Sejumlah Lembaga Survei di Australia Keliru Prediksi Pemenang Pemilu
Merdeka.com - Lembaga survei utama di Australia menjadi sorotan setelah prediksi mereka soal pemenang di Pemilihan Umum Australia, Sabtu kemarin (18/05) ternyata meleset.
Hasil Pemilu di Australia yang mengantarkan Scott Morrison dari Partai Liberal kembali ke tampuk kepemimpinan Perdana Menteri mengejutkan semua pihak.
Sebelum Pemilu, sejumlah lembaga survei ternama seperti Newspoll, Ipsos, Essential, YouGov Galaxy dan Roy Morgan "menjagokan" Partai Buruh (ALP) yang diprediksi akan mengambilalih pemerintahan dari tangan partai Koalisi Liberal dan Nasional.
-
Siapa yang menentukan hasil pemilu? Nah, kombinasi dari faktor-faktor ini dan dinamika unik setiap pemilihanlah yang akan membentuk hasil akhir pemilu suatu negara.
-
Siapa yang berperan dalam Pemilu? Penyelenggaraan Pemilu harus dilakukan secara mandiri oleh lembaga penyelenggara, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
-
Bagaimana Indikator Politik melakukan survei ini? Metode pengambilan data dilakukan melalui wawancara tatap muka kepada 1.200 sampel responden yang dipilih menggunakan multistage random sampling.
-
Siapa yang mendukung tujuan pemilu? Menurut Parulian Donald, tujuan pemilu adalah untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih wakil-wakilnya dalam pemerintahan serta untuk menjaga agar pemerintahan tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
-
Siapa yang menyelenggarakan pemilu di Indonesia? Di Indonesia, pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
-
Apa itu Pantarlih Pemilu? Pantarlih adalah singkatan dari Petugas Pemutakhiran Data Pemilih. Dipilihnya pantarlih ini tentu memiliki tugas dan kewajiban yang jelas. Sebagai salah satu peran penting dalam pelaksanaan pemilu, maka perlu dipahami lebih lanjut apa itu Pantarlih Pemilu.
Angka yang mereka rilis, jika dikombinasikan adalah 51,7 persen untuk kemenangan ALP dan 48,3 persen untuk Koalisi - untuk perhitungan suara dua partai (two-party preferred vote)
Bahkan, lembaga-lembaga survei yang selalu mengandalkan dalih "metode akademis" ini telah sejak Agustus 2018 memprediksi kemenangan oposisi ALP yang akan mendudukkan Bill Shorten sebagai Perdana Menteri menggantikan Scott Morrison.
Namun faktanya, ALP menderita kekalahan telak - terutama karena faktor Dapil-dapil di negara bagian Queensland yang disapu bersih oleh Koalisi, status quo di Australia Barat, serta hasil yang kurang menggembirakan di Victoria, demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Senin (20/5).
Kekeliruan terbesar para lembaga survei yaitu memprediksi "perolehan suara pertama" (primary vote) Partai Koalisi. Bandingkan selisih kekeliruan ini antara 51-49 persen untuk ALP dengan hasil Pemilu 57-43 persen untuk Koalisi.
Lembaga survei memang memprediksi dari 30 Dapil di Queensland kemungkinan akan dimenangkan Koalisi, namun tidak satu pun yang memprediksi ALP akan menderita kekalahan besar di sana. Sejauh ini oposisi diperkirakan hanya memenangkan maksimal 6 Dapil.
Dirut YouGov Galaxy David Briggs kepada media setempat menjelaskan kondisi ini merupakan "rekor terburuk" para lembaga survei di Australia.
"Ini belum pernah terjadi di Australia. Kita telah melihat kekeliruan lembaga survei di AS, Inggris dan negara lainnya, namun belum pernah terjadi di sini. Baru sekarang ini," kata Briggs.
Dia mengaku perusahaan surveinya akan memeriksa secara seksama mengapa mereka membuat kekeliruan namun tidak akan terburu-buru.
Sementara Direktur Ipsos Australia Jess Elgood menjelaskan, pihaknya akan butuh waktu untuk memahami apa yang terjadi.
Namun Elgood membantah terjadinya "Shy Tory" - fenomena ilmu survei politik yang merujuk pada responden yang berbohong kepada petugas survei mengenai pilihan mereka.
Fenomena "Shy Tory" menjadi salah satu contoh klasik kekeliruan lembaga survei, ketika John Major memenangkan Pemilu Inggris di tahun 1992.
"Kami akan memeriksa kembali data untuk mencari apakah ada hal yang terlupakan," katanya.
Seorang analis survei Kevin Bonham kepada media setempat menjelaskan sebenarnya ada "pola yang bermasalah" sepanjang masa kampanye, dimana sebanyak 16 survei semuanya menempatkan ALP pada angka 51 dan 52 persen.
Dia meminta perusahaan survei politik ini lebih transparan mengenai angka-angka yang mereka rilis. Dia juga membantah terjadinya peralihan suara (swing) ke Koalisi di menit-menit terakhir.
Menurut mantan bos lembaga survei Newspoll, Martin O'Shannessy menyebut kekeliruan ini bersumber dari "perubahan perilaku responden dalam penggunaan telepon".
"Alasan mengapa kini sangat sulit melakukan polling melalui telepon adalah karena buku telepon sudah tidak eksis lagi," katanya kepada ABC.
"Tidak semua orang memiliki telepon rumah dan nomor-nomor telepon yang terpublikasi tidak lengkap," tambahnya.
Menurutnya, saat masih bersama Newspoll di tahun 2015, perusahaannya saat itu masih menggunakan probability sampling, yaitu sampel acak dari nomor telepon di seluruh Australia.
Sementara itu, Antony Green, analis Pemilu ternama di ABC, mengatakan saat ini lembaga survei lebih menggunakan nomor telepon genggam dan robocalls.
"Terjadi penurunan respon dari responden serta terjadi pula penurunan kualitas data," jelasnya.
Seorang pakar pengolahan data dari Griffith University, Professor Bela Stantic, telah membuat prediksi yang berbeda dengan kebanyakan lembaga survei ternama.
Ia telah menyimpulkan bahwa Scott Morrison akan terpilih kembali sebagai PM Australia.
Prof Stantic sebelumnya juga memprediksi bahwa Donald Trump akan mengalahkan Hillary Clinton serta Brexit akan dimenangkan orang Inggris yang ingin keluar dari Uni Eropa
"Saya mampu menilai opini masyarakat melalui media sosial mereka. Lembaga survei hanya mengandalkan jumlah sampel yang kecil," jelasnya kepada ABC.
"Saya hanya perlu berhati-hati untuk tidak menggunakan fake news," tambah Prof Stantic.
Melalui riset independen yang dia lakukan, Prof Stantic menganalisis 2 juta komentar di medsos yang dikaitkan dengan "kata kunci" dan memprediksi ALP tidak akan memenangkan kursi di Dapil-dapil utama.
Sudah satu dekade terakhir para penyelenggaraan survei politik berusaha melobi pemerintah Australia untuk mendapatkan akses ke Database Terpadu (IPND) yang memuat seluruh nomor telepon penduduk.
Namun akses tersebut tiak diberikan kepada lembaga survei.
Karena itu, menurut Antony Green, akan semakin sedikit survei dilakukan dalam pemilu-pemilu di Australia berikutnya.
Sumber: Liputan6.com
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kredibilitas lembaga survei dipertanyakan jelang Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaDPP Golkar meminta agar seluruh DPD menggunakan lembaga survei yang direkomendasikan
Baca SelengkapnyaAda lima surat suara yang akan diterima pemilih saat mencoblos pada 14 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menuai kontroversi ternyata mempengaruhi elektabilitas para capres.
Baca SelengkapnyaIndikator menggelar survei politik di Sumatera Barat pada 26 Juni-10 Juli 2023.
Baca SelengkapnyaHal ini menanggapi perbedaan hasil survei Poltracking Pilgub Jakarta hingga memutuskan keluar dari Persepi. Poltracking juga diberi sanksi oleh Persepi.
Baca SelengkapnyaEmpat lembaga suvei merilis elektabilitas tiga capres
Baca SelengkapnyaHari pencoblosan Pemilu semakin dekat. Empat lembaga survei memotret elektabilitas para Capres Cawapres.
Baca SelengkapnyaElektabilitas tiga calon presiden; Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan saling salip. Terpotret dari hasil survei.
Baca SelengkapnyaSementara itu, PSI menduduki posisi paling tinggi untuk partai non-parlemen.
Baca Selengkapnyapihak yang paling potensial melakukan kecurangan berdasarkan survei adalah partai politik dengan presentase 17,1 persen.
Baca Selengkapnya52,2 persen publik tidak tahu KPU sudah memutukan hasil Pemilu 2024.
Baca Selengkapnya