Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Merawat kedaulatan cita rasa nusantara ala Slow Food Yogyakarta

Merawat kedaulatan cita rasa nusantara ala Slow Food Yogyakarta slow food. ©2016 Merdeka.com/hartanto rimba

Merdeka.com - Beberapa perempuan terlihat sedang asyik memasak di teras sebuah rumah berada di kompleks perumahan Pogung Baru, Sleman. Aneka bahan makanan seperti mie, jeruk nipis, udang, telur rebus, seledri, emping, dan bawang goreng tersedia di meja.

Mereka tergabung dalam komunitas Slow Food Yogyakarta. Rencananya hari itu mereka hendak membuat menu mi tradisional khas Medan, Sumatera Utara, Mie Keling.

"Berkumpul dan memasak masakan tradisional ini merupakan salah satu agenda kami yang diberi nama Pawon Ndalem," ujar salah satu anggota, Ivonne, Minggu (7/8) pekan lalu.

Pawon Ndalem, kata Ivonne, dimaksudkan melestarikan resep masakan tradisional nusantara. Semua peserta bakal diberi informasi tentang cerita di balik makanan itu dan cara membuatnya. Hal itu dimaksudkan supaya setiap peserta nantinya bisa mempraktikkan membuat masakan tradisional, dan menjelaskan kepada masing-masing keluarganya.

slow food

Menurut Ivonne, dengan menggiatkan orang-orang memasak masakan tradisional, maka akan mempertahankan cita rasa. Mereka menganggap hal itu penting buat mempertahankan kedaulatan lidah keluarga, dari gempuran penyeragaman rasa aneka makanan cepat saji.

"Kemunculan makanan cepat saji berakibat hilangnya tradisi makanan lokal, mulai dari keberagaman rasa, asal-usul, keanekaragaman makanan, dan sejarahnya," ujar Ivonne.

Selain agenda Pawon Ndalem yang mengasah keahlian memasak, perkumpulan itu berusaha menjaga keberlanjutan bahan pangan lokal. Mereka hendak memelihara dan membina hubungan baik antara penghasil, penjual, dan pengguna. Sebagai praktiknya, mereka mempunyai agenda dijuluki Sobo Pasar. Yaitu mengunjungi pasar tradisional.

Pasar tradisional mereka sambangi benar-benar merupakan pasar lokal bukan primer. Ivonne menjelaskan, pasar tradisional merupakan pasar menyediakan bahan pangan lokal sumbernya dari petani atau peternak di daerah sekitaran pasar, bukan didatangkan dari luar daerah.

"Kami berhubungan langsung dengan produsen dan konsumen. Pasar tradisional itu unik karena kadang kala tidak profit oriented. Misalkan penjual jujur kalau barangnya cacat," ucap Ivonne.

Ivonne menyatakan, pasar tradisional juga ramah terhadap lingkungan. Berbeda dengan pasar swalayan modern sering membuang bahan lokal tidak sesuai standar mereka.

slow food

"Dalam waktu dekat kita mau ke pasar Kembangan di Klaten, Jateng. Karena di sana merupakan titik bertemunya hasil bumi dari petani Jateng dan DIY. Penjualnya benar-benar orang yang punya kebun," ucap Ivonne.

Ivonne menambahkan, komunitas Slow Food Yogyakarta juga peduli pada produsen pangan lokal seperti petani dan peternak. Oleh karenanya, mereka juga mencanangkan program bernama Dolan Bareng.

"Dolan Bareng ini mengunjungi seseorang atau kelompok yang memproduksi pangan, yang mengedepankan prinsip ekologi atau berkelanjutan," lanjut Ivonne.

Dalam Dolan Bareng, mereka banyak mengunjungi produsen pangan lokal misalkan pergi ke kelompok pembuat tahu organik. Di sana mereka mempelajari apa saja bahan-bahan organik dalam pembuatan tahu, dan bagaimana mengelola limbahnya supaya tidak mencemari lingkungan.

Salah satu anggota lain, Amaliah, menjelaskan komunitas Slow Food di Indonesia terdapat di beberapa kota antara lain Yogyakarta, Jakarta, Bali, dan Solo. Perkumpulan berpusat di Italia itu didirikan dengan maksud mempertahankan makanan lokal, dari kemunculan makanan cepat saji di berbagai belahan dunia.

"Pendekatan Slow Food untuk pertanian, bahan pangan, dan keahlian memasak didasarkan atas prinsip berkualitas, bersih, dan adil," tutup Amaliah. (mdk/ary)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP