Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Permainan Kotor Di Balik Perlombaan Pembuatan Vaksin Covid-19

Permainan Kotor Di Balik Perlombaan Pembuatan Vaksin Covid-19 Vaksin Sputnik V. Russian Direct Investment Fund (RDIF)/Handout via REUTERS ©2020 Merdeka.com

Merdeka.com - Hampir setahun penduduk dunia hidup di tengah pandemi virus corona sejak pertama kali infeksi pertama dilaporkan di Wuhan, China akhir Desember lalu. Hampir setahun pula ada titik cerah berhasilnya pengembangan vaksin Covid-19. Semua pihak di seluruh dunia tengah berlomba untuk mengakhiri pandemi.

Pada 11 Januari, hanya 10 hari setelah dilaporkan adanya penyakit pernapasan baru, ilmuwan di China menerbitkan urutan genom dari virus penyebab penyakit tersebut. Para peneliti di seluruh dunia mulai bekerja mengembangkan vaksin untuk melawan Covid-19, begitu penyakit itu diketahui, dan kandidat vaksin pertama memasuki uji coba pada manusia pada 16 Maret. Langkah tersebut kemudian diikuti di sejumlah negara.

Para ilmuwan di seluruh dunia berusaha menciptakan vaksin. Tapi kemudian muncul semacam ketegangan terkait pengembangan vaksin. Rusia dan China dituding meretas hasil penelitian di negara lain, Rusia juga dikritik karena menyetujui vaksin yang masih dalam uji klinis.

Dikutip dari The Guardian, Rabu (25/11), ada tekanan politik yang meningkat dirasakan para ilmuwan. Dua hari sebelum konvensi nasional Partai Republik yang dimulai pekan lalu, Presiden AS Donald Trump menuduh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menunda persetujuan vaksin eksperimental sampai setelah pemilihan presiden awal November lalu. Ketika FDA kemudian memberikan otorisasi "penggunaan darurat" untuk perawatan plasma darah bagi pasien Covid-19 sebelum jenis pengobatan itu menunjukkan manfaat yang jelas dalam uji klinis, muncul kekhawatiran hal itu juga akan berlaku sama terkait kandidat vaksin yang hanya diberikan otorisasi agar sesuai dengan agenda presiden.

Sebelum Rusia menyetujui vaksinnya, China juga menyetujui vaksin buatan lokal, yang belum diuji secara menyeluruh. Bahkan China melakukan vaksinasi pada anggota militer dan pekerja garis depan.

Ilmuwan tidak nyaman

Perlombaan terkait vaksin bukan hanya diikuti para politikus. Pada 2 Agustus, Steven Salzberg, seorang ahli biologi komputasi di Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland, menyatakan dalam majalah Forbes, vaksin potensial akan disuntikkan ke lebih banyak sukarelawan sebelum uji klinis selesai. Pernyataan ini memicu protes, kemudian pernyataan tersebut ditarik.

Sementara itu, sebuah kelompok penelitian yang berafiliasi dengan Universitas Harvard terus mempertahankan publikasinya pada Juli terkait resep untuk vaksin Covid-19 yang bisa dibuat sendiri - yang sebelumnya hanya diuji oleh 20 anggota kelompok tersebut.

"Di dunia nyata, jutaan orang jatuh sakit dan sangat banyak orang meninggal setiap hari," kata anggota kelompok Preston Estep, seorang ilmuwan genom.

"Kami tidak percaya bahwa vaksin kami berisiko sebesar itu bagi manusia."

Akumulasi insiden semacam itu membuat banyak ilmuwan merasa sangat tidak nyaman.

"Saya semakin khawatir bahwa segala sesuatunya akan diselesaikan dengan cepat," ujar Beate Kampmann, yang mengarahkan Pusat Vaksin di London School of Hygiene and Tropical Medicine (dan yang akun surel kantornya mengalami peretasan yang gagal pada Juli).

Pada 13 Agustus, pemimpin redaksi jurnal Science mengungkapkan kekhawatirannya terkait cepatnya vaksin disuntikkan sebelum tahapan uji coba dirampungkan.

"Jalan pintas dalam pengujian untuk keamanan dan kemanjuran vaksin membahayakan jutaan nyawa dalam jangka pendek dan akan merusak kepercayaan publik terhadap vaksin dan sains untuk waktu yang lama," tulis H Holden Thorp.

"Persetujuan vaksin yang berbahaya atau tidak efektif dapat dimanfaatkan oleh kekuatan politik yang telah menyebarkan ketakutan terkait vaksin," lanjutnya.

Tiga fase

Kepala Pusat Pendidikan Vaksin di Rumah Sakit Anak Philadelphia, Paul Offit, juga menyinggung penggunaan bahasa pilihan pemerintah dalam menamai lembaga yang dibentuknya terkait vaksin. Seperti AS menamakan lembaganya Operation Warp Speed.

"Itu membuatnya terdengar seperti adanya batas waktu yang ditekan, atau masalah keamanan diabaikan," ujarnya.

Pengujian vaksin harus melalui uji coba manusia atau klinis. Secara konvensional terdiri dari tiga fase.

Fase pertama, sekelompok kecil orang sehat menerima vaksin untuk melihat apakah vaksin itu aman, artinya tidak menyebabkan efek samping yang serius.

Fase kedua bertujuan untuk menguji keamanan tetapi utamanya menguji kemampuan vaksin apakah bisa memperoleh respons kekebalan. Ini terjadi pada beberapa ratus orang, beberapa di antaranya bertindak sebagai kontrol karena mereka menerima plasebo atau vaksin yang berbeda.

Fase ketiga, yang juga termasuk kontrol, vaksin biasanya diberikan kepada puluhan ribu orang yang diikuti selama berbulan-bulan, biasanya di tempat di mana ada risiko infeksi tinggi. Ini untuk menguji apakah vaksin itu bekerja di dunia nyata - mencegah penyakit - dan berupaya mengatasi efek samping yang mungkin tidak terlihat pada kelompok yang lebih kecil dan kurang beragam.

Terelalu fokus potensi keuntungan

Jika hasil eksperimen vaksin dinilai aman dan efektif pada akhir proses ini, vaksin memenuhi syarat untuk persetujuan.

Tetapi secara universal diakui bahwa uji klinis tidak dapat menangkap semua kemungkinan efek samping - karena beberapa mungkin hanya muncul di sub-populasi tertentu, atau setelah waktu yang sangat lama - sehingga pengawasan terus berlanjut setelah persetujuan (ini kadang disebut sebagai uji coba Fase 4).

Vaksin rotavirus, penyebab umum diare pada bayi, ditarik dari pasaran pada 1999 setelah ditemukan menyebabkan obstruksi usus pada sebagian kecil bayi.

Filsuf dan ahli bioetika dari Universitas Sydney, Angus Dawson mengatakan, dia memahami tekanan untuk mempercepat pengujian vaksin Covid-19, mengingat jumlah orang di seluruh dunia yang rentan terhadap penyakit serius atau mematikan. Namun menurutnya hal itu telah membuat beberapa ilmuwan bingung akan bahaya uji coba yang terburu-buru.

"Mereka berfokus pada potensi keuntungan tanpa berpikir secara wajar dan adil tentang kerugiannya," jelasnya.

Covid-19 bukanlah flu. Hal ini disebabkan oleh virus, Sars-CoV-2, yang relatif sedikit diketahui, dan beberapa vaksin eksperimental yang saat ini melalui uji klinis juga menggunakan teknologi baru. Itu yang banyak tidak diketahui.

"Kami tidak memiliki vaksin untuk virus corona apa pun, jadi mengapa orang berasumsi bahwa ini akan langsung terjadi?" tanya Dawson.

Dampak kehilangan kepercayaan pada sains dan institusi

Salah satu risiko potensial dengan beberapa jenis vaksin, misalnya, dapat menyebabkan penerima mengalami serangan penyakit yang lebih buruk jika orang tersebut terinfeksi secara alami di kemudian hari. Fenomena ini, yang dikenal sebagai peningkatan ketergantungan antibodi (ADE). Untuk menghindari hal ini, harus diatur dengan pengujian vaksin yang ketat.

Sekarang tujuh kandidat vaksin sedang dalam uji coba fase 3, memastikan distribusi yang adil dari semua kandidat yang disetujui menjadi masalah mendesak baru.

Beberapa pekan lalu Cepi menerbitkan hasil survei yang menunjukkan dunia memiliki kapasitas produksi 2 miliar dosis vaksin sampai akhir 2021 tapi tak dapat melindungi semua orang.

"Orang-orang menyadari fakta bahwa vaksin tidak akan tersedia untuk semua orang," kata Kampmann.

Negara-negara yang berlomba dalam pengembangan vaksin telah mengutamakan vaksin untuk merek sendiri. Hal ini mendorong WHO pada awal Agustus memperingatkan "nasionalisme vaksin".

Untuk mengatasi hal ini, pada Juni, Cepi, WHO dan Gavi, Aliansi Vaksin, mendirikan fasilitas Covid-19 Vaccines Global Access (Covax), dengan tujuan mengajak sebanyak mungkin pemerintah untuk berinvestasi dalam pengembangan vaksin dengan imbalan dosis yang cukup dari produk yang akhirnya disetujui untuk mencakup 20 persen paling rentan dari populasi mereka.

Hingga saat ini, 172 negara telah menyatakan minatnya pada Covax. Mereka termasuk Inggris, tetapi bukan China, Rusia, AS atau Uni Eropa.

"Sesuai dengan pola perilaku politik yang telah berlangsung lama selama pandemi, vaksin pada akhirnya akan menjangkau sebagian besar populasi, tetapi hanya setelah negara-negara kuat memilikinya untuk melindungi diri mereka sendiri," jelas pakar kesehatan global David P Fidler dari Dewan Hubungan Luar Negeri di Washington DC, dalam majalah Science pada 14 Agustus.

Dampak potensial lainnya adalah, kehilangan kepercayaan pada sains dan institusi, lebih banyak orang akan memilih untuk tidak bersedia divaksin, hal ini dapat mengurangi perlindungan populasi secara keseluruhan jika kekebalan kawanan tidak dapat dicapai.

Survei yang mengkhawatirkan menunjukkan sepertiga orang Amerika dan 16 persen orang Inggris akan menolak vaksin Covid-19.

Offit memperingatkan survei semacam itu harus ditanggapi dengan hati-hati. Jika suatu vaksin terbukti aman dan efektif, melalui penerapan metode ilmiah yang ketat, Offit optimis banyak orang akan menerima.

(mdk/pan)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Dharma Berapi-api Saat Ditanya Ridwan Kamil Soal Covid-19: Semua Itu Hanya Omong Kosong
Dharma Berapi-api Saat Ditanya Ridwan Kamil Soal Covid-19: Semua Itu Hanya Omong Kosong

Calon Gubernur Jakarta Dharma Pongrekun berapi-api saat menjelaskan badai pandemi Covid-19.

Baca Selengkapnya
Konspirasi adalah Persekongkolan Rahasia, Ini Tujuan dan Contohnya
Konspirasi adalah Persekongkolan Rahasia, Ini Tujuan dan Contohnya

Konspirasi mengacu pada kesepakatan rahasia di antara individu untuk terlibat dalam kegiatan ilegal atau merugikan.

Baca Selengkapnya
Begini Dampak Revisi UU Pilkada Terhadap Ekonomi Indonesia
Begini Dampak Revisi UU Pilkada Terhadap Ekonomi Indonesia

Memanasnya kondisi politik di Indonesia dinilai akan menyebabkan ketidakpastian ekonomi di tanah air.

Baca Selengkapnya
Uji Coba Teknologi Ini Pernah Buat Umat Manusia Ketakutan, Ada yang Dianggap Bisa Menyedot Asteroid Luar Angkasa
Uji Coba Teknologi Ini Pernah Buat Umat Manusia Ketakutan, Ada yang Dianggap Bisa Menyedot Asteroid Luar Angkasa

Berikut daftar teknologi yang bikin heboh karena ketakutan umat manusia.

Baca Selengkapnya
VIDEO: Tajam Dewan Guru Besar UI Kritik Era Jokowi
VIDEO: Tajam Dewan Guru Besar UI Kritik Era Jokowi "Negeri Hilang Kemudi Akibat Rebut Kuasa!"

Dewan guru besar Universitas Indonesia prihatin melihat kondisi bangsa saat ini seperti hilang kendali tatanan hukum hancur dan hilang etika bernegara.

Baca Selengkapnya
Ikrar Nusa Bhakti Sindir ‘Framing’ Lembaga Survei Unggulkan Capres Tertentu
Ikrar Nusa Bhakti Sindir ‘Framing’ Lembaga Survei Unggulkan Capres Tertentu

Kredibilitas lembaga survei dipertanyakan jelang Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya
Ternyata Bukan soal Uang, Ini Dua Kekhawatiran Orang Kaya Dunia soal Ancaman Serius Mengintai Umat Manusia
Ternyata Bukan soal Uang, Ini Dua Kekhawatiran Orang Kaya Dunia soal Ancaman Serius Mengintai Umat Manusia

Kedua ancaman terbesar tersebut adalah kemungkinan terjadinya perang besar akibat ketidakstabilan global saat ini dan kemungkinan pandemi berikutnya.

Baca Selengkapnya
Jurus Calon Kepala Daerah Dongkrak Elektabilitas Lewat Data Inflasi
Jurus Calon Kepala Daerah Dongkrak Elektabilitas Lewat Data Inflasi

Para petahana atau penjabat (Pj) kepala daerah kerap memamerkan penurunan inflasi di daerahnya.

Baca Selengkapnya
Timnas AMIN Tuding Ada Skenario Besar di Balik Pemilihan Gubernur Jakarta oleh Presiden dalam RUU DKJ
Timnas AMIN Tuding Ada Skenario Besar di Balik Pemilihan Gubernur Jakarta oleh Presiden dalam RUU DKJ

Pasal pemilihan gubernur oleh presiden berbahaya akan mematikan demokrasi.

Baca Selengkapnya
TKN Ungkap 3 Skenario Hitam Jegal Prabowo-Gibran
TKN Ungkap 3 Skenario Hitam Jegal Prabowo-Gibran

Dia pun meminta kepada pihak terkait, baik Bawaslu, DKPP, Kepolisian agar menangkal tiga skenario melawan hukum ini.

Baca Selengkapnya
Klaim Pandemi Covid-19 Rekayasa Muncul Lagi, Begini Kata Kemenkes
Klaim Pandemi Covid-19 Rekayasa Muncul Lagi, Begini Kata Kemenkes

Bahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.

Baca Selengkapnya
Rektor Perguruan Tinggi Katolik Seluruh Indonesia Resah karena Demokrasi Semakin Menyimpang
Rektor Perguruan Tinggi Katolik Seluruh Indonesia Resah karena Demokrasi Semakin Menyimpang

Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) Indonesia memberikan pernyataan sikap terkait dinamika politik di negeri ini menjelang Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya