Sudah keluar uang miliaran, pembeli kavling resah Anies tarik Raperda Reklamasi
Merdeka.com - Di awal bulan Desember, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tiba-tiba menarik dua raperda terkait proyek pulau buatan atau reklamasi di Teluk Utara Jakarta. Dua raperda tersebut terkait pembahasan zonasi dan tata ruang dalam proyek reklamasi.
Langkah Anies kala itu membuat sejumlah warga yang sudah membeli kavling di Pulau D gelisah. Mereka lantas mendatangi PT Kapuk Naga Indah (KNI) sebagai pengembang Pulau D.
"Tanggal 9 Desember, ada berita pertemuan terkait ditariknya raperda untuk pembahasan 2018. Kami konsumen ingin menghubungi direksi (pengembang) tapi tidak bisa karena lagi rapat. Tapi karena konsumen berpikir sudah terlanjur sediakan waktu, jadi tetap mau datang (ke kantor pengembang)," kata Fellicita, salah satu pembeli yang wajahnya ikut terekam dalam video yang beredar, Kamis (18/1).
-
Siapa yang melunasi cicilan rumahnya? Pada Selasa, 16/7/2024, Danang membagikan kabar bahwa ia senang karena berhasil melunasi cicilan rumahnya melalui unggahan di media sosialnya.
-
Kapan Danang melunasi cicilan rumahnya? Pada Selasa, 16/7/2024, Danang membagikan kabar bahwa ia senang karena berhasil melunasi cicilan rumahnya melalui unggahan di media sosialnya.
-
Siapa yang membeli rumah tersebut? Inilah bagian depan dari rumah milik Frans Faisal kakak dari Fuji dan Fadly Faisal yang baru saja resmi dibeli.
-
Siapa yang membeli tanah di bulan? Mengutip laporan HindustanTimes, Senin (4/9), pengusaha asal Jammu, Rupesh Masson (49) membeli tanah di Bulan pada 25 Agustus, dua hari setelah Chandrayaan-3 berhasil mendarat.
-
Bagaimana cara bayar cicilan kartu kredit? Sejak awal Sobat harus memperhitungkan bagaimana cara pembayaran cicilan nantinya.Usahakan agar seluruh cicilan kredit yang ditanggung tidak menghabiskan 30 persen dari pemasukan tiap bulan. Perhitungan yang tepat akan memudahkan dalam membayar cicilan tiap bulannya dan menghindari kemungkinan masuk dalam daftar debitur tercela.
-
Bagaimana Frans membayar rumah barunya? Fakta lain soal rumah ini adalah Frans ternyata membelinya dengan cash lho.
Sebenarnya, kata Fellicita, konsumen juga tidak terlalu memaksakan diri untuk bertemu manajemen.
"Kita cuma minta kepastian kapan bisa ketemu. Selama hampir satu jam kita tidak ditemui, hanya ditemui dengan perwakilan pengembang bernama ibu Cincing," jelasnya.
"Akhirnya kita dapat kepastian dari manager marketing Golf Island, Bapak Hani, dituangkan secara resmi melalui surat undangan bahwa akan diadakan pertemuan dengan direksi yang diwakili Bapak Firman Todi pada 12 Desember di kantor yang sama, Kantor Pantai Indah Kapuk sebagai pengembang properti di atas tanah reklamasi Pulau C dan Pulau D. Ada rumah, kavling, ruko, rukan (rumah kantor)," sambungnya.
Fellicita mengaku membeli kavling di Pulau D pada September 2011, dengan sistem pembayaran dicicil 36 kali dan sudah lunas 2014. Kemudian, dia juga membeli lahan di Pulau C berupa rukan dengan 29 kali cicilan.
"Jadi saya waktu itu lihat penawaran biasa ya marketing, saya tahu lewat brosur iya, iklan juga, TV juga dulu ada. 2011 awal launching. Waktu itu harga kavling untuk ukuran 370 meter persegi harganya Rp 5,2 miliar" jelasnya.
Saat merasakan ketertarikan, Fellicita mengaku sudah tanya bagaimana status lahan yang dia beli. Termasuk sertifikat Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
"Saya rasa semua konsumen akan tanya. Tapi kita kan awam. Jadi kita tanya izin sudah ada belum, jadi yang namanya marketing bilang sudah. Tapi sejalan setelah adanya moratorium itu, konsumen belajar, oh ternyata untuk reklamasi itu izinnya panjang dan pengembang belum punya izin SIPPT. Sejak ada moratorium, konsumen itu jadi tahu," jelasnya.
Dia menambahkan, pembeli juga kala itu tidak sempat menyinggung soal Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Justru, mereka tahu soal NJOP lahan di pulau reklamasi Rp 3,1 juta dari pemberitaan di media.
Terkait pemanggilannya ke Polda Metro Jaya pada Rabu (18/1) kemarin, dia menduga kuat pelapor adalah pengembang. "Sebenarnya sudah tersirat dari hasil pertemuan 12 Desember itu, ada pihak yang tersinggung dan dilaporkan. Tapi kita juga nggak tahu dilaporkannya apa," katanya.
Toh, katanya, pertemuan itu sendiri atas undangan pengembang. Dia pribadi memastikan tidak melakukan perekaman dan mengedarkan pertemuan antara sejumlah pembeli dan pengembang.
"Saya memang berbicara dengan perwakilan pengembang terkait dengan apa yang ingin kita tanyakan. Tapi hubungannya dengan medsos, kita tidak tahu. Kita baru tahu bahwa ada yang mengupload video itu, dan muka saya yang divideoin. Katanya gara-gara beredar video itu, pengembangnya merasa mengalami kerugian. Saat itu, saya tidak pegang HP atau rekam, tidak ada sama sekali. Saya hanya foto peta Pulau C dan Pulau D untuk konsumsi pribadi," jelasnya.
Sebenarnya, kata Fellicita, dalam kasus itu sebagai pembeli dia yang merasa kebingungan. Pembayaran sudah selesai, tapi akad pembelian tanah belum juga dilakukan.
"Belum makanya itu yang mau kita tanyakan, di Pulau D sudah lunas sejak 2014, jadi wajar sekali sebagai konsumen saya tanya. Dan baru tanya di akhir 2017 loh. Untuk ruko, harganya Rp 8,5 miliar satu unit, perbulan 140 juta. Dari 60 cicilan saya sudah cicil 29 kali, total terakhir cicilan Rp 4,1 miliar. Dan kondisi di sana kalau sekilas ada bangunan tapi disegel oleh gubernur terdahulu. Konsumen mulai mencari tahu. Nah ternyata itu belum sampai pada SIPPT, zonasinya saja pun belum dibahas," beber dia.
Atas kejadian yang dia alami, dia sungguh merasa kebingungan. Bagaimana mungkin dia yang meras melaksanakan haknya sebagai pembeli malah dipanggil polisi sebagai saksi.
"Kok dipanggil sebagai saksi? Pelapor siapa? Terlapor siapa? Toh kita cuma mau nanya hak kita. Tapi ini kan belum pemeriksaan jadi saya belum bisa ngomong banyak. Karena pemeriksaan ditanya apa saya belum tahu. Hanya ada nama ibu Lenny," katanya.
Ditambahkan kuasa hukumnya, Kamilus Ulu, kuasa hukum Fellicita, menambahkan, kliennya diperiksa sebagai saksi yang hingga kini pelapornya belum jelas. Selain Felli, ada beberapa orang yang juga diperiksa.
"Waktu itu pembeli ingin bertemu pengembang mengenai kondisi saat ini. Tapi, pengembang belum sempat menjelaskan dan sudah menunggu lama agak kesal. Mereka ingin dipertemukan untuk menyampaikan aspirasi untuk masalah perizinan di sana. Sebab investasi sudah besar. Rata-rata 3 miliar. Mereka gelisah," katanya yang mengaku dikuasakan oleh empat pembeli.
Informasi yang didapat, kliennnya dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik. "Padahal yang buat dan menyebarkan video bukan Bu Fellicita.
"Kami tidak tahu yang menyebar. Yang protes saat itu juga banyak. Padahal kalau kita pegang Pergub 88 tahun 2008, di pasal kalau launching minimal ada bukti kepemilikan tanah, sertifikat. HGB baru dikeluarkan 2017 oleh BPN. Tapi launching sudah dari 2011. Itu kan mereka melanggar. Begitu pembeli menanyakan hak dan divideokan, malah dijadikan saksi ke Polda. Bahkan merasa dirugikan," jelas dia.
(mdk/lia)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
JK mengungkapkan, lahan itu dikuasai Prabowo sejak 2004 saat JK baru menjabat Wakil Presiden.
Baca SelengkapnyaKorban sempat menantang rentenir untuk melakukan sumpah mubahalah di depan majelis hakim.
Baca SelengkapnyaSoal pembelian rumah itu diungkapkan saksi yang juga Direktur PT Inti Gria Perdana, Permadi Indra Yoga.
Baca SelengkapnyaRumah warga dibongkar dalam proyek pembangunan jalan provinsi di IKN.
Baca SelengkapnyaModus pelaku memberi uang muka Rp10 juta kepada tiap petani dan meminta mereka menyerahkan sertifikat tanah yang kemudian dibaliknamakan dan diagunkan ke bank.
Baca SelengkapnyaKR mengklaim uang yang dimintanya pada AN untuk kepentingan adat dan budaya.
Baca SelengkapnyaSeorang penjual martabak yang membeli rumah dengan uang koin buka suara, kumpulkan koin selama 3 tahun dan tadinya akan dipakai beli mobil
Baca Selengkapnya