Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Virus Mematikan yang Lebih Menakutkan dari Covid-19

Virus Mematikan yang Lebih Menakutkan dari Covid-19 Tenaga kesehatan di Nigeria memakai alat pelindung lengkap untuk menangani pasien Lassa. ©Femke van Zeijl/Al Jazeera

Merdeka.com - Pada saat Victory Ovuoreoyen mendengar dia terinfeksi virus Lassa, pria itu berpikir itulah akhir hidupnya. Dia hampir tidak bisa berjalan dan mengalami demam, muntah-muntah, dan diare parah. Dia dilarikan ke rumah sakit di kota Owo, Nigeria.

Selama empat hari di bangsal isolasi, bisa bisa duduk tegak di ranjang perawatan.

Dokter meyakinkan pria 48 tahun itu bahwa dia akan sembuh dari penyakit yang mirip Ebola itu. Ovuoreoyen beruntung. Walaupun 80 persen dari orang yang terinfeksi Lassa tidak sakit parah dan sebagian besar kasus tidak dilaporkan, tingkat kematian bagi pasien yang dirawat di rumah sakit 15 persen, menurut WHO. Dengan masa inkubasi angtara dua dan 21 hari, gejala parah penyakit ini bisa mulai muncul selama seminggu.

Dikutip dari Al Jazeera, Selasa (23/8), demam Lassa ini menurunkan jumlah trombosit dalam darah dan kemampuannya untuk menggumpal, menyebabkan perdarahan internal. Kegagalan organ yang fatal dapat terjadi dalam beberapa hari.

Gejala awal yang dirasakan pasien seperti sakit kepala dan nyeri otot, sakit tenggorokan, mual dan demam.

Owo di negara bagian Ondo, terletak 300 kilometer dari ibu kota Nigeria, Abuja, merupakan episentrum wabah Lassa yang muncul awal tahun ini, menyebabkan lebih dari 160 kematian. Di daerah ini, masyarakat lebih takut Lassa daripada virus corona karena di negara bagian Ondo, tercatat ada 171 kematian karena Lassa sejak 2020 dan 85 kematian akibat Covid-19, menurut data Pusat Pengendalian Infeksi dan Penelitian di rumah sakit setempat.

Tenaga kesehatan yang menangani pasien Lassa di bangsal khusus ini diwajibkan memakai hazmat, penutup kepala, masker, dan perisai wajah (face shield), serta sepatu boots karet yang telah didisenfeksi dan sarung tangan. Hanya mereka yang memakai alat pelindung lengkap yang boleh memasuki "zona merah" atau bangsal isolasi pasien Lassa.

"Kami tidak main-main dengan virus ini. Ini sangat menular sehingga kami hanya diizinkan memasuki bangsal dengan alat pelindung lengkap," jelas kepala perawat di sebuah rumah sakit di kota Owo, Funmilola Alabi.

Empat dari korban meninggal karena Lassa tahun ini adalah tenaga medis.

Virus ini belum banyak diketahui di dunia. Lassa ditemukan pada 1969 di daerah Lassa, Nigeria utara, sekitar 1.000 kilometer dari Owo. Sejak saat itu, Lassa menjadi endemik di setidaknya lima negara di Afrika Barat. Nigeria, negara paling padat di Afrika, melaporkan jumlah kasus tertinggi sampai 1.000 kasus per tahun. Tahun ini, pada Januari saja, Nigeria mecatat 211 kasus terkonfirmasi dan 40 pasien meninggal.

Menurut data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Afrika, demam Lassa menginfeksi sekitar 100.000 sampai 300.000 penduduk Afrika setiap tahun.

Orang yang terinfeksi bisa menularkan ke orang lain melalui cairan tubuh. Lassa seringkali menyebabkan keguguran dan bisa ditularkan dari ibu ke bayinya. Virus ini juga bisa berada dalam ASI sampai enam bulan.

Seperti virus lain yang menyebabkan demam berdarah yang belum ada obatnya dan mudah berkembang biak, para ilmuwan telah memperingatkan bahwa virus Lassa dapat digunakan sebagai senjata biologis.

Lassa biasanya menyebar di daerah pinggiran yang kumuh. Sumber infeksi juga berasal dari makanan yang terkontaminasi tikus.

Belum ada vaksin

Menurut ahli mikrobiologi klinis, Adebola Olayinka, penyakit ini tidak menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, sebagaimana Covid-19. Tapi dia memperingatkan hal ini bisa berubah.

"Lihat cerita Ebola," ujar ahli penyakit menular ini.

"Ini (Ebola) ada di Republik Demokratik Kongo selama puluhan tahun, tapi pada 2014 dengan cepat sampai ke Afrika Barat dan kemudian ke Inggris dan Amerika Serikat."

Olayinka mengatakan belum ada obat atau vaksin yang terbukti bisa melawan demam Lassa. Saat ini obat yang digunakan untuk mengobati penyakit ini adalah ribavirin, obat antivirus yang biasanya digunakan untuk mengobati Hepatitis C. Namun efektivitasnya untuk mencegah Lassa belum diteliti secara menyeluruh.

Diperlukan penelitian praklinis dan uji coba klinis untuk membuktikan kemanjuran obat ini. Menurut Olayinka, kurangnya penelitian terkait Lassa karena virus ini tidak menyebar di negara Barat.

"Lihat cepatnya vaksin Covid dikembangkan," ujarnya.

"Tapi jika satu penyakit menular tidak mempengaruhi negara kaya, ia tidak akan mendapat perhatian yang sama."

(mdk/pan)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Kasus Covid-19 di Sumsel Naik Drastis usai Libur Nataru, 1 Orang Meninggal
Kasus Covid-19 di Sumsel Naik Drastis usai Libur Nataru, 1 Orang Meninggal

Kemenkes RI sudah mengirimkan vaksin Inavac ke Dinkes Sumsel.

Baca Selengkapnya
Fakta di Balik Ganasnya Penularan DBD di Jepara, Kemenkes Sampai Terjunkan Tim Khusus Amati Jenis Virus
Fakta di Balik Ganasnya Penularan DBD di Jepara, Kemenkes Sampai Terjunkan Tim Khusus Amati Jenis Virus

Virus DBD di Jepara menyebar cepat. Lima belas warga sudah jadi korban. Sebelas di antaranya anak-anak

Baca Selengkapnya
Pasien Covid-19 yang Dirawat di Rumah Sakit RI Naik 255 Persen
Pasien Covid-19 yang Dirawat di Rumah Sakit RI Naik 255 Persen

Tjandra mengatakan, data WHO menunjukkan, ada kenaikan 255 persen perawatan Covid-19 di rumah sakit Indonesia.

Baca Selengkapnya
Kemenkes Sebut Virus Nipah Bisa Masuk Indonesia, Ini Alasannya
Kemenkes Sebut Virus Nipah Bisa Masuk Indonesia, Ini Alasannya

Virus Nipah menyebabkan dua orang meninggal dunia di India.

Baca Selengkapnya
FOTO: Bangladesh Dilanda Wabah DBD Paling Parah, 1.000 Orang Tewas dan Pasien di RS Membeludak
FOTO: Bangladesh Dilanda Wabah DBD Paling Parah, 1.000 Orang Tewas dan Pasien di RS Membeludak

Wabah DBD yang melanda Bangladesh pada 2023 ini telah menyebabkan 1.017 orang meninggal dunia dan hampir 209.000 orang terinfeksi.

Baca Selengkapnya
Kasus Covid-19 di Indonesia Kembali Meningkat
Kasus Covid-19 di Indonesia Kembali Meningkat

mengonfirmasi tren kasus mingguan Covid-19 di Indonesia kembali mengalami peningkatan.

Baca Selengkapnya
20.511 Balita di Jawa Tengah Terserang ISPA, Kenali Gejalanya Berikut Ini
20.511 Balita di Jawa Tengah Terserang ISPA, Kenali Gejalanya Berikut Ini

Data itu berdasarkan catatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jateng.

Baca Selengkapnya
FOTO: Berantas Nyamuk DBD, Museum Tekstil Jakarta Difogging Demi Keamanan Pengunjung
FOTO: Berantas Nyamuk DBD, Museum Tekstil Jakarta Difogging Demi Keamanan Pengunjung

Kegiatan fogging ini dilakukan untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengunjung museum di tengah tingginya kasus DBD.

Baca Selengkapnya
Kemenkes Ungkap Data Nasional: 475 Orang Meninggal Akibat DBD
Kemenkes Ungkap Data Nasional: 475 Orang Meninggal Akibat DBD

Kementerian Kesehatan mencatat, hingga minggu ke-15 tahun 2024, terdapat 475 orang meninggal karena DBD.

Baca Selengkapnya
Kemenkes Sebut Pasien Covid-19 JN.1 di Batam Meninggal Dunia
Kemenkes Sebut Pasien Covid-19 JN.1 di Batam Meninggal Dunia

Pasien mengembuskan napas terakhir di RS Embung Fatimah pada 18 Desember 2023.

Baca Selengkapnya
Bertambah 81, Kematian Akibat DBD di RI Capai 621 Kasus
Bertambah 81, Kematian Akibat DBD di RI Capai 621 Kasus

Kemenkes mengajak masyarakat mencegah DBD dengan membersihkan lingkungan.

Baca Selengkapnya
Kasus Covid-19 Naik Usai Libur Nataru, Kemenkes: Masih Level Aman
Kasus Covid-19 Naik Usai Libur Nataru, Kemenkes: Masih Level Aman

Peningkatan kasus Covid-19 terlihat di Depok, Jawa Barat, dan sejumlah wilayah lainnya.

Baca Selengkapnya