Permainan Kotor Di Balik Perlombaan Pembuatan Vaksin Covid-19
Merdeka.com - Hampir setahun penduduk dunia hidup di tengah pandemi virus corona sejak pertama kali infeksi pertama dilaporkan di Wuhan, China akhir Desember lalu. Hampir setahun pula ada titik cerah berhasilnya pengembangan vaksin Covid-19. Semua pihak di seluruh dunia tengah berlomba untuk mengakhiri pandemi.
Pada 11 Januari, hanya 10 hari setelah dilaporkan adanya penyakit pernapasan baru, ilmuwan di China menerbitkan urutan genom dari virus penyebab penyakit tersebut. Para peneliti di seluruh dunia mulai bekerja mengembangkan vaksin untuk melawan Covid-19, begitu penyakit itu diketahui, dan kandidat vaksin pertama memasuki uji coba pada manusia pada 16 Maret. Langkah tersebut kemudian diikuti di sejumlah negara.
Para ilmuwan di seluruh dunia berusaha menciptakan vaksin. Tapi kemudian muncul semacam ketegangan terkait pengembangan vaksin. Rusia dan China dituding meretas hasil penelitian di negara lain, Rusia juga dikritik karena menyetujui vaksin yang masih dalam uji klinis.
-
Apa dampak pandemi Covid-19? Pandemi Covid-19 mengubah tatanan kesehatan dan ekonomi di Indonesia dan dunia. Penanganan khusus untuk menjaga keseimbangan dampak kesehatan akibat Covid-19 serta memulihkan ekonomi harus dijalankan.
-
Siapa yang terpengaruh tekanan dari luar? Individu yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) tinggi umumnya tidak mudah terpengaruh oleh tekanan dari luar.
-
Kenapa kasus Covid-19 naik? Kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
-
Siapa yang terlibat dalam penelitian Covid-19 ini? Tim peneliti yang dipimpin oleh Wellcome Sanger Institute dan University College London di Inggris menemukan respons kekebalan baru yang memberikan pertahanan garis depan yang kuat.
-
Mengapa Covid-19 menjadi pandemi global? Pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu peristiwa paling berdampak di abad ke-21. Penyakit yang disebabkan oleh virus corona jenis baru ini telah menginfeksi lebih dari 200 juta orang dan menewaskan lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia.
-
Siapa yang terlibat dalam produksi vaksin dalam negeri? Salah satu proyek unggulannya adalah pengembangan Vaksin Merah Putih atau INAVAC yang bekerja sama dengan Universitas Airlangga (Unair).
Dikutip dari The Guardian, Rabu (25/11), ada tekanan politik yang meningkat dirasakan para ilmuwan. Dua hari sebelum konvensi nasional Partai Republik yang dimulai pekan lalu, Presiden AS Donald Trump menuduh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menunda persetujuan vaksin eksperimental sampai setelah pemilihan presiden awal November lalu. Ketika FDA kemudian memberikan otorisasi "penggunaan darurat" untuk perawatan plasma darah bagi pasien Covid-19 sebelum jenis pengobatan itu menunjukkan manfaat yang jelas dalam uji klinis, muncul kekhawatiran hal itu juga akan berlaku sama terkait kandidat vaksin yang hanya diberikan otorisasi agar sesuai dengan agenda presiden.
Sebelum Rusia menyetujui vaksinnya, China juga menyetujui vaksin buatan lokal, yang belum diuji secara menyeluruh. Bahkan China melakukan vaksinasi pada anggota militer dan pekerja garis depan.
Ilmuwan tidak nyaman
Perlombaan terkait vaksin bukan hanya diikuti para politikus. Pada 2 Agustus, Steven Salzberg, seorang ahli biologi komputasi di Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland, menyatakan dalam majalah Forbes, vaksin potensial akan disuntikkan ke lebih banyak sukarelawan sebelum uji klinis selesai. Pernyataan ini memicu protes, kemudian pernyataan tersebut ditarik.
Sementara itu, sebuah kelompok penelitian yang berafiliasi dengan Universitas Harvard terus mempertahankan publikasinya pada Juli terkait resep untuk vaksin Covid-19 yang bisa dibuat sendiri - yang sebelumnya hanya diuji oleh 20 anggota kelompok tersebut.
"Di dunia nyata, jutaan orang jatuh sakit dan sangat banyak orang meninggal setiap hari," kata anggota kelompok Preston Estep, seorang ilmuwan genom.
"Kami tidak percaya bahwa vaksin kami berisiko sebesar itu bagi manusia."
Akumulasi insiden semacam itu membuat banyak ilmuwan merasa sangat tidak nyaman.
"Saya semakin khawatir bahwa segala sesuatunya akan diselesaikan dengan cepat," ujar Beate Kampmann, yang mengarahkan Pusat Vaksin di London School of Hygiene and Tropical Medicine (dan yang akun surel kantornya mengalami peretasan yang gagal pada Juli).
Pada 13 Agustus, pemimpin redaksi jurnal Science mengungkapkan kekhawatirannya terkait cepatnya vaksin disuntikkan sebelum tahapan uji coba dirampungkan.
"Jalan pintas dalam pengujian untuk keamanan dan kemanjuran vaksin membahayakan jutaan nyawa dalam jangka pendek dan akan merusak kepercayaan publik terhadap vaksin dan sains untuk waktu yang lama," tulis H Holden Thorp.
"Persetujuan vaksin yang berbahaya atau tidak efektif dapat dimanfaatkan oleh kekuatan politik yang telah menyebarkan ketakutan terkait vaksin," lanjutnya.
Tiga fase
Kepala Pusat Pendidikan Vaksin di Rumah Sakit Anak Philadelphia, Paul Offit, juga menyinggung penggunaan bahasa pilihan pemerintah dalam menamai lembaga yang dibentuknya terkait vaksin. Seperti AS menamakan lembaganya Operation Warp Speed.
"Itu membuatnya terdengar seperti adanya batas waktu yang ditekan, atau masalah keamanan diabaikan," ujarnya.
Pengujian vaksin harus melalui uji coba manusia atau klinis. Secara konvensional terdiri dari tiga fase.
Fase pertama, sekelompok kecil orang sehat menerima vaksin untuk melihat apakah vaksin itu aman, artinya tidak menyebabkan efek samping yang serius.
Fase kedua bertujuan untuk menguji keamanan tetapi utamanya menguji kemampuan vaksin apakah bisa memperoleh respons kekebalan. Ini terjadi pada beberapa ratus orang, beberapa di antaranya bertindak sebagai kontrol karena mereka menerima plasebo atau vaksin yang berbeda.
Fase ketiga, yang juga termasuk kontrol, vaksin biasanya diberikan kepada puluhan ribu orang yang diikuti selama berbulan-bulan, biasanya di tempat di mana ada risiko infeksi tinggi. Ini untuk menguji apakah vaksin itu bekerja di dunia nyata - mencegah penyakit - dan berupaya mengatasi efek samping yang mungkin tidak terlihat pada kelompok yang lebih kecil dan kurang beragam.
Terelalu fokus potensi keuntungan
Jika hasil eksperimen vaksin dinilai aman dan efektif pada akhir proses ini, vaksin memenuhi syarat untuk persetujuan.
Tetapi secara universal diakui bahwa uji klinis tidak dapat menangkap semua kemungkinan efek samping - karena beberapa mungkin hanya muncul di sub-populasi tertentu, atau setelah waktu yang sangat lama - sehingga pengawasan terus berlanjut setelah persetujuan (ini kadang disebut sebagai uji coba Fase 4).
Vaksin rotavirus, penyebab umum diare pada bayi, ditarik dari pasaran pada 1999 setelah ditemukan menyebabkan obstruksi usus pada sebagian kecil bayi.
Filsuf dan ahli bioetika dari Universitas Sydney, Angus Dawson mengatakan, dia memahami tekanan untuk mempercepat pengujian vaksin Covid-19, mengingat jumlah orang di seluruh dunia yang rentan terhadap penyakit serius atau mematikan. Namun menurutnya hal itu telah membuat beberapa ilmuwan bingung akan bahaya uji coba yang terburu-buru.
"Mereka berfokus pada potensi keuntungan tanpa berpikir secara wajar dan adil tentang kerugiannya," jelasnya.
Covid-19 bukanlah flu. Hal ini disebabkan oleh virus, Sars-CoV-2, yang relatif sedikit diketahui, dan beberapa vaksin eksperimental yang saat ini melalui uji klinis juga menggunakan teknologi baru. Itu yang banyak tidak diketahui.
"Kami tidak memiliki vaksin untuk virus corona apa pun, jadi mengapa orang berasumsi bahwa ini akan langsung terjadi?" tanya Dawson.
Dampak kehilangan kepercayaan pada sains dan institusi
Salah satu risiko potensial dengan beberapa jenis vaksin, misalnya, dapat menyebabkan penerima mengalami serangan penyakit yang lebih buruk jika orang tersebut terinfeksi secara alami di kemudian hari. Fenomena ini, yang dikenal sebagai peningkatan ketergantungan antibodi (ADE). Untuk menghindari hal ini, harus diatur dengan pengujian vaksin yang ketat.
Sekarang tujuh kandidat vaksin sedang dalam uji coba fase 3, memastikan distribusi yang adil dari semua kandidat yang disetujui menjadi masalah mendesak baru.
Beberapa pekan lalu Cepi menerbitkan hasil survei yang menunjukkan dunia memiliki kapasitas produksi 2 miliar dosis vaksin sampai akhir 2021 tapi tak dapat melindungi semua orang.
"Orang-orang menyadari fakta bahwa vaksin tidak akan tersedia untuk semua orang," kata Kampmann.
Negara-negara yang berlomba dalam pengembangan vaksin telah mengutamakan vaksin untuk merek sendiri. Hal ini mendorong WHO pada awal Agustus memperingatkan "nasionalisme vaksin".
Untuk mengatasi hal ini, pada Juni, Cepi, WHO dan Gavi, Aliansi Vaksin, mendirikan fasilitas Covid-19 Vaccines Global Access (Covax), dengan tujuan mengajak sebanyak mungkin pemerintah untuk berinvestasi dalam pengembangan vaksin dengan imbalan dosis yang cukup dari produk yang akhirnya disetujui untuk mencakup 20 persen paling rentan dari populasi mereka.
Hingga saat ini, 172 negara telah menyatakan minatnya pada Covax. Mereka termasuk Inggris, tetapi bukan China, Rusia, AS atau Uni Eropa.
"Sesuai dengan pola perilaku politik yang telah berlangsung lama selama pandemi, vaksin pada akhirnya akan menjangkau sebagian besar populasi, tetapi hanya setelah negara-negara kuat memilikinya untuk melindungi diri mereka sendiri," jelas pakar kesehatan global David P Fidler dari Dewan Hubungan Luar Negeri di Washington DC, dalam majalah Science pada 14 Agustus.
Dampak potensial lainnya adalah, kehilangan kepercayaan pada sains dan institusi, lebih banyak orang akan memilih untuk tidak bersedia divaksin, hal ini dapat mengurangi perlindungan populasi secara keseluruhan jika kekebalan kawanan tidak dapat dicapai.
Survei yang mengkhawatirkan menunjukkan sepertiga orang Amerika dan 16 persen orang Inggris akan menolak vaksin Covid-19.
Offit memperingatkan survei semacam itu harus ditanggapi dengan hati-hati. Jika suatu vaksin terbukti aman dan efektif, melalui penerapan metode ilmiah yang ketat, Offit optimis banyak orang akan menerima.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Calon Gubernur Jakarta Dharma Pongrekun berapi-api saat menjelaskan badai pandemi Covid-19.
Baca SelengkapnyaKonspirasi mengacu pada kesepakatan rahasia di antara individu untuk terlibat dalam kegiatan ilegal atau merugikan.
Baca SelengkapnyaMemanasnya kondisi politik di Indonesia dinilai akan menyebabkan ketidakpastian ekonomi di tanah air.
Baca SelengkapnyaBerikut daftar teknologi yang bikin heboh karena ketakutan umat manusia.
Baca SelengkapnyaDewan guru besar Universitas Indonesia prihatin melihat kondisi bangsa saat ini seperti hilang kendali tatanan hukum hancur dan hilang etika bernegara.
Baca SelengkapnyaKredibilitas lembaga survei dipertanyakan jelang Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaKedua ancaman terbesar tersebut adalah kemungkinan terjadinya perang besar akibat ketidakstabilan global saat ini dan kemungkinan pandemi berikutnya.
Baca SelengkapnyaPara petahana atau penjabat (Pj) kepala daerah kerap memamerkan penurunan inflasi di daerahnya.
Baca SelengkapnyaPasal pemilihan gubernur oleh presiden berbahaya akan mematikan demokrasi.
Baca SelengkapnyaDia pun meminta kepada pihak terkait, baik Bawaslu, DKPP, Kepolisian agar menangkal tiga skenario melawan hukum ini.
Baca SelengkapnyaBahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca SelengkapnyaAsosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) Indonesia memberikan pernyataan sikap terkait dinamika politik di negeri ini menjelang Pemilu 2024.
Baca Selengkapnya