Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

'Saya Lahir saat Perang, Tumbuh dalam Perang, dan Akan Mati karena Perang'

'Saya Lahir saat Perang, Tumbuh dalam Perang, dan Akan Mati karena Perang' anak sekolah korban serangan bom di afghanistan. ©Fatima Faizi/The New York Times

Merdeka.com - Setiap malam, Hamdullah Hemat menelan 500 miligram obat tidur. Dia baru 15 tahun, duduk di bangku SMP. Bulan lalu, dia melihat sahabatnya tewas karena bom bunuh diri di sekolah.

Mary Alimi (30), ibu dari tiga anak, menderita gegar otak dalam insiden yang sama. Dia tak bisa lagi mengingat nama anak-anaknya.

Jamila Neyazi (19), seorang guru sekolah. Dia mengalami luka di tangan dan bahu dalam ledakan 7 Juli lalu dan melihat banyak dari siswanya terluka karena pecahan kaca, maupun terluka karena ditimpa reruntuhan. Dia khawatir menjadi depresi.

"Saya merasa mati rasa. Saya berharap ada sebuah tempat tenang dan gelap supaya saya bisa duduk dan menangis," ujarnya, seperti dilansir dari New York Times, Rabu (7/8).

Ada puluhan bom bunuh diri di Afghanistan setiap tahun. Satu insiden yang tragis dan satu insiden lainnya dengan cepat terlupakan karena brutalitas yang sama yang terjadi kemudian.

Seperti gelombang ledakan, guncangan psikologis dari ledakan bergema jauh di luar lokasi serangan, menimbulkan luka yang tak terlihat yang berlangsung seumur hidup. Mereka yang mengalami ledakan dan bertahan hidup selamanya akan berubah, dan bahkan orang yang jauhnya beribu kilometer pun dapat tersapu oleh dampak emosional. Bagi banyak orang, ingatan akan peristiwa bom sangat menyakitkan dan menyesakkan sehingga mereka tidak memikirkan masa depan.

"Saya lahir saat perang. Saya tumbuh dalam keadaan perang. Dan saya akan mati karena perang," kaya Neyazi, guru muda itu.

Lebih dari 1 Juta Warga Depresi Akut

Bagi sebagian besar masyarakat Afghanistan, konseling bagi korban trauma sebagaimana di Barat bukanlah suatu pilihan. Perawatan bagi korban sangat langka, dan banyak dari mereka yang bisa mengakses perawatan ini justru takut distigmatisasi, kata Lyla Lynn, seorang psikolog Amerika yang bekerja di negara itu. Warga Afghanistan yang trauma oleh kekerasan biasanya mencari seorang mullah atau mengunjungi sebuah kuil, katanya.

WHO memperkirakan di Afghanistan, negara berpenduduk sekitar 35 juta, lebih dari 1 juta warga menderita depresi klinis, dan setidaknya 1,2 juta menderita kecemasan. Namun disebutkan angka riil diperkirakan jauh lebih besar.

Lynn, pendiri Peace of Mind Afghanistan, yang berusaha meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental di negara itu, mengatakan telah sering merawat pasien Afghanistan selama enam hingga 12 bulan sebelum mulai terlihat peningkatan.

Pelaku bom bunuh diri Taliban yang meledakkan sebuah truk yang penuh dengan bahan peledak pada 7 Juli pagi menargetkan sebuah bangunan di Ghazni, sebuah kota yang luas di Afghanistan timur. Bangunan tak mencolok itu disebut menjadi kantor Direktorat Keamanan Nasional, agen mata-mata pemerintah.

Pelaku mungkin tidak memperhatikan bahwa empat sekolah berada di dekat bangunan, berkumpul bersama di lingkungan yang padat. Bom itu menewaskan 12 warga sipil, termasuk sahabat Hamdullah yang sama-sama berusia 15 tahun. Lebih dari 100 anak-anak terluka.

Istilah militer untuk korban tersebut adalah dampak kerusakan. Istilah yang sama bisa berlaku untuk Aziza Alimi, 70, yang menyaksikan rumahnya runtuh dari ledakan tetapi lolos tanpa cidera. Istri cucunya, Alimi, ibu dari tiga anak, terluka parah dan hampir tidak dapat berbicara.

Cucu lainnya dari Aziza Alimi yaitu Jaber (8), berada di sekolah saat Taliban menyerang Ghazni pada Agustus 2013. Dia tak terluka secara fisik, namun trauma oleh tembakan dan ledakan dan kemudian menolak kembali ke sekolah sejak saat itu. Neneknya berusaha memukulnya, kemudian membujuknya dengan mainan.

Setelah pengeboman 7 Juli, Jaber mengatakan kepada neneknya, "Nah, apa kubilang."

Alimi mengatakan Jaber kemudian melarikan diri ke rumah keluarga setelah pengeboman bulan lalu karena itulah dia tak lagi memaksanya kembali ke sekolah.

Hamdullah (15), mengatakan dia datang ke pemakaman temannya namun tak tahan melihat keluarga yang berduka.

"Itu seperti mimpi buruk. Saya mendengar suaranya, ketawanya, senyumnya, dan itu membuatku gila," ujarnya.

Dia mengaku merasa bersalah karena membujuk Hamidullah pindah ke sekolah Afghan Rahmati, sehingga mereka bisa berangkat bersama-sama.

"Di negara-negara lain, 15 tahun adalah anak-anak. Sejujurnya, di Afghanistan kami tidak pernah menjadi anak-anak sepenuhnya," ceritanya.

Gullalia Ahmadi (18), guru tingkat pertama, mengalami luka di tangan dan kaki dalam insiden itu. Dia melihat anak-anak merintih dan berlumuran darah, masih di atas bangku mereka atau ada juga yang berjalan menyusuri lorong berasap. Sejak saat itu, kata dia, dia tidur dengan gelisah selama beberapa malam.

"Kapan pun saya mencoba terlelap, saya mendengar jeritan dan tangisan dan saya mencium bau darah," ujarnya.

Hekmat Zaki (23), guru lainnya di Afghan Rahmati, tak mengalami luka fisik tapi khawatir luka mentalnya permanen. Dia mencoba kembali mengajar beberapa setelah ledakan, namun banyak dari muridnya, seperti Jaber, trauma dan menolak kembali ke sekolah.

"Saya tidak bisa tidur," kata Zaki. "Setiap malam, saya mondar mandir di halaman selama beberapa jam," ujarnya.

Dia juga tidak berharap murid-muridnya pulih dalam waktu dekat.

"Serangan ini sangat berdampak terhadap mereka dan akan tetap melekat sepanjang hidup mereka," kata dia.

Kami Tak Ingin Taliban Kembali ke Negara Ini

Seperti bom bunuh diri lainnya yang diklaim Taliban baru-baru ini, serangan Ghazni memupus harapan laporan kemajuan dalam pembicaraan damai antara militan dan Amerika Serikat di Doha, Qatar. Pembicaraan berusaha untuk mencapai solusi politik permanen dalam perang hampir 18 tahun, bersama dengan gencatan senjata yang komprehensif.

Pada pagi hari serangan Ghazni, perwakilan Taliban bertemu secara terpisah di Doha dengan sekelompok pejabat dan warga Afghanistan untuk diskusi informal tentang kemungkinan peta jalan menuju perdamaian. Dua hari kemudian, para peserta mengeluarkan deklarasi bersama berjanji bekerja untuk mengurangi korban sipil menjadi nol.

Deklarasi menyerukan jaminan keamanan di beberapa jenis lembaga publik. Di antara mereka ada sekolah.

Neyazi, guru itu, menyatakan keheranannya bahwa kehancuran di Afghan Rahmati disebabkan seorang muslim.

"Lihat saya!" katanya di sekolah yang dibom, tiga hari setelah Taliban mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. "Saya memakai jilbab." Hanya tangannya yang terlihat.

Pakaiannya, menutupi kepalanya dari ujung rambut hingga ujung kaki, adalah jenis pakaian yang diwajibkan Taliban untuk dipakai perempuan ketika mereka mengendalikan Afghanistan, sebelum invasi Amerika pada 2001. Neyazi adalah orang yang secara sosial konservatif, seorang muslim yang taat. Tapi dia menolak untuk percaya janji apa pun oleh Taliban untuk melindungi warga sipil.

"Saya sering menangis dan saya begitu putus asa," kata Neyazi, yang menunggu sia-sia para muridnya kembali bersekolah.

"Kami tak ingin Taliban kembali ke negara ini," imbuhnya.

Hayatullah (40), tinggal di dekat lokasi ledakan tetapi tidak terluka secara fisik. Keempat keponakannya, yang berada di kelas selamat, namun hancur secara emosional.

Tingkah mereka sebagaimana anak-anak yang lain. Farahnaz (7), menangis saat tidur setiap malam. Dia tak mau ditinggalkan sendiri dalam beberapa menit.

Ayesha dan Belal, keduanya delapan tahun dan Mohammad Yusuf (9), juga menderita. Mereka terlihat linglung. Mereka juga menolak kembali ke sekolah. Paman mereka, Hayatullah, telah mendengar pernyataan dari pembicaraan damai di Doha. Mereka menanggapinya dengan dingin.

"Damai - Apa itu damai? Tak ada kedamaian sama sekali. Pelaku bom bunuh diri dan ledakan, hanya itu yang bisa kami harapkan sepanjang hidup kami," kata Hayatullah.

(mdk/pan)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Kisah Pilu Bocah Tiga Tahun di Gaza, Bom Israel Renggut Semua Keluarganya dan Kini Harus Hidup Tanpa Kaki
Kisah Pilu Bocah Tiga Tahun di Gaza, Bom Israel Renggut Semua Keluarganya dan Kini Harus Hidup Tanpa Kaki

Ahmad Ibrahim Shabat dua kali dihantam bom Israel. Serangan pertama menewaskan semua keluarganya, dan serangan kedua menyebabkan dia kehilangan kakinya.

Baca Selengkapnya
"Bocah Itu Sedang Melihat Keluar Jendela Lalu Sniper Israel Menembaknya. Dia Mati di Depan Mata Kami"

Ini adalah curahan hati bocah Gaza, menyaksikan kekejaman dan kebrutalan Israel di hadapan matanya.

Baca Selengkapnya
Cerita Pilu Anak Palestina Orangtuanya Ditembak Israel di Hadapannya 'Ibu Ku Hamil 7 Bulan Ditembak Perutnya'
Cerita Pilu Anak Palestina Orangtuanya Ditembak Israel di Hadapannya 'Ibu Ku Hamil 7 Bulan Ditembak Perutnya'

Berikut kisah pilu anak Palestina saat melihat orang tuanya ditembak di hadapannya.

Baca Selengkapnya
Yatim Piatu sejak Kecil, Begini Perjuangan Pria Asal Tuban hingga Jadi Menteri Dalam Negeri
Yatim Piatu sejak Kecil, Begini Perjuangan Pria Asal Tuban hingga Jadi Menteri Dalam Negeri

Pendidikannya sempat terhenti setelah sang ayah meninggal dunia

Baca Selengkapnya
"Sampai Sekarang Jenazah Adik Saya Masih Tertimbun dalam Reruntuhan"

Selain serangan udara, Israel juga memberlakukan blokade total di Gaza dengan memutus pasokan bahan bakar, makanan, air, listrik, dan perlengkapan lainnya.

Baca Selengkapnya
Kisah Tragis Paramedis di Gaza Dapat Panggilan Tugas Ada Rumah Dibom Israel, saat Tiba di Lokasi Ternyata Kediaman Ibunya
Kisah Tragis Paramedis di Gaza Dapat Panggilan Tugas Ada Rumah Dibom Israel, saat Tiba di Lokasi Ternyata Kediaman Ibunya

Tenaga Paramedis di Gaza harus kehilangan keluarga dan ibunya akibat serangan bom Israel yang menyasar rumah keluarganya.

Baca Selengkapnya
Ayahnya Gugur saat Bertugas di Lebanon, Curhatan Anak Ini Bikin Pilu
Ayahnya Gugur saat Bertugas di Lebanon, Curhatan Anak Ini Bikin Pilu

Viral curhatan seorang anak soal ayahnya yang gugur saat bertugas menjaga perdamaian di Lebanon.

Baca Selengkapnya
Kena Mental, 10 Tentara Israel Bunuh Diri Setelah Pulang dari Gaza Karena Melihat Penderitaan Rakyat Palestina
Kena Mental, 10 Tentara Israel Bunuh Diri Setelah Pulang dari Gaza Karena Melihat Penderitaan Rakyat Palestina

Militer Israel merahasiakan identitas tentaranya yang mati bunuh diri.

Baca Selengkapnya
Bikin Merinding Cerita Sesepuh Brimob Saat Tugas di Daerah Operasi 'Dengar Bunyi Tembakan Hidup dan Mati'
Bikin Merinding Cerita Sesepuh Brimob Saat Tugas di Daerah Operasi 'Dengar Bunyi Tembakan Hidup dan Mati'

Para purnawirawan Brimob kenang masa lalu saat menjalankan tugas di daerah operasi Timor Timur, penuh kenangan dan ancaman yang mencekam.

Baca Selengkapnya
Kisah Pensiunan Kolonel TNI Tinggalkan Anaknya yang Baru Lahir Demi Tugas, 'Aduh Bagaimana Kalau Saya Mati'
Kisah Pensiunan Kolonel TNI Tinggalkan Anaknya yang Baru Lahir Demi Tugas, 'Aduh Bagaimana Kalau Saya Mati'

Bertugas sebagai seorang pahlawan demi membela bangsa dan negara, ia rela meninggalkan anaknya yang baru lahir.

Baca Selengkapnya
Mayjen Kunto Arief Terharu Dengar Cerita Ayah Almarhum Serda Rizal yang Gugur di Papua
Mayjen Kunto Arief Terharu Dengar Cerita Ayah Almarhum Serda Rizal yang Gugur di Papua

Mayjen Kunto Arief dibuat terharu mendengar cerita dari ayah mendiang Serda TNI Rizal, tentara AD yang gugur tertembak KKB.

Baca Selengkapnya
Suka Cita Idul Adha di Gaza Berubah jadi Duka, Pria Ini Tangisi Jenazah Adik Korban Serangan Israel
Suka Cita Idul Adha di Gaza Berubah jadi Duka, Pria Ini Tangisi Jenazah Adik Korban Serangan Israel

Sembari menenteng sandal kesayangan korban, pria tersebut tak kuasa menahan air mata pilu.

Baca Selengkapnya