Para Pemimpin Dunia Akhirnya Akui Bahan Bakar Fosil Penyebab Pemanasan Global
Merdeka.com - Konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berakhir pada Sabtu (13/11) dan untuk pertama kalinya mencapai kesepakatan yang menyimpulkan bahwa bahan bakar fosil merupakan pendorong utama pemanasan global.
Kesepakatan akhirnya tercapai setelah beberapa negara yang bergantung pada batu bara mengajukan keberatan pada menit-menit terakhir.
Kesepakatan tersebut disambut baik karena dianggap dapat terus menghidupkan harapan bagi upaya membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat Celcius.
-
Apa itu pemanasan global? Pemanasan global, atau yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai global warming, merupakan fenomena peningkatan suhu rata-rata di atmosfer, lautan, dan daratan Bumi secara bertahap.
-
Kapan pemanasan global dimulai? Data dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa suhu rata-rata global permukaan Bumi telah meningkat sekitar 0,74 ± 0,18°C (1,33 ± 0,32°F) dalam seratus tahun terakhir.
-
Bagaimana pemanasan global terjadi? Proses ini ditandai dengan kenaikan suhu permukaan bumi yang berlangsung selama puluhan hingga ratusan tahun.
-
Mengapa pembakaran bahan bakar fosil berdampak buruk pada bumi? Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam untuk keperluan industri, transportasi, dan pembangkit listrik merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Proses pembakaran bahan bakar ini melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer, yang kemudian memerangkap panas dan menyebabkan suhu bumi meningkat.
-
Siapa yang sepakat menurunkan emisi? Lebih dari 30 negara industri sepakat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca mereka hingga 5% di bawah tingkat emisi gas rumah kaca pada tahun 1990.
-
Apa penyebab utama dari perubahan iklim? Lebih lanjut, Rheza menambahkan bahwa terjadinya perubahan iklim juga bersumber dari aktivitas umat manusia yang banyak menyumbang karbon dioksida yang menghasilkan efek gas rumah kaca.
Namun, tidak sedikit di antara 200 delegasi yang berpartisipasi dalam konferensi tersebut berharap ada lebih banyak kesepakatan yang dicapai.
Pada menit-menit terakhir sebelum kesepakatan akhirnya dicapai, muncul drama.
India, yang didukung China dan sejumlah negara berkembang lainnya yang bergantung pada batu bara, menolak klausul yang menyerukan agar pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu baru "dihapus secara bertahap".
Setelah utusan dari China, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa berunding, klausul tersebut akhirnya diubah menjadi permintaan agar negara-negara "mengurangi secara bertahap" penggunaan batu bara.
Menteri Lingkungan dan Iklim India Bhupender Yadav mengatakan revisi tersebut mencerminkan "keadaan nasional dari negara-negara berkembang."
"Kami menjadi suara bagi negara-negara berkembang," katanya kepada Reuters.
Ia mengatakan kesepakatan tersebut "mengincar" batu bara tetapi tetap bungkam ketika menyangkut minyak dan gas alam.
Perubahan satu kata itu disambut dengan kekecewaan oleh negara-negara kaya di Eropa, juga oleh negara-negara pulau kecil dan negara-negara lain yang masih berkembang.
Namun, Meksiko dan delegasi-delegasi lain akhirnya mengatakan akan membiarkan kesepakatan itu berlaku.
"Teks yang disetujui tersebut merupakan kompromi," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
"(Teks itu) mencerminkan kepentingan, kondisi, kontradiksi, dan keadaan kemauan politik di dunia saat ini," katanya.
Mencapai kesepakatan selalu menjadi masalah tentang menyeimbangkan tuntutan negara-negara yang rentan terhadap iklim, kalangan kekuatan industri besar, dan negara-negara seperti India dan China yang bergantung pada bahan bakar fosil untuk mengangkat ekonomi serta penduduk mereka keluar dari kemiskinan.
Negara-negara berkembang beranggapan bahwa negara-negara kaya harus membiayai mereka dalam upaya beralih dari bahan bakar fosil guna beradaptasi dengan dampak iklim yang kian parah.
Menurut mereka, keharusan itu didasarkan atas kenyataan bahwa secara historis pembuangan gas oleh negara-negara merupakan penyebab terbesar pemanasan global.
Kesepakatan tersebut menawarkan janji untuk menggandakan pendanaan adaptasi dampak iklim pada 2025 dari 2019, tetapi lagi-lagi tidak ada jaminan.
Komite PBB tahun depan akan melaporkan kemajuan dalam penyaluran 100 miliar dolar AS (Rp1,42 kuadriliun) per tahun yang dijanjikan bagi pendanaan iklim.
Negara-negara kaya sebelumnya gagal memenuhi tenggat tahun 2020 untuk pendanaan tersebut.
Pendanaan akan dibahas kembali pada 2024 dan 2026.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pernyataan ini begitu kontroversial di saat pertemuan membahas iklim
Baca SelengkapnyaBerikut cara mencegah pemanasan global demi bumi yang lebih baik di masa depan.
Baca SelengkapnyaDalam potongan klip tersebut terdapat dua orang laki-laki yang tengah mengobrol
Baca SelengkapnyaEfek rumah kaca menjadi salah satu hal yang membuat bumi menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali.
Baca SelengkapnyaPara ilmuwan di Eropa mengumumkan pada Kamis (5/10), 2023 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah manusia.
Baca SelengkapnyaMeskipun situasinya kritis, masih ada solusi yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak terburuk.
Baca SelengkapnyaPenting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pemanasan global.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi telah meresmikan perdagangan bursa karbon di Indonesia.
Baca SelengkapnyaPenjelasan mengenai pemanasan global dan cara mengatasinya yang perlu dipahami.
Baca SelengkapnyaDibutuhkan komitmen setiap negara untuk mengurangi gas polutan.
Baca SelengkapnyaJokowi juga akan menghadiri presidensi event terkait transformasi food system, KTT G-77, serta melakukan beberapa pertemuan bilateral.
Baca SelengkapnyaPerubahan lingkungan adalah salah satu isu paling mendesak yang dihadapi dunia saat ini.
Baca Selengkapnya