'Reklamasi membunuh kami'
Merdeka.com - Suara penolakan terkait proyek reklamasi di Teluk Jakarta sudah lama terdengar. Salah satu pihak yang paling vokal menolak keberadaan pulau buatan itu adalah nelayan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara.
Nelayan protes karena proyek reklamasi membuat tangkapan ikan maupun kerang mereka menjadi berkurang. Sebabnya, banyak ikan dan kerang mati akibat tercemar limbah proyek reklamasi.
Khusus nelayan Muara Angke, reklamasi Pulau G milik PT Muara Wisesa Pramono, anak perusahaan Agung Podomoro Land, paling mengganggu. Sebab lokasinya berada di jalur lintasan mereka biasa melaut.
-
Kenapa Plataran Menjangan fokus ke keberlanjutan? 'Kami percaya bahwa keindahan alam harus dijaga, dan melalui Plataran for the Earth, kami mengajak semua pihak, termasuk para tamu, untuk bersama-sama merawat bumi ini.'
-
Mengapa eksekusi dihentikan? Ia mengatakan, pada pertengahan abad ke-19 hukuman itu sudah dihapus, diganti dengan hukuman gantung biasa.
-
Kenapa permukiman di Jakarta Timur ditinggalkan? Dari penelusuran yang dilakukan, permukiman ini ditinggalkan penduduknya karena terlalu sering terkena banjir besar.
-
Kenapa pemukiman itu akhirnya ditinggalkan? Sayangnya, pemukiman yang padat ini harus berakhir akibat masuknya Zaman Besi. Cuaca yang berubah menjadi lebih dingin dan basah menjadikan wilayah ini dihuni oleh banyak nyamuk dan menyebabkan mereka pindah ke wilayah lain.
-
Kenapa PLTA Ketenger tidak berdampak negatif? Penempatan PLTA yang dibangun Belanda diperhitungkan dengan begitu matang sehingga tidak berdampak pada pertanian masyarakat setempat dan lingkungan sekitar.
-
Dimana letak permukiman terbengkalai di Jakarta? Baru-baru ini sebuah kawasan di wilayah Jakarta Timur yang terbengkalai terungkap, dengan deretan rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya.
"Yang tadinya bisa lurus sekarang harus muter jauh untuk sampai ke tengah," ungkap Hery, salah satu nelayan Muara Angke, saat berbincang santai dengan merdeka.com, Senin (25/4) kemarin.
Hery menceritakan, di lokasi pembangunan Pulau G, jenis ikan yang ditangkap bisa beragam. Jumlahnya pun sangat banyak. Tapi itu cerita lama, sebelum pengembang membangun pulau buatan.
"Sekarang jadi sedikit, kalau dulu bisa dapat 30 kg untuk berbagai jenis ikan, sekarang cuma 10 kg, itu juga harus nunggu lama," keluhnya.
reklamasi pulau G ©2016 merdeka.com/arie basuki
Dari biaya operasional, lanjut dia, untuk biaya solar juga lebih besar dari sebelumnya. Jika dulu hanya membutuhkan 30 liter, kini butuh 50 liter untuk sekali jalan sampai ke tengah laut.
"Karena dulu 1.000 meter dari daratan ikan sudah ada, sekarang enggak ada lagi harus ke jarak sampai 1-2 km. Itupun tangkapnya enggak langsung dapat, harus nunggu dulu agak lama," tambahnya.
Dengan tangkapan sedikit dan biaya operasional tinggi, terkadang membuat nelayan pesimis untuk melaut. "Saya ngapain melaut kalau udah banyak buang solar, eh tangkapan sedikit."
Minimnya hasil tangkapan otomatis membuat pendapatannya menurun. Padahal, Hery punya tiga anak, dua diantaranya masih bersekolah dan balita.
"Paling cuma dapat Rp 100.000, itu juga kadang kurang. Tapi ya mau gimana lagi," ucapnya lirih.
Reklamasi Teluk Jakarta ©2016 merdeka.com/arie basuki
Saat merdeka.com berkeliling di Teluk Jakarta, sempat terlihat ada kapal nelayan membantu kapal proyek reklamasi. Namun dipastikan Hery, itu bukan bagian dari nelayan Kali Adem.
"Kalau kita enggak ada, kita bersatu tolak reklamasi. Itu paling nelayan luar yang kapalnya disewa, saya dengar-dengar sewanya sampai Rp 2 juta sehari," ucap pria asal Semarang ini.
Sebenarnya, kata Hery, saat proyek reklamasi Pulau G mulai dikerjakan, para nelayan sempat ditawarkan menjadi bagian dari proyek misalnya untuk pengamanan. Namun nelayan menolak.
"Tapi waktu kemarin kita mau segel itu, kita sempat lihat juga ada nelayan yang antar-antar orang proyek. Tapi khusus Kali Adem bersatulah menolak reklamasi yang membuat hidup kami jadi susah begini," tegasnya.
Kini, Hery dan puluhan nelayan Kali Adem lainnya hanya bisa pasrah. Keputusan pemerintah melakukan moratorium reklamasi nyatanya tak berdampak banyak khususnya untuk Pulau G.
Kapal pengangkut pasir, crane, alat berat, truk masih beroperasi seperti sedia kala. Bahkan kapan nelayan yang mendekat langsung diusir petugas keamanan yang berjaga.
"Mereka biasa numpahin pasirnya malam, jadi pagi udah beres. Kita bingung entah mana yang harus kita percaya kini. Reklamasi seperti membunuh kami," pungkasnya.
(mdk/lia)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
RK percaya, selama reklamai tidak merusak lingkungan, maka hal itu menjadi sesuatu yang baik seperti dicontohkan negara maju lainnya.
Baca SelengkapnyaReklamasi pulau sampah di pesisir Jakarta Utara saat ini belum menjadi hal keharusan
Baca SelengkapnyaPembangunan PSN Eco City membuat warga Rempang berang hingga melakukan perlawanan beberapa waktu lalu.
Baca SelengkapnyaWarga asli Pulau Rempang menolak keras relokasi dan penggusuran rumah yang sudah mereka tinggali.
Baca SelengkapnyaPP Kesehatan disusun tanpa melibatkan para stakeholder yang terlibat di dalamnya.
Baca SelengkapnyaPBNU tidak ambil soal terkait tujuan investasi yang ingin dikembangkan.
Baca SelengkapnyaAdanya moratorium diharapkan dapat menertibkan para investor asing yang membangun vila.
Baca SelengkapnyaBahlil mengatakan kegiatan investasi tersebut diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Baca SelengkapnyaRaja Juli Antoni menilai Pulau Mendol, Pelalawan, Riau bisa segera dijadikan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)
Baca SelengkapnyaProyek reklamasi di teluk Jakarta berdampak pada banyak hal, salah satunya membuat hidup nelayan Muara Angke semakin susah. Berikut potretnya:
Baca SelengkapnyaBanyak desa di 3T yang belum memiliki infrastruktur jalan yang layak dan aliran listrik yang mengakibatkan membengkaknya biaya pembanggunan.
Baca Selengkapnya