Presiden miskin dan calon pemimpin nekat
Merdeka.com - Apa yang Anda bayangkan dari seorang presiden? Pakai jas atau baju rapi, rumah di istana lengkap, kemana-mana naik mobil mewah, dikawal khusus, penjagaan tempat tinggal ketat, harta melimpah, keluarga sejahtera. Selanjutnya, bayangkan dan tambahkan sendiri ciri-ciri presiden sesuai pikiran Anda. Mungikin itu sebabnya, banyak yang ingin menjadi presiden.
Bayangan tadi tidak sepenuhnya salah, tapi belum tentu presiden adalah seperti itu. Hari-hari ini orang sedang menengok seorang presiden unik - karena tidak seperti gambaran orang kebanyakan - namanya Jose Alberto Mujica Cordano, presiden Uruguay.
Dia beda dengan yang ada dalam bayangan banyak orang. Bajunya sederhana. Mobilnya cuma VW kodok. Dia menolak tinggal di kediaman resmi kepresidenan di ibu kota, Montevideo. Pepe - begitu dia biasa dipanggil - lebih memilih tinggal di tanah pertanian di luar ibu kota.
-
Siapa yang bisa jadi pemimpin? 'Pemimpin adalah penjual harapan.' – Napoleon Bonaparte
-
Siapa yang bisa menjadi pemimpin? Pemimpin adalah individu yang memiliki otoritas formal atau informal untuk memimpin dan mengarahkan orang lain dalam mencapai tujuan tertentu.
-
Bagaimana cara menjadi pemimpin? Untuk menjadi pemimpin yang baik dan efektif, penting untuk mempelajari berbagai gaya kepemimpinan dan menerapkan prinsip kepemimpinan yang bijaksana.
-
Apa itu Pilkada? Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah adalah proses demokratisasi di Indonesia yang memungkinkan rakyat untuk memilih kepala daerah mereka secara langsung.
Bahkan, jalan menuju kediaman Mujica belum dilapisi aspal. Gajinya bernilai sekitar Rp 120 juta, disisihkan sebesar 90 persen untuk donasi. Dia cuma mengambil sisanya untuk hidup sehari-hari dan cukup. Ibu negara alias istrinya, masih jual tanaman bunga.
Oleh sebagian besar media internasional, dia pun disebut sebagai presiden termiskin di dunia. Tapi, benarkah dia miskin?
Ada dua jenis "kemiskinan" dalam hal ini. Kemiskinan secara statistik ekonomi adalah dihitung dari pendapatan dan harta yang dimilikinya. Namun, kemiskinan dan kekayaan dalam konteks lain adalah menyangkut jiwa (mental/karakter). Mujica merasa bahwa dia tidak miskin. Meski juga tidak mau disebut kaya.
"Saya disebut presiden termiskin di dunia, tetapi saya tak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang bekerja hanya untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu menginginkan lebih," ujar Mujica berfilosofi. Tidak lebay punya mobil sampai 30-an unit, atau kebun binatang segala.
"Ini adalah masalah kebebasan. Jika Anda tak memiliki banyak barang maka Anda tak perlu bekerja keras untuk mempertahankannya dan bekerja seumur hidup layaknya budak. Dengan cara seperti ini, Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri," tambah dia.
Mujica mungkin sudah di atas rata-rata tingkat kematangan hidupnya. Sebagai mantan gerilyawan, dia memang memilih hidup tidak gampang. Dan dia, bisa membuktikan, bahwa dirinya kaya. Dalam arti, jiwanya kaya.
Bukan seperti seorang koruptor, yang kelihatan mewah, 180 derajat beda dengan gaya Mujica, tapi apa yang terjadi: Orang yang miskin hati selalu kurang, jiwanya keropos dan korup. Menjadi pejabat dengan jiwa yang keropos, selalu mencari waktu dan kesempatan untuk korupsi.
Di kehidupan kita, di Indonesia, tentu apa yang terjadi dengan Mujica bukan tidak ada, malah sebaliknya. Banyak orang punya sifat seperti sang presiden Urugay.
Anda tentu bisa memberikan contoh-contohnya, walaupun tidak sepenuhnya sama. Meski bukan sinetron, masyarakat kita masih butuh semacam contoh teladan. Dengan contoh presiden seperti Mujica itu, yang menjalani hidupnya secara alami, sederhana - dan tidak pernah curhat kalau gajinya tidak naik - pasti masyarakat merasa tenang. Paling tidak yakin presidennya tidak korup.
Kita memang butuh panutan. Meski, untuk sebuah negara, contoh arif bijaksana nan sederhana, bukan segala-galanya. Ketegasan untuk menghentikan tindakan koruptif juga dibutuhkan. Dan, sebagai negara, tantangan lain adalah kesejahteraan. Mujica mendapat tekanan karena contoh kesederhanaannya dianggap tidak cukup untuk menyejahterakan rakyat. Dan, popularitasnya pun menurun.
Kebutuhan masyarakat terhadap pemimpin (terutama presiden), memang tidak cukup gaya sinetron belaka. Selain sikap bijak, diperlukan juga kecakapan, ketegasan, ilmu pengetahuan, keluasan jaringan nasional-internasional, diplomasi luar negeri, mental pemimpin, tangguh, konseptual, dan lain-lain. Siapa yang bisa memenuhi banyak kriteria, barangkali kita bisa tenang dan bahagia memiliki pemimpin negeri ini.
Tidak harus memimpin menunggu sampai lama berkuasa tapi tak memberikan bekas. Kalau memang bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, kenapa tidak. Lebih cepat tentu akan lebih bagus. Kenyataan mengajarkan, warisan positif (legacy) tidak selalu dibangun oleh kekuasaan yang lama. Dalam masa kekuasaan pendek pun, seorang pemimpin mumpuni bisa membuat legacy.
Dari kenyataan di atas, adalah tidak mudah menjadi calon pemimpin negeri. Tak cukup cuma modal gaya sinetron, apalagi cuma modal nekat. Duh, siapa ya?!
(mdk/tts)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Elektabilitas bakal menjadi pekerjaan rumah (PR) yang cukup berat.
Baca SelengkapnyaMenurut Cak Imin, kompetisi politik sudah semakin pragmatis. Dia ingin pemilihan dikembalikan kepada nilai-nilai dari tujuan berbangsa dan bernegara.
Baca SelengkapnyaMenurut Hadar, partai politik seharusnya dapat membaca kebutuhan masyarakat ataupun wilayah tempat pilkada berlangsung.
Baca SelengkapnyaGanjar pun menantang untuk membuka data soal angka kemiskinan dan dia pun menilai acara dialog publik akan menjadi menarik.
Baca Selengkapnya"Judi online sama pinjaman online tidak ada yang bisa berantas kecuali presiden dan wakil presiden," kata Cak Imin
Baca SelengkapnyaJokowi menyayangkan budaya Bangsa Indonesia yang bertutur kata sopan mulai hilang. Simak curhatan Jokowi selengkapnya!
Baca SelengkapnyaBahkan kata Deddy, sampai presiden dan mantan presiden 'turun gunung' untuk mendukung salah satu paslon
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyinggung soal sosok pemimpin yang dibantu oleh keluarga.
Baca SelengkapnyaOrang-orang Jakarta dulu menjuluki Ali Sadikin sebagai "Gubernur Monyet"
Baca SelengkapnyaJokowi Singgung Banyak Drama Jelang Pilpres, Anies: Biasa-Biasa saja
Baca SelengkapnyaMassa yang hadir dalam kampanye menolak harga sembako dan pendidikan mahal.
Baca SelengkapnyaBakal calon presiden Prabowo Subianto bicara mengenai sistem politik yang Indonesia yang terlalu mahal
Baca Selengkapnya