Seperti Apa Rasanya Hidup di Bawah Kekuasaan Militer?
Merdeka.com - Dua hari sejak militer Myanmar melancarkan kudeta dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Ini bukan kali pertama kudeta militer terjadi di Myanmar atau disebut juga Birma. Malah bagi banyak warga, peristiwa ini mengingatkan kembali masa-masa di tahun 1980-an.
"Rasanya seperti deja vu, seolah kita kembali ke awal lagi," kata seorang warga Myanmar berusia 25 tahun kepada BBC.
-
Kapan peristiwa ini terjadi? Berdasarkan informasi dari warga sekitar, peristiwa itu terjadi Selasa (25/7) pagi.
-
Apa itu Peristiwa Cumbok? Perang Cumbok atau yang dikenal dengan Peristiwa Cumbok ini merupakan bagian dari konflik sosial antara golongan ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan Uleebalang yang dibawah kepemimpinan Teuku Muhammad Daud Cumbok.
-
Apa yang terjadi di Pemberontakan 8888? Aksi protes ini diikuti oleh ribuan mahasiswa, biksu, dan warga sipil yang menuntut perubahan demokratis, namun ditanggapi dengan kekerasan oleh pihak militer.
-
Kapan operasi militer di Aceh dimulai? Operasi Militer Indonesia di Aceh atau disebut dengan Operasi Terpadu yang melibatkan pasukan Batalyon Infanteri 330 Tri Dharma ini berlangsung sejak 2001 hingga 2003 melawan pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
-
Dimana Aksi Kamisan ke-806 dilakukan? Aktivis yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti Aksi Kamisan di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis (22/2/2024).
-
Dimana peristiwa itu terjadi? Peristiwa itu diketahui terjadi di Jalan Wirasaba, Adiarsa Timur, Karawang Timur, Karawang, Jawa Barat, Minggu (21/7).
Wai Wai Nu masih berusia lima tahun ketika ayahnya ditangkap di depan matanya, dibawa ke dalam truk dan pergi meninggalkannya.
Ayahnya seorang aktivis politik yang menjadi rekan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Ayahnya memang kemudian dibebaskan setelah ditahan selama sebulan, tapi hingga kini Wai Wai Nu masih mengingat apa yang dia rasakan hari itu.
"Saya tumbuh dewasa dengan penuh ketakutan," kata dia, seperti dikutip BBC, Rabu (3/2). "Sewaktu kecil saya selalu takut. Tentara di mana-mana dan saya masih mengingat bagaimana ayah dibawa pergi dari hadapan saya. Saya masih ingat ketika kami memasang earphone dan mendengarkan radio pelan-pelan."
Wai Wai--seorang etnis Rohingya, kelompok masyarakat yang paling ditindas di Myanmar, mengatakan ayahnya selalu diburu.
Ketika dia berusia 10 tahun, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Ibu Kota Yangon (Rangoon).
"Saya merasakan sedikit kebebasan di Yangon," kata dia. "Di Rakhine, mayoritas warga adalah Rohingya, tapi di Yangon lebih multietnis dengan berbagai bahasa. Tapi di Yangon banyak orang tidak tahu apa yang terjadi dengan kaum etnis minoritas."
Kala itu kehidupan tampaknya cukup normal bagi Wai Wai Nu.
"Kami pergi sekolah lalu pulang. Di sekolah kami selalu kedatangan jenderal-jenderal dan menghormati mereka. Sistem pendidikannya sederhana, propaganda militer."
Tapi ketika dia sudah berusia 18 tahun, ayahnya kembali dicari dan seluruh keluarganya dijebloskan ke penjara dan mereka mendekam selama tujuh tahun.
Kesalahannya? Karena dia anak seorang aktivis politik.
Setelah dibebaskan, dia kuliah di universitas dan kini bekerja sebagai kativis HAM, membela hak-hak kesetaraan bagi kaum perempuan dan etnis Rohingya.
"Ketika saya dibesarkan, Rakhine itu negara bagian yang miskin tapi tidak buruk, orang di sana masih bisa berjual-beli. Tapi sekarang lain."
Suara orang menguping di telepon
Phyo (bukan nama sebenarnya) punya pengalaman yang lain lagi.
Phyo berasal dari keluarga yang lebih berada. Dia lahir di Yangon dan selama 25 tahun dia ditutup-tutupi atas apa yang terjadi luar sana.
Tapi ketika dia masih kecil, dia ingat sesuatu.
"Kalau kita bicara di telepon, kita bisa mendengar seperti ada latar suara-suara--ada suara orang sedang menonton televisi atau orang mengobrol. Tentara sedang mendengarkan percakapan kita."
"Itu menakutkan karena ketika kita lahir tumbuh dewasa dengan kondisi seperti itu, kita tidak punya alternatif, tapi orangtua kami bilang jangan berbicara di telepon."
Phyo lahir pada 1995, tiga tahun setelah diktator militer Than Shwe naik ke tampuk kekuasaan. Phyo menyebut tahun ketika dia lahir adalah "masa-masa kejayaan kekuasaan militer setelah revolusi '88".
Di sekolah, kata dia, kurikulum sangat diatur selektif tentang apa yang diajarkan.
"Mereka tidak mengajarkan hal yang sensitif. Misalnya kalau di AS mereka mengajarkan kritik terhadap situasi politik, maka kami diajarkan untuk membaca kisah lengkap hikayat Buddha," kata dia. "Atau kita belajar tentang betapa hebatnya raja-raja Birma sampai akhirnya kita dijajah Inggris."
Inggris menjajah Birma dari 1824 hingga 1948.
Phyo mengaku dirinya tidak tahu soal politik yang terjadi di negerinya sampai usianya menginjak 12 tahun.
"Saya masih ingat ketika hari ulang tahun ke-12 saat itulah terjadi Revolusi Jingga," kata dia. "Pada saat itulah saya baru tersadar--selama ini kita hidup dalam kediktatoran."
Revolusi Jingga adalah serangkaian demo yang terjadi di Myanmar pada 2007 yang dilakukan oleh para biksu melawan rezim militer.
Para biksu di Myanmar yang mayoritas Buddha cukup dihormati, tapi banyak dari mereka dipenjara di masa demo itu dan ada laporan sedikitnya tiga biksu tewas oleh aparat keamanan.
"Saya melihat ada banyak demo di luar rumah dan suasana mencekam, tentara di mana-mana," kenang Phyo.
Di masa dia remaja ponsel masih jarang ada dan hanya mereka yang mampu yang memilikinya.
"Mereka membuat ponsel sangat mahal jadi tidak ada yang mampu membelinya. Waktu itu orang hanya punya telepon biasa dan sering ada lampu mati jadi kita tidak bisa menelepon siapa pun."
Phyo kemudian bisa kuliah di luar negeri dan dia menyadari betapa berbedanya kehidupan di negara Barat dibandingkan di Myanmar.
Pada pagi 1 Februari lalu Phyo terbangun pukul 06.00 dan ada banyak pesan masuk di ponselnya.
"Saya terbangun dan tiba-tiba semua pejabat pemerintahan ditangkapi," kata dia.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berakhirnya pemberontakan 8888 bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga meninggalkan jejak kelam dalam sejarah Myanmar.
Baca SelengkapnyaPeristiwa kelam ini cukup memberikan luka mendalam bagi masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI di era konflik Aceh.
Baca SelengkapnyaPartai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) dibentuk setelah Pemberontakan 8888.
Baca SelengkapnyaPeran para wanita dibutuhkan dalam menambah personel untuk melawan junta militer Myanmar.
Baca SelengkapnyaKonflik Rohingya termasuk kejahatan genosida yang menelantarkan banyak orang.
Baca SelengkapnyaBerikut kesaksian pilu anggota KKO TNI AL saat berjuang di operasi Dwikora hingga nyaris meregang nyawa. Simak informasinya.
Baca SelengkapnyaMomen lawas prajurit TNI saat bertugas jadi pasukan perdamaian di Bosnia.
Baca SelengkapnyaDalam pelaksanaan operasi pemulihan keamanan di Aceh oleh pemerintah berhasil meredam gerakan pemberontakan oleh prajurit Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Baca SelengkapnyaMyanmar adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang penuh dengan keunikan budaya dan tradisi.
Baca SelengkapnyaPara purnawirawan Brimob kenang masa lalu saat menjalankan tugas di daerah operasi Timor Timur, penuh kenangan dan ancaman yang mencekam.
Baca SelengkapnyaIza Fadri membagikan kisahnya saat ditunjuk menjadi Dubes Indonesia untuk Myanmar, dan ditugaskan menangani konflik Rohingya.
Baca SelengkapnyaDalam mengenang peristiwa kudatuli yang dahulu mungkin ideologi Megawati dianggap sebelah mata oleh orde baru.
Baca Selengkapnya