Tak Hanya Covid-19, Ada Pandemi Senyap di India yang Diam-Diam Membunuh 9 Juta Orang
Merdeka.com - Bahaya mematikan membekap kota-kota kita, membunuh empat kali lebih banyak manusia dalam setahun dibandingkan Covid-19. Di seluruh dunia, hampir 9 juta orang meninggal karenanya pada 2018, dan di India, bahaya ini telah membunuh satu anak setiap tiga menit.
Bahaya tersebut adalah polusi. Korban-korban meninggal hanya dengan menghirup udara di sekitar mereka.
Udara tercemar. Sebanyak 9 juta nyawa melayang. Dan apa sumber udara pengap beracun yang meliputi kota-kota? Bahan bakar fosil, sebagian besar.
-
Bagaimana polusi udara di New Delhi terjadi? Setiap musim dingin, New Delhi mengalami kabut tebal yang disebabkan oleh kombinasi asap, debu, rendahnya kecepatan angin, emisi kendaraan, dan pembakaran jerami.
-
Dimana polusi udara di India paling parah? Menurut laporan dari BBC pada Rabu (30/10/2024), tingkat polusi di sejumlah lokasi di kota ini telah melampaui batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hingga 25-30 kali lipat.
-
Apa penyebab kematian banyak orang di India? Kematian akibat gigitan ular adalah ancaman yang serius, terutama di negara tropis dengan populasi ular berbisa yang tinggi. Salah satunya adalah India, yang termasuk dalam daftar negara dengan angka kematian akibat gigitan ular tertinggi. Menurut Forbes, Selasa (29/10), diperkirakan 46.000 hingga 60.000 orang di India meninggal setiap tahun akibat gigitan ular, terutama karena banyaknya ular berbisa, seperti kobra, yang sering ditemui di lingkungan penduduk.
-
Siapa yang terdampak polusi udara? Tentu saja kondisi tersebut memberikan dampak buruk bagi masyarakat yang menghirupnya. Bahkan yang hidup berdampingan dengan kondisi tersebut.
-
Kapan polusi udara di New Delhi meningkat? Setiap tahun, New Delhi dan beberapa kota di utara India melaporkan tingkat polusi udara yang sangat tinggi antara bulan Oktober hingga Januari, yang berdampak pada gangguan aktivitas bisnis serta penutupan sekolah dan kantor.
-
Di mana polusi udara meningkatkan bunuh diri? Analisis di Amerika Serikat menunjukkan setiap peningkatan partikel polusi per mikrogram/m3 di kota-kota AS menyebabkan peningkatan kejadian bunuh diri hingga 0,5%.
Emisi gas rumah kaca dari batubara, minyak, dan gas bersama-sama menyebabkan pemanasan global, sembari memaksa populasi kota-kota menghirup partikel kecil beracun. Para ilmuwan menyebut partikel paling mematikan ini PM2,5 – yang menembus ke dalam paru-paru dan bisa menyebabkan kanker paru, penyakit jantung koroner, stroke, dan kematian dini.
Partikel yang berukuran 2,5 mikro atau lebih kecil itu disebut berbahaya bagi kesehatan manusia karena mereka melewati banyak pertahanan tubuh kita seperti bulu hidung atau lendir.
Perkiraan kematian global, diterbitkan jurnal Environmental Research, menunjukkan jumlahnya meningkat di mana totalnya gabungan orang yang meninggal secara global akibat merokok, ditambah mereka yang meninggal karena malaria.
Para peneliti, termasuk spesialis citra satelit jarak jauh dan ahli epidemiologi kesehatan, menggunakan model 3D global kimia atmosfer untuk membedakan antara sumber polusi. Hal ini memungkinkan mereka untuk memetakan di mana polusi dan referensi silang ke tempat tinggal orang.
Di Asia Timur, pembunuh tak terlihat ini bertanggung jawab untuk hampir satu dari tiga kematian mereka yang berusia 14 tahun ke atas. Di India, polusi udara adalah penyebab kematian tertinggi ketiga, membunuh lebih dari 1 juta orang per tahun.
Negara ini merupakan rumah bagi 22 dari 30 kota paling tercemar di dunia, dan Delhi berada di peringkat ibu kota negara paling tercemar di dunia dengan tingkat kematian perkotaan tertinggi 54.000 kematian pada tahun 2020 - kira-kira satu kematian per 500 orang.
Ingatlah, pada 2020, pandemi memperlambat perekonomian dan memangkas emisi CO2 hampir sepanjang tahun. Ini berarti ketika ekonomi nasional pulih dan emisi meningkat lagi, demikian pula tingkat kematian akibat polusi.
Udara Delhi mematikan
Jurnalis Neha Tara Mehta lahir dan besar di Delhi, ibu kota India. Dalam film dokumenter Al Jazeera yang dia buat pada 2019, Delhi’s Deadly Air, dia merekam kota berpenduduk hampir 30 juta orang yang tercekik oleh polusinya sendiri.
“Untuk kota dengan jumlah besar,” kata Neha, merujuk pada populasi yang besar dan polusi udara yang begitu tinggi sehingga melampaui kapasitas pengukuran monitor udara selama bulan-bulan puncak polusi, “angka terpenting yang ditemukan investigasi kami adalah: nol.”
“Delhi tidak memiliki hari-hari dengan kualitas udara yang baik pada tahun 2018. Saat syuting, kami menemukan tidak ada kasus yang terdaftar terhadap pelanggar polusi udara,” lanjutnya, dikutip dari Al Jazeera, Jumat (23/4).
Kenyataannya meresap ke dalam diri Neha beberapa tahun yang lalu ketika dia sedang piknik bersama keluarganya. Mereka pergi ke Lodhi Garden, sepetak hijau subur di selatan Delhi, untuk merayakan ulang tahun keponakannya.Sesaat sebelum pandemi Covid-19 melanda, dia melihat para keponakannya berlarian di taman favoritnyan saat udara Januari yang dingin, dengan masker bergambar karakter kartun menutupi wajah mereka – benar-benar lupa atas fakta bahwa mereka memakai masker.
“Menyedihkan karena mereka berada di taman favorit mereka di Delhi di mana saya tumbuh besar melompat di sekeliling tempat itu dan di sini saya bersama keponakan saya, yang berlarian memakai masker,” ujarnya.
“Masa kanak-kanak tidak seharusnya dihabiskan seperti itu.”
Neha tahu para ibu akan mengecek kualitas udara pada pagi hari sebelum memutuskan apakah anak-anak mereka boleh bermain di luar rumah. Dan bagi orang yang bisa membeli, penyaring udara diletakkan di setiap ruangan di dalam rumah.
Namun tindakan pencegahan ini tidak selalu cukup. Sedikit saja melangkah ke luar rumah, kata Neha, risiko terpapar udara buruk semakin tinggi.
Tapi bagi sebagian besar orang, diam di rumah bukanlah sebuah pilihan.
“Jika Anda berjualan di jalan, pekerjaan Anda mengharuskan Anda berada di luar rumah, jadi Anda akan keluar rumah,” ujarnya.
“Ini digambarkan sebagai pandemi senyap karena telah membunuh orang selama bertahun-tahun.”
Dua pembunuh
Saat membuat filmnya, Neha melihat betapa dampak polusi udara bisa sangat merusak.
Dia bertemu Priyanka (26), yang didiagnosis kanker paru-paru stadium empat hanya beberapa bulan sebelum membuat film. Priyanka tidak merokok dan tidak ada keluarganya yang memiliki riwayat kanker, dokternya menduga kuat penyebabnya adalah polusi udara. Priyanka akhirnya meninggal kurang dari setahun setelah didiagnosis kanker.
Pasien kanker paru-paru lainnya, seorang ibu berusia pertengahan 30 tahunan juga meninggal sebelum sempat diwawancari Neha. Sebelumnya Neha sempat menghubunginya untuk tampil dalam film dokumenternya.
Ada juga Ashutosh Dikshit, pria berusia 50 tahunan yang memimpin sebuah lembaga masyarakat di Delhi dan aktif berkampanye terkait polusi udara. Mendekati waktu saat Neha akan mewawancarainya untuk film itu, dia mengeluh sakit bahu dan punggung. Ternyata dia terkena kanker paru-paru stadium empat. Tak lama kemudian dia meninggal.
Dengan jutaan orang menghirup udara mematikan, kenyataannya sulit diterima.
“Itu sebuah tindakan pasif, kan? Anda menghirup udara. Anda tidak bisa mengendalikannya dan itu bisa membunuh Anda,” kata Neha.
Dan sekarang ada Covid.
“Anda punya dua pembunuh di udara.”
Di akhir filmnya, Neha dengan tegas menunjukkan, kecuali pemerintah menganggapnya sebagai kedaruratan,
Seperti yang ditunjukkan Neha dengan pedih di akhir filmnya, kecuali jika pemerintah memperlakukan ini sebagai keadaan darurat, jutaan orang akan terus mempertaruhkan nyawa mereka, hanya dengan bernapas.
Pembakaran jerami
Situasi di Delhi semakin diperparah karena lokasinya di jantung wilayah pertanian India di mana marak terjadi pembakaran tunggul. Puluhan ribu petani membakar jerami mereka untuk membersihkan tanah untuk masa tanam berikutnya.
Asapnya mencemari petak-petak di India utara dan menambah kabut asap beracun Delhi, khususnya pada September dan Oktober ketika kecepatan angin yang rendah membuat asap menyebar jauh dan meluas.
Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah ini mencakup larangan praktik pembakaran tersebut, dan memberikan penghargaan bagi mereka yang menemukan alternatif lain. Tapi dampaknya sangat kecil.
Berjuang untuk perubahan
Siddhant Sarang (20) kuliah di Universitas Delhi dan pendiri organisasi iklim, Youth Frontliners. Keadaan Delhi yang parah menginspirasinya terlibat dalam aktivisme lingkungan.
“Ketakutanku dua kali lipat ketika saya melihat pemerintah mengabaikan isu penting ini,” ujarnya.
“Polusi udara, perubahan iklim atau kematian karena hal ini bukan isu besar dalam diskursus politik dan kebijakan India.”
Siddhant mengambil jurusan sejarah tapi mengatakan polusi membahayakan Delhi membuatnya ngeri.
“Anda tidak hanya bisa merasakan polusinya, Anda bisa menyentuhnya, itu ada di hidung Anda, di tenggorokan Anda. Jika Anda berkendara jarak berapa pun, partikel debu memenuhi wajah Anda seperti bubuk semen,” ujarnya.
Dia mengatakan ketika orang-orang dari negara bagian lain di India berkunjung ke Delhi menggunakan kereta, mereka tahu mereka telah tiba di Delhi.
“Segera saat mereka melihat kabut asap mereka bisa mengatakan mereka telah memasuki perbatasan ibu kota. Polusi udara kini menjadi simbol Delhi.”
Dan itu semua menjadi lebih berbahaya tahun ini dengan Covid-19 yang melanda - penelitian telah mengaitkan polusi udara dengan jumlah kasus dan kematian virus corona yang lebih tinggi.
Menurut laporan State of Global Air 2020, pada tahun 2019, 116.000 bayi di India meninggal dalam bulan pertama kelahirannya, seringkali akibat langsung dari paparan ibu terhadap polusi udara selama kehamilan. Jika Anda miskin, tidak ada jalan keluar.
Sarang mengatakan pada satu titik pada tahun 2019 pemerintah membantah penelitiannya sendiri dengan mengatakan tidak ada penelitian India yang mengaitkan polusi udara dengan pendeknya rentang hidup.
“Tapi sebuah penelitian oleh Dewan Riset Medis India mengatakan dengan tepat, bahwa polusi membuat harapan hidup di India turun,” katanya.
Klaim keberhasilan
Menteri Lingkungan Hidup Delhi, Gopal Rai, mengatakan pada Maret, pemerintah kota telah berhasil mengatasi polusi.
“Pemerintah Delhi secara konsisten menunjukkan keinginan pemerintahannya untuk mengurangi polusi udara di kota ini, karena itu telah berkurang sampai 15 persen,” jelasnya dalam sebuah pernyataan.
Dia menambahkan, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penting terkait perubahan bahan bakar, penanaman pohon, dan kendaraan listrik, serta sedang mengerjakan bio-decomposer untuk menghilangkan pembakaran tunggul.
Gopal juga mengatakan terserah pemerintah pusat untuk berbuat lebih banyak untuk mengatasi masalah ini.
“Pemerintah harus bekerja sama untuk menghasilkan solusi yang layak dan bisa diterapkan.”
Pandemi polusi
Di seluruh dunia, seruan tegas adalah untuk menghapus batu bara untuk pembangkit tenaga listrik - dan meningkatkan pasokan energy terbarukan seperti angin dan matahari secepat mungkin. Ini akan meringankan beban emisi CO2 yang menyebabkan perubahan iklim dan polusi udara.
Namun hal ini menjadi masalah terutama bagi negara berkembang seperti India yang tidak memiliki akses yang bermanfaat selama dua abad ke bahan bakar fosil. Banyak yang akan mengatakan ini adalah pertanyaan tentang keadilan ekonomi.
Namun Delhi diproyeksikan menjadi kota terpadat di dunia pada tahun 2030, dan seiring pertumbuhan populasinya, begitu pula bencana lingkungan dan kesehatan, yang tercermin di kota-kota di seluruh dunia.
Mungkin tidak ada vaksin untuk pandemi polusi, tetapi ini adalah ancaman yang bisa dan harus dikalahkan. Coba tanyakan pada 30 juta penduduk ibu kota India itu.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca SelengkapnyaPolusi udara bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga tantangan bagi sektor kesehatan.
Baca SelengkapnyaJumlah populasi nyamuk di seluruh dunia terungkap. Angkanya begitu fantastis.
Baca SelengkapnyaNegara dengan penduduk terbanyak di dunia ini mengalami krisis lapangan pekerjaan.
Baca SelengkapnyaSuhu Tembus 50 Derajat Celcius, Dalam 3 Hari 50 Orang Meninggal di Negara Ini
Baca SelengkapnyaVirus Nipah menyebabkan dua orang meninggal dunia di India.
Baca SelengkapnyaDua kasus kematian baru dari pasien Covid-19 pada Desember 2023.
Baca SelengkapnyaNipah sebetulnya bukan virus baru. Sejak tahun 1998, virus zoonosis itu sudah menggerogoti Malaysia, Singapura, India, Bangladesh, dan Filipina.
Baca SelengkapnyaGelombang panas yang menghantam India telah merenggut banyak korban jiwa. Suhunya tertinggi capai 52,9 derajat Celcius.
Baca SelengkapnyaPolusi udara telah merubah langit biru Jakarta menjadi kabut pekat. Bahkan IQAir melaporkan hampir 8.000 warga meninggal dunia akibat polusi udara tersebut.
Baca SelengkapnyaVirus Nipah menyebabkan dua orang meninggal dunia di India.
Baca SelengkapnyaData itu berdasarkan catatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jateng.
Baca Selengkapnya