Virus Mematikan yang Lebih Menakutkan dari Covid-19
Merdeka.com - Pada saat Victory Ovuoreoyen mendengar dia terinfeksi virus Lassa, pria itu berpikir itulah akhir hidupnya. Dia hampir tidak bisa berjalan dan mengalami demam, muntah-muntah, dan diare parah. Dia dilarikan ke rumah sakit di kota Owo, Nigeria.
Selama empat hari di bangsal isolasi, bisa bisa duduk tegak di ranjang perawatan.
Dokter meyakinkan pria 48 tahun itu bahwa dia akan sembuh dari penyakit yang mirip Ebola itu. Ovuoreoyen beruntung. Walaupun 80 persen dari orang yang terinfeksi Lassa tidak sakit parah dan sebagian besar kasus tidak dilaporkan, tingkat kematian bagi pasien yang dirawat di rumah sakit 15 persen, menurut WHO. Dengan masa inkubasi angtara dua dan 21 hari, gejala parah penyakit ini bisa mulai muncul selama seminggu.
-
Kapan kematian akibat panas ekstrem meningkat? Menurut studi terbaru, beban kematian akibat suhu panas dapat berpindah dari orang tua ke kaum muda pada akhir abad ini.
-
Apa saja penyakit kritis yang meningkat? Berdasarkan data Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kasus penyakit katastropik (jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, dan lainnya) di Indonesia mengalami peningkatan sebanyak 23,3 juta kasus di tahun 2022.
-
Apa yang sebenarnya demam itu? Menurut Dr. Arifianto, SpA, demam bukanlah penyakit, melainkan gejala bahwa tubuh sedang melawan infeksi.
-
Siapa yang berisiko tinggi mengalami kejang demam? Anak-anak usia 6 bulan hingga 5 tahun memiliki risiko tinggi mengalami kejang demam, terutama ketika mereka mengalami demam tinggi.
-
Kapan demam dianggap tinggi? Demam tinggi: 40°C (104°F) atau lebih
-
Apa saja gejala demam pada orang dewasa? Demam pada orang dewasa seringkali disertai dengan berbagai gejala yang dapat bervariasi tergantung pada penyebab dan tingkat keparahannya.
Dikutip dari Al Jazeera, Selasa (23/8), demam Lassa ini menurunkan jumlah trombosit dalam darah dan kemampuannya untuk menggumpal, menyebabkan perdarahan internal. Kegagalan organ yang fatal dapat terjadi dalam beberapa hari.
Gejala awal yang dirasakan pasien seperti sakit kepala dan nyeri otot, sakit tenggorokan, mual dan demam.
Owo di negara bagian Ondo, terletak 300 kilometer dari ibu kota Nigeria, Abuja, merupakan episentrum wabah Lassa yang muncul awal tahun ini, menyebabkan lebih dari 160 kematian. Di daerah ini, masyarakat lebih takut Lassa daripada virus corona karena di negara bagian Ondo, tercatat ada 171 kematian karena Lassa sejak 2020 dan 85 kematian akibat Covid-19, menurut data Pusat Pengendalian Infeksi dan Penelitian di rumah sakit setempat.
Tenaga kesehatan yang menangani pasien Lassa di bangsal khusus ini diwajibkan memakai hazmat, penutup kepala, masker, dan perisai wajah (face shield), serta sepatu boots karet yang telah didisenfeksi dan sarung tangan. Hanya mereka yang memakai alat pelindung lengkap yang boleh memasuki "zona merah" atau bangsal isolasi pasien Lassa.
"Kami tidak main-main dengan virus ini. Ini sangat menular sehingga kami hanya diizinkan memasuki bangsal dengan alat pelindung lengkap," jelas kepala perawat di sebuah rumah sakit di kota Owo, Funmilola Alabi.
Empat dari korban meninggal karena Lassa tahun ini adalah tenaga medis.
Virus ini belum banyak diketahui di dunia. Lassa ditemukan pada 1969 di daerah Lassa, Nigeria utara, sekitar 1.000 kilometer dari Owo. Sejak saat itu, Lassa menjadi endemik di setidaknya lima negara di Afrika Barat. Nigeria, negara paling padat di Afrika, melaporkan jumlah kasus tertinggi sampai 1.000 kasus per tahun. Tahun ini, pada Januari saja, Nigeria mecatat 211 kasus terkonfirmasi dan 40 pasien meninggal.
Menurut data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Afrika, demam Lassa menginfeksi sekitar 100.000 sampai 300.000 penduduk Afrika setiap tahun.
Orang yang terinfeksi bisa menularkan ke orang lain melalui cairan tubuh. Lassa seringkali menyebabkan keguguran dan bisa ditularkan dari ibu ke bayinya. Virus ini juga bisa berada dalam ASI sampai enam bulan.
Seperti virus lain yang menyebabkan demam berdarah yang belum ada obatnya dan mudah berkembang biak, para ilmuwan telah memperingatkan bahwa virus Lassa dapat digunakan sebagai senjata biologis.
Lassa biasanya menyebar di daerah pinggiran yang kumuh. Sumber infeksi juga berasal dari makanan yang terkontaminasi tikus.
Belum ada vaksin
Menurut ahli mikrobiologi klinis, Adebola Olayinka, penyakit ini tidak menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, sebagaimana Covid-19. Tapi dia memperingatkan hal ini bisa berubah.
"Lihat cerita Ebola," ujar ahli penyakit menular ini.
"Ini (Ebola) ada di Republik Demokratik Kongo selama puluhan tahun, tapi pada 2014 dengan cepat sampai ke Afrika Barat dan kemudian ke Inggris dan Amerika Serikat."
Olayinka mengatakan belum ada obat atau vaksin yang terbukti bisa melawan demam Lassa. Saat ini obat yang digunakan untuk mengobati penyakit ini adalah ribavirin, obat antivirus yang biasanya digunakan untuk mengobati Hepatitis C. Namun efektivitasnya untuk mencegah Lassa belum diteliti secara menyeluruh.
Diperlukan penelitian praklinis dan uji coba klinis untuk membuktikan kemanjuran obat ini. Menurut Olayinka, kurangnya penelitian terkait Lassa karena virus ini tidak menyebar di negara Barat.
"Lihat cepatnya vaksin Covid dikembangkan," ujarnya.
"Tapi jika satu penyakit menular tidak mempengaruhi negara kaya, ia tidak akan mendapat perhatian yang sama."
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kemenkes RI sudah mengirimkan vaksin Inavac ke Dinkes Sumsel.
Baca SelengkapnyaVirus DBD di Jepara menyebar cepat. Lima belas warga sudah jadi korban. Sebelas di antaranya anak-anak
Baca SelengkapnyaTjandra mengatakan, data WHO menunjukkan, ada kenaikan 255 persen perawatan Covid-19 di rumah sakit Indonesia.
Baca SelengkapnyaVirus Nipah menyebabkan dua orang meninggal dunia di India.
Baca SelengkapnyaWabah DBD yang melanda Bangladesh pada 2023 ini telah menyebabkan 1.017 orang meninggal dunia dan hampir 209.000 orang terinfeksi.
Baca Selengkapnyamengonfirmasi tren kasus mingguan Covid-19 di Indonesia kembali mengalami peningkatan.
Baca SelengkapnyaData itu berdasarkan catatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jateng.
Baca SelengkapnyaKegiatan fogging ini dilakukan untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengunjung museum di tengah tingginya kasus DBD.
Baca SelengkapnyaKementerian Kesehatan mencatat, hingga minggu ke-15 tahun 2024, terdapat 475 orang meninggal karena DBD.
Baca SelengkapnyaPasien mengembuskan napas terakhir di RS Embung Fatimah pada 18 Desember 2023.
Baca SelengkapnyaKemenkes mengajak masyarakat mencegah DBD dengan membersihkan lingkungan.
Baca SelengkapnyaPeningkatan kasus Covid-19 terlihat di Depok, Jawa Barat, dan sejumlah wilayah lainnya.
Baca Selengkapnya