diperlakukan seperti flu, karena jauh lebih berbahaya. Mereka juga tidak yakin tentang durasi kekebalan yang diberikan oleh vaksin dan seberapa baik vaksin memberikan perlindungan terhadap varian virus corona.
Banyak negara berkembang juga masih menghadapi lonjakan infeksi, memberikan virus kesempatan lebih besar untuk berkembang biak dengan cepat, yang kemudian meningkatkan risiko mereka bermutasi dan menyebar. Hanya 1 persen orang di negara berpendapatan rendah telah menerima satu dosis vaksin, menurut proyek Our World in Data.
Di AS, kondisinya berbeda dari tempat ke tempat. Negara bagian seperti California dan New York angka vaksinasinya tinggi tapi mewajibkan orang yang tidak divaksinasi memakai masker di dalam ruangan. Sementara di Alabama dan Idaho, angka vaksinasinya rendah tapi tidak mewajibkan pemakaian masker. Beberapa sekolah dan universitas berencana mewajibkan siswa dan mahasiswanya divaksinasi, tapi beberapa negara bagian melarang lembaga publik menerapkan pembatasan tersebut.
Di Australia, beberapa anggota parlemen negara bagian mengatakan negara itu telah sampai di "persimpangan jalan" di mana perlu memutuskan antara pembatasan terus-menerus dan belajar untuk hidup dengan infeksi. Mereka mengatakan Australia mungkin perlu mengikuti sebagian besar negara di dunia dan menyerah pada pendekatan nol-Covid-nya.
Gladys Berejiklian, pemimpin negara bagian New South Wales, Australia, segera menolak usulan tersebut.
“Tidak ada negara bagian atau bangsa atau negara mana pun di planet ini yang dapat hidup dengan varian Delta ketika tingkat vaksinasi kita sangat rendah,” ujarnya.
Hanya sekitar 11 persen warga Australia di atas usia 16 tahun yang telah divaksinasi penuh.
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison juga membatalkan perubahan protokol Covid di negara itu. Setelah mengumumkan rencana empat fase untuk kembali ke kehidupan biasa pada 2 Juli, dia bersikeras kekuatan varian Delta memerlukan penundaan sampai waktu yang tidak dapat dipastikan.
"Hari Kebebasan" Inggris
Di tempat-tempat di mana vaksin tersedia secara meluas selama berbulan-bulan, seperti Eropa, sejumlah negara telah bertaruh dengan program vaksinasi mereka, menjadikannya sebagai tiket keluar dari pandemi dan kunci untuk menjaga angka rawat inap dan kematian tetap rendah.
Orang-orang Jerman yang telah divaksinasi penuh dalam enam bulan terakhir bisa makan di dalam ruangan di restoran-restoran tanpa harus menunjukkan bukti tes rapid negatif Covid-19. Mereka diizinkan berkumpul tanpa pembatasan dan bepergian tanpa karantina 14 hari.
Di Italia, masker diwajibkan hanya ketika memasuki toko atau tempat-tempat ramai, tapi banyak orang tetap memakai masker.
Di Inggris, yang telah memvaksinasi hampir semua penduduk yang paling rentan, mengambil pendekatan yang paling drastis. Pada Senin, pemerintah Inggris mencabut semua pembatasan Covid terlepas dari infeksi varian Delta, khususnya untuk kalangan anak-anak muda.
Pada “Hari Kebebasan” itu - sebagaimana tabloid dan koran di Inggris menyebutnya - pub, restoran, dan klub malam membuka pintu mereka lebar-lebar. Larangan berkumpul dan kewajiban memakai masker dicabut. Orang-orang terlihat makan di restoran dan berjemur.
Pemerintah mendesak warganya menggunakan “tanggung jawab personal” untuk meningkatkan keselamatan. Menteri Kesehatan Inggris, Sajid Javid, yang positif virus corona pekan lalu, mengatakan Inggris perlu belajar hidup dengan virus.
Para pejabat di Singapura, yang melaporkan 182 kasus infeksi penularan lokal pada Selasa, mengatakan jumlah kasus mungkin akan meningkat dalam beberapa hari mendatang. Wabah baru ini tampaknya menunda rencana pembukaan kembali negara itu secara bertahap.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca SelengkapnyaPB IDI mengimbau masyarakat untuk menerapkan lagi protokol kesehatan seperti memakai masker dan menghindari kerumunan.
Baca SelengkapnyaMerdeka.com menangkap berbagai momen dramatis pandemi Covid-19 sepanjang tiga tahun melanda Indonesia. Berikut foto-fotonya:
Baca SelengkapnyaPemerintah resmi mencabut aturan menggunakan masker
Baca SelengkapnyaPada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
Baca SelengkapnyaPenggunaan masker di angkutan umum DKI Jakarta kini mulai ditiadakan. Namun jika tengah dalam kondisi kesehatan menurun, maka disarankan tetap tetap menggunakan masker.
Baca SelengkapnyaLonjakan kasus penyakit mirip influenza ini membuat sebuah RS di China penuh. Banyak pasien anak-anak yang terpaksa dirawat di koridor dan tangga rumah sakit.
Baca SelengkapnyaMasyarakat diminta lakukan pola hidup bersih dan sehat
Baca SelengkapnyaMeskipun Covid-19 yang muncul saat ini sudah tidak berbahaya seperti dulu.
Baca SelengkapnyaImbauan ini untuk mencegah lonjakan kasus Covid-19 jelang Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.
Baca Selengkapnya