Dari produsen genting, kini Jatiwangi jadi tujuan residensi seniman
Merdeka.com - Kreativitas warga Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, mungkin layak ditiru. Sebagai wilayah penghasil genting terbesar di Jawa Barat. Selama satu dekade ini, Jatiwangi menjadi tujuan mahasiswa, seniman dalam dan luar negeri.
Tujuan mereka tentu bukan untuk membeli genting sebagai atap rumah. Melainkan mengikuti program residensi kesenian di Jatiwangi. Program residensi ini rupanya memikat banyak seniman atau mahasiswa dari luar Jatiwangi. Saat ini misalnya ada warga Korea Selatan, Polandia, dan Swiss yang sedang residensi di sini.
Residensi artinya sebuah jalur yang membuka perkembangan praktik berkesenian serta dialog baru antar para kurator, peneliti, penulis, artisan, aktivis dan seniman bersama publik. Kesempatan ini digunakan bagi mereka yang ingin menggeluti seni dengan cara berinteraksi langsung bersama warga Jatiwangi.
-
Bagaimana cara orang Sunda berbaur dengan warga lokal? Kini warganya telah hidup berbaur dengan masyarakat setempat, dan meneruskan keturunannya.
-
Dimana siswa ini ingin bertemu teman-temannya? Semoga saya dan teman-teman bisa bertemu di MTs yang sama nanti. Saya juga akan ingat selalu pesan guru-guru untuk jangan melupakan salat.
-
Kenapa seni penting untuk masyarakat? Pameran seni ini disebut sebagai momen magis ketika seni melampaui hambatan dan berbicara kepada setiap jiwa, terlepas dari latar belakang, hasrat, atau preferensi seseorang.
-
Bagaimana Andika Perkasa berinteraksi dengan masyarakat? Andika yang mengenakan pakaian ketat dan memperlihatkan otot-ototnya itu pun tampak dengan sangat ramah melayani satu persatu permintaan foto dari masyarakat.
-
Siapa yang ikut sosialisasi? Sosialisasi digelar secara hibrida yang dihadiri para eksportir dan pemangku kepentingan.
-
Bagaimana cara mengapresiasi seni? Semoga ini memicu lebih banyak minat untuk mengapresiasi seni rupa melalui sesi interaktif dengan seniman kami dan karya seni yang dipamerkan,“ katanya.
Jatiwangi tak lepas dari peran seniman yang tergabung dalam Jatiwangi Art Factory (JAF). Adalah Arif Yudhi pada tahun 2005 bersama rekan-rekannya sesama seniman, mendirikan JAF di tengah lesunya industri genting saat itu.
Saat itu ada 15 desa di Jatiwangi yang memproduksi genting dari tanah liat. Sebagai gambaran, pada 1985-1990 jumlah pabrik genting di Jatiwangi mencapai 700 pabrik dengan mempekerjakan kurang lebih 300 pekerja di setiap pabrik.
Pada masa itu, eksploitasi tanah sebagai bahan baku genting dilakukan secara besar-besaran. Saking melimpahnya produksi, banyak rumah di sekitar pabrik yang memiliki pondasi, dinding, hingga pagar terbuat dari genting.
Namun sejak kepadatan penduduk yang mencapai 90 ribu jiwa pada tahun 1985 di Jatiwangi. Lambat laun industri ini mulai mengalami penurunan. Hingga puncaknya terjadi pada saat krisis moneter tahun 1998. Jumlah pabrik pun menurun drastis menjadi 300 pabrik genting saja.
“Orang beli beras saja susah apalagi bikin rumah. Dalam kondisi itu kita di sini ternyata tidak tahu apa-apa lagi selain membuat genting,” kata Ginggi Syarif Hasyim, adik Arif Yudhi yang juga turut mendirikan JAF.
Selama ini, kata mantan Kuwu Desa Jatisura ini, masyarakat Jatiwangi tergantung pada produksi genting. Tanah hanya dipandang sebagai sumber pencaharian penghasil genting. Hingga muncul gagasan bagaimana agar tanah tak sekedar dipandang sebagai bahan genting.
Dengan gagasan tersebut, JAF melakukan pendekatan terhadap warga dengan seni. Salah satunya seni membuat alat musik dari tanah. Sedangkan pada awal pendiriannya, JAF mengundang seniman dari dalam dan luar negeri untuk melakukan performance art di Jatiwangi. Para seniman diminta turun di tengah kehidupan masyarakat.
Aktivitas seni yang dijalankan JAF diharapkan merangsang kreativitas warga. Tercatat, sejumlah seniman yang pernah melakukan residensi di Jatiwangi berasal dari Yunani, Jerman, Singapura, Amerika Serikat, Bosnia, Meksiko, Argentina dan lain-lain. Sejumlah seniman dari kiblat seni di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta sering pulang-pergi ke Jatiwangi.
Jatiwangi diakui telah membuka peta baru kesenian Indonesia. Tiap acara yang digelar JAF mendapat antusias tinggi, salah satunya Festival Musik Keramik. Acara tiga tahunan ini selalu diikuti ribuan warga mulai SD hingga ibu-ibu PKK.
JAF berharap warga Jatiwangi tidak hanya menggantungkan hidup pada genting yang sudah digeluti turun-temurun. Dengan demikian kelesuan ekonomi pasca-industri yang dampaknya sangat berat tidak terulang kembali.
(mdk/frh)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Namun diperlukan dukungan dari berbagai pihak, mencakup pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, serta masyarakat di lingkungan itu sendiri.
Baca SelengkapnyaKegiatan itu digelar untuk menumbuhkan slogan Rembang sebagai Kota Garam.
Baca SelengkapnyaKegiatan mengolah barang bekas dan memelihara ikan turut membuat anak-anak senang di sana.
Baca SelengkapnyaKampung batik merupakan sebuah nama untuk wilayah di Desa Nyalindung yang menjadikannya destinasi wisata.
Baca SelengkapnyaGibran menyatakan, anak muda yang memiliki komitmen kebangsaan harus didukung penuh.
Baca SelengkapnyaSeiring dengan perkembangan zaman, menurut mantan Gubernur Jateng itu dari tingkat SDM sudah sangat menunjukkan trend positif.
Baca SelengkapnyaDeretan ruangan tersebut juga kerap dimanfaatkan untuk menghelat beragam aktivitas seru yang berkaitan dengan bidang kreatif
Baca SelengkapnyaSeorang pemuda tepian Rawa Pening memberdayakan masyarakat dalam mengolah eceng gondok menjadi kerajinan yang punya nilai jual.
Baca SelengkapnyaPemuda di Desa BRILian Janti pilih bekerja di kampungnya daripada merantau.
Baca SelengkapnyaArt Jakarta Garden 2024 menampilkan berbagai karya seni menawan, memadukan keselarasan seni dan alam.
Baca Selengkapnya