Vaksin Kurang Efektif Blokir Virus Omicron, Tapi Lebih Baik dalam Cegah Sakit Parah
Merdeka.com - Berikut ini adalah ringkasan dari beberapa penelitian terbaru tentang Covid-19. Termasuk penelitian yang memerlukan studi lebih lanjut untuk memperkuat temuan dan yang belum disertifikasi oleh peer review.
Vaksin tampak lemah dalam melawan infeksi Omicron, tapi lebih baik dalam mencegah penyakit parah.
Berdasarkan sebuah analisis baru, efektivitas vaksin melawan infeksi bergejala varia Omicron tampak jauh lebih kecil daripada melawan varian virus corona sebelumnya, tapi vaksin masih bisa memberikan perlindungan substansial melawan penyakit parah.
-
Bagaimana cara virus Corona varian Omicron bermutasi? Mereka menemukan bahwa varian asli Omicron BA1 telah mengalami lebih dari 50 kali mutasi, termasuk beberapa yang memungkinkannya untuk menghindari sistem kekebalan tubuh manusia.
-
Bagaimana cara meningkatkan ketahanan kesehatan melalui vaksin? Menkes Budi juga menambahkan, untuk mendukung ketahanan kesehatan, diperlukan penelitian yang berkelanjutan dan mengikuti perkembangan teknologi. Pemerintah melalui berbagai program terus mendorong pengembangan vaksin berbasis teknologi terkini.
-
Bagaimana vaksin kanker ini bekerja? Putin menyatakan keyakinannya bahwa vaksin tersebut, bersama dengan obat imunomodulator generasi baru, akan segera menjadi bagian integral dari terapi individual yang efektif.
-
Bagaimana vaksin melindungi anak? Pemberian vaksinasi ini merupakan langkah penting untuk mencegah munculnya sejumlah masalah kesehatan.
-
Mengapa beberapa orang kebal terhadap Covid-19? Meskipun vaksin dan booster secara radikal mengurangi risiko kematian dan komplikasi berat dari COVID-19, mereka tidak banyak membantu menghentikan virus dari memasuki lapisan hidung dan sistem pernapasan.
-
Apa yang terjadi pada virus Corona varian Omicron di tubuh pria tersebut? Selama 20 bulan masa infeksi, dokter mencoba segala cara untuk membantu pria lanjut usia tersebut, namun tidak ada upaya yang berhasil.Tubuhnya tidak dapat memberikan respons kekebalan yang cukup kuat untuk melawan virus Corona, bahkan dengan bantuan obat antibodi sekalipun.
Billy Gardner dan Marm Kilpatrick dari Universitas California, Santa Cruz mengembangkan model komputer yang menggabungkan data kemanjuran vaksin Covid-19 terhadap varian sebelumnya dan data awal pada vaksin Pfizer/BioNTech melawan Omicron. Model mereka menunjukkan, awal setelah dua dosis vaksin mRNA dari Pfizer/BioNTech atau Moderna, efektivitas melawan infeksi bergejala yang disebabkan Omicron hanya sekitar 30 persen, turun dari sekitar 87 persen dibandingkan varian Delta. Hasil ini dilaporkan pada Minggu di medRxiv sebelum peer review.
Perlindungan terhadap infeksi bergejala "pada dasarnya hilang" pada individu yang divaksinasi lebih dari empat bulan sebelumnya. Suntikan penguat atau booster mengembalikan perlindungan sampai sekitar 48 persen, "yang mirip dengan perlindungan individu dengan kekebalan yang berkurang terhadap varian Delta (43 persen)," kata Kilpatrick.
"Yang penting, perlindungan terhadap penyakit parah jauh lebih tinggi" untuk semua kategori: baru saja divaksinasi, perlindungan yang diberikan vaksin berkurang, atau telah diberikan suntikan booster.
"Kami memperkirakan perlindungan terhadap penyakit parah adalah 86 persen untuk vaksinasi mRNA baru-baru ini terhadap Omicron, 67 persen untuk kekebalan yang berkurang, dan 91 persen setelah booster dosis ketiga," jelas Kilpatrick, dikutip dari Reuters, Selasa (14/12).
"Masih belum ada perkiraan langsung efektivitas vaksin untuk penyakit parah dari negara mana pun, jadi perkiraan kami belum dapat dibandingkan dengan perkiraan langsung."
Temuan baru menunjukkan, vaksin Covid-19 dapat mengurangi beban Covid yang panjang. Vaksin juga dapat berkontribusi pada pengurangan beban kesehatan Covid jangka panjang.
Para peneliti menganalisis tanggapan survei dari 28.356 orang dewasa berusia 18 hingga 69 tahun dari seluruh Inggris yang sebelumnya menderita Covid-19, hampir seperempat di antaranya telah melaporkan gejala yang mengganggu. Kemungkinan peserta akan melaporkan gejala Covid yang lama setidaknya 12 minggu setelah infeksi turun 13 persen setelah dosis vaksin pertama, para peneliti melaporkan pada hari Kamis di medRxiv sebelum peer review.
Tidak jelas apakah perbaikan ini berlanjut antara dosis pertama dan kedua. Pengurangan 9 persen kemungkinan munculnya gejala setelah dosis vaksin kedua "tampaknya bertahan, setidaknya selama periode tindak lanjut rata-rata 67 hari," kata pemimpin penelitian dari Badan Statistik Nasional Inggris, Daniel Ayoubkhani.
Hal yang sama berlaku untuk gejala Covid jangka panjang dan cukup parah sampai menghambat aktivitas sehari-hari, dan polanya serupa terlepas dari apakah peserta menerima vaksin dari AstraZeneca, Pfizer/BioNTech, atau Moderna.
"Namun, kami tidak dapat mengatakan dari penelitian ini jika, atau bagaimana, vaksinasi menyebabkan perubahan gejala yang diamati, dan diperlukan lebih banyak waktu lebih lanjut untuk menilai apakah perbaikan akan dipertahankan dalam jangka panjang dan dampak dosis booster dan varian baru."
Tingkat antibodi yang baik dari vaksin tidak menjamin bertahannya kekebalan bagi beberapa orang.
Para peneliti mengatakan, ada beberapa pasien yang menggunakan obat imunosupresif, vaksin Covid-19 dapat menginduksi antibodi pelindung tanpa menginduksi pertahanan kekebalan lini kedua yang baik, membuat mereka berisiko terkena penyakit parah jika terinfeksi.
Vaksin mengurangi keparahan penyakit dengan menginduksi sel T dalam sistem kekebalan untuk mengenali dan menghilangkan sel yang terinfeksi virus. Pada 303 pasien yang menjalani terapi penekan kekebalan untuk penyakit radang usus, para peneliti menggunakan alat pengukuran molekuler baru untuk menghitung jumlah sel T antivirus yang diinduksi oleh vaksin Covid.
"Secara keseluruhan, sejumlah besar pasien yang divaksinasi - sekitar 20 persen - memiliki tingkat sel T antivirus minimal, meskipun sebagian besar memiliki antibodi antivirus yang tinggi," jelas pemimpin penelitian, Jonathan Braun dari Cedars-Sinai Medical Center di Los Angeles.
Usia, jenis kelamin, dan imunoterapi spesifik mungkin terkait dengan respons sel T pasien terhadap vaksin, tetapi intinya tingkat antibodi setelah vaksinasi tidak selalu memprediksi respons sel T, kata timnya dalam sebuah laporan yang diunggah pada Rabu di medRxiv.
Braun mengatakan, tingkat sel T antivirus tidak sering diukur, meninggalkan pertanyaan penting, diantaranya: Seberapa sering individu yang divaksinasi dengan tingkat sel T antivirus yang rendah pada populasi umum? dan, Apakah booster membantu individu tersebut meningkatkan tingkat sel T antivirus mereka?
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Varian baru virus corona bernama Pirola tengah menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia.
Baca SelengkapnyaTerdapat dua jenis vaksin polio yaitu berupa suntik dan tetes yang bisa diberikan pada anak. Apa perbedaannya?
Baca SelengkapnyaVaksin cacar api dirancang untuk merangsang sistem kekebalan tubuh agar dapat mengenali dan melawan virus varicella-zoster sebelum virus tersebut aktif kembali.
Baca SelengkapnyaDia lalu mengatakan vaksin dengue dapat diberikan kepada masyarakat berusia 6 hingga 45 tahun.
Baca SelengkapnyaBadan Pengawas Obat Eropa juga telah melarang peredaran vaksin ini.
Baca SelengkapnyaMasyarakat juga diminta segera melengkapi vaksinasi Covid-19, khususnya pada kelompok berisiko.
Baca SelengkapnyaPemerintah berupaya mencegah penyebaran Mpox dengan melakukan vaksinasi yang sudah disetujui WHO dan BPOM.
Baca SelengkapnyaBelakangan, vaksin AstraZeneca disebut-sebut memicu kejadian trombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) atau pembekuan darah.
Baca SelengkapnyaVaksin Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah inovasi penting dalam upaya mengurangi beban penyakit dengue.
Baca SelengkapnyaVarian tersebut memicu ada peningkatan kasus Covid-19 di Singapura.
Baca SelengkapnyaMeskipun hampir sama, namun bakteri dan virus ternyata memiliki beberapa perbedaan.
Baca SelengkapnyaKasus Covid-19 di Indonesia kembali meningkat. Kenaikan terjadi sejak dua pekan terakhir saat Singapura dihantam lagi badai Covid-19.
Baca Selengkapnya