Qatar Terapkan UU Upah Minimum Non-Diskriminatif untuk Buruh Migran

Merdeka.com - Pada Sabtu, Qatar mulai memberlakukan undang-undang upah minimum baru untuk ratusan ribu buruh migran, menjadikan Qatar negara pertama di kawasan Timur Tengah yang mengadopsi upah minimum non-diskriminatif.
Undang-undang baru ini memastikan semua pekerja menerima upah bulanan minimum 1.000 riyal Qatar atau sekitar Rp 3,9 juta serta tunjangan minimum 300 riyal untuk makanan atau sekitar Rp 1,1 juta dan 500 riyal atau sekitar Rp 1,9 juta untuk perumahan, kecuali jika majikan mereka menyediakan keduanya.
Lebih dari 400.000 pekerja atau 20 persen di sektor privat – akan diuntungkan dengan UU baru ini, menurut ILO, dikutip dari Al Jazeera, Minggu (21/3).
Dari 2,7 juta populasi, penduduk Qatar hanya terdiri dari 300.000 jiwa.
Menurut Kantor Komunikasi Pemerintah Qatar, lebih dari 5.000 perusahaan telah memperbarui sistem pembayaran gaji mereka untuk menyesuaikan dengan UU baru.
Kementerian Pembangunan Administratif, Tenaga Kerja, dan Urusan Sosial Qatar telah menerapkan serangkaian reformasi ketenagakerjaan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada Agustus 2020, Qatar membatalkan aturan yang mewajibkan persetujuan majikan untuk berganti pekerjaan. Sebelumnya di bawah sistem "kafala", atau sponsor, pekerja migran harus mendapatkan izin majikan mereka sebelum berganti pekerjaan - undang-undang yang menurut para aktivis kerap menyebabkan pelecehan dan eksploitasi.
Namun, beberapa pekerja migran mengatakan kepada Al Jazeera tentang perjuangan mereka saat mencoba berganti pekerjaan, mengatakan mereka mengalami penundaan dalam proses pindah kerja serta ancaman, pelecehan dan eksploitasi oleh pihak sponsor, dengan beberapa pekerja diberhentikan, bahkan sampai ada yang dipenjara dan akhirnya dideportasi.
Juru bicara pemerintah Qatar mengatakan kepada Al Jazeera dalam sebuah pernyataan, “pada kuartal terakhir tahun 2020 (ketika undang-undang diubah”, sistem baru berkontribusi pada lebih dari 78.000 proses pemindahan kerja yang berhasil.”
Perlakuan Qatar terhadap pekerja migran telah menjadi sorotan sejak ditetapkan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010. Negara kaya itu menyatakan komitmennya untuk reformasi aturan ketenagakerjaan dan mengatakan "perubahan yang bertahan lama" membutuhkan waktu.
Pada 2018, Qatar mengubah undang-undang kependudukannya untuk mengizinkan sebagian besar pekerja migran meninggalkan negara itu tanpa visa keluar.
Sekjen panitia penyelenggara Piala Dunia Qatar, Hassan al-Thawadi mengatakan kebijakan itu adalah keyakinan pihaknya bahwa "Piala Dunia ini dapat menjadi katalisator perubahan, baik di Qatar dan di bagian lain dunia" ketika menyangkut hak pekerja.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya