Peringati 5 Tahun Gerakan Payung, Ribuan Demonstran Hong Kong Serukan Demokrasi
Merdeka.com - Puluhan ribu warga memadati pusat pemerintahan Hong Kong untuk memperingati lima tahun Gerakan Payung, Sabtu (28/9) malam. Payung menjadi simbol gerakan pro-demokrasi Hong Kong.
"Bebaskan Hong Kong! Demokrasi saat ini juga!" seru para demonstran.
Kerumunan orang tumpah ruah di taman kota dan jalanan sekitar gedung pemerintahan. Beberapa dari mereka mendekati halaman kantor dan melemparkan bom molotov. Kaca jendela kantor pun dihancurkan dengan batu bata.
-
Bagaimana Pemberontakan 8888 berakhir? Pada hari itu, junta militer yang dipimpin oleh Jenderal Saw Maung mendirikan Dewan Restorasi Hukum dan Ketertiban Negara (SLORC), menandai kembalinya pemerintahan militer yang lebih keras.
-
Mengapa eksekusi dihentikan? Ia mengatakan, pada pertengahan abad ke-19 hukuman itu sudah dihapus, diganti dengan hukuman gantung biasa.
-
Siapa yang memprotes kejadian tersebut? Diketahui, terekam video yang beredar di media sosial salah satu pendukung mengacungkan tiga jari saat debat capres berlangsung. Hal tersebut pun menuai protes dari pihak 02 yakni Grace Natalie.
-
Kapan putusan Mahkamah Agung dijatuhkan? Kasasi kasus atas dua terdakwa yakni Irfan Suryanagara dan Endang Kusumawaty, kata Arif, diputus tanggal 14 Juni 2023.
-
Kenapa Pemberontakan 8888 terjadi? Pemberontakan 8888 di Myanmar, yang dimulai pada 8 Agustus 1988, adalah salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah negara tersebut. Pemberontakan ini merupakan hasil dari ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim militer yang berkuasa, terutama terkait kondisi ekonomi yang memburuk dan kurangnya kebebasan politik.
-
Apa yang terjadi di Pemberontakan 8888? Aksi protes ini diikuti oleh ribuan mahasiswa, biksu, dan warga sipil yang menuntut perubahan demokratis, namun ditanggapi dengan kekerasan oleh pihak militer.
Polisi anti huru hara menembakkan gas air mata dan meriam air untuk memecah konsentrasi massa. Namun para pengunjuk rasa tidak gentar. "Kami akan kembali," sumpah mereka.
Musim gugur 2014, untuk pertama kalinya gerakan pro-demokrasi dilakukan. Selama 79 hari, para demonstran mengepung kompleks perkantoran pemerintah dan kawasan bisnis di pusat kota. Namun, upaya ini tidak berhasil meluluhkan pemerintah China untuk memberikan hak pemilihan bebas dan adil bagi warga Hong Kong.
"Setiap gerakan memunculkan gerakan berikutnya. Sepanjang yang kita perjuangkan adalah demokrasi sejati," ungkap Benny Tai, profesor hukum yang juga menjadi salah satu inisiator gerakan ini.
Dikutip dari Al Jazeera, dalam 16 minggu terakhir, demonstran Hong Kong semakin kuat menyuarakan gerakan pro-demokrasi. Gejolak politik di Hong Kong, menjadi salah satu faktor yang memperkuat keinginan warga untuk pisah dari campur tangan pemerintahan China daratan.
"Selama bertahun-tahun dan terutama beberapa bulan terakhir, masalah dengan pemerintah kami telah menggelembung," tutur MJ Fung (31), seorang demonstran yang diwawancarai Al Jazeera.
Bagi Fung dan sebagian besar demonstran lainnya, dorongan untuk melakukan aksi protes bermula dari RUU ekstradisi, bulan Juni lalu. Undang-undang tersebut memungkinkan setiap warga Hong Kong untuk dikirim ke China daratan dan menjalani hukum pengadilan di sana. Sementara, pengadilan China yang dikuasai Partai Komunis dinilai tidak jelas. Tidak ada kepastian untuk mendapatkan hukuman yang adil.
Serangkaian aksi protes, akhirnya membuahkan keputusan pemerintah untuk mencabut rancangan undang-undang ekstradisi, awal bulan lalu. Namun, keputusan ini dinilai terlambat.
Sejumlah bentrok antara pengunjuk rasa dan polisi, memicu desakan penyelidikan independen terhadap dugaan kebrutalan polisi. Para pengunjuk rasa juga ingin pemerintah memberikan amnesti, bagi mereka yang dijerat hukum hanya karena berpartisipasi dalam aksi demo.
Lepas dari semua itu, tuntutan terpenting yang diinginkan demonstran adalah hak demokrasi bagi Hong Kong. Tidak lagi berada di bawah bayang-bayang pemerintah China.
"Gerakan Payung telah mengajarkan banyak hal kepada mereka, termasuk pentingnya solidaritas dan bagaimana menciptakan semangat masyarakat dengan cara melibatkan banyak pihak berpartisipasi," jelas Profesor Universitas Sains dan Teknologi Dixon Ming Sing.
Joshua Wong, aktivis muda yang paling dikenal dalam Gerakan Payung mengatakan, aksi demo yang saat ini semakin memanas hanya menjadi rangkaian dari protes berlarut-larut di Hong Kong.
Wong sendiri saat ini getol melobi perhatian internasional untuk mendukung perjuangan Hong Kong. Setelah hampir dua bulan ditahan polisi, Wong pergi ke Jerman dan Amerika Serikat demi meminta bantuan parlemen.
"Kita harus memberi tahu dunia tentang ketekunan warga Hong Kong," tandasnya.
Reporter Magang: Anindya Wahyu Paramita
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mahasiswa dan masyarakat menggelar demo di gedung DPR/MPR, Kamis 22 Agustus 2024.
Baca SelengkapnyaHingga malam hari, massa demonstran tolak Revisi UU Pilkada masih bertahan di depan Gedung DPR.
Baca SelengkapnyaBintang lantang berorasi mengajak pendemo melawan keputusan DPR.
Baca SelengkapnyaThomas Lembong ikut dalam barisan unjuk rasa #KawalputusanMK di Gedung DPR
Baca Selengkapnya"Sahabat seperjuangan, aksi hari ini tanggal 23 Agustus di DPR RI dan KPU, kita tunda dulu," kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal
Baca SelengkapnyaTotal sebanyak empat pagar DPR jebol oleh demonstran yang menolak pengesahan RUU Pilkada.
Baca SelengkapnyaMahasiswa dan masyarakat turun ke jalan mengepung gedung DPR/MPR, Kamis 22 Agustus 2024.
Baca SelengkapnyaRapat Paripurna DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada sedianya digelar pada pukul 09.00 WIB.
Baca SelengkapnyaMassa juga sempat merusak pagar gedung DPR, dan akhirnya berhasil masuk ke halaman gedung DPR
Baca SelengkapnyaAksi Kamisan yang bertema "Orang silih berganti, aksi Kamisan tetap berdiri" itu genap berlangsung selama 17 tahun.
Baca SelengkapnyaReaksi polisi kabur diskak advokat karena debat keras soal halangi bantuan hukum untuk para demonstran yang ditangkap.
Baca SelengkapnyaAbdur lantang berorasi mengajak pendemo melawan upaya pecah belah DPR
Baca Selengkapnya