Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Wihara Toasebio, saksi bisu pembantaian etnis Tionghoa di Jakarta

Wihara Toasebio, saksi bisu pembantaian etnis Tionghoa di Jakarta Wihara Toasebio. ©2016 Merdeka.com

Merdeka.com - Bangunan tua di Jalan Kemenangan III Glodok Taman Sari Jakarta Barat (dahulu Jalan Toasebio) ini masih kokoh berdiri. Sosok naga gagah menaungi setiap ujung atapnya. Tampak pula sebuah bedug merah berukuran satu meter tergantung di sebelah kanan depan bangunan.

Warna merah menyala hampir menyelimuti seluruh tembok bangunan. Berada sekitar sepuluh meter dari kelokan pertama Kawasan Petak Sembilan, Wihara Dharma Jaya Toasebio merupakan tempat ibadah umat Buddha tertua di wilayah ini.

Toasebio sendiri adalah gabungan dari dua kata yakni Toase yang berarti pesan dan Bio adalah kelenteng. Sehingga dimaksudkan kelenteng ini menghormati pesan yang dibawa dari China. Tidak hanya ajaran Terawada, Terayana juga menjadi satu di tempat ini.

wihara toasebio

Wihara Toasebio ©2016 Merdeka.com

Aroma asap hio tercium hingga ke sudut ruangan. Doa–doa dipanjatkan para pengunjung di setiap altar untuk Dewa Dewi. Terdapat 18 altar di wihara ini dengan masing-masing fungsi yang berbeda. Angka 1 hingga 18 pun telah dituliskan di setiap altar guna mempermudah pengunjung. Tampak seorang pria lanjut usia kembali berdoa dengan khusyu setelah sedikit tertatih berpindah ke altar nomor 8.

Bangunan dengan luas 1.324 meter persegi ini awalnya dimiliki oleh seorang tuan tanah dengan marga Tan, kemudian dihibahkan ke Yayasan Dharma Jaya Toasebio setelah turunan ke empat. Dengan jumlah pengurus 38 orang.

Wihara ini ternyata mempunyai sejarah yang panjang. Melekat di dalamnya tragedi Angke yang merupakan pembantaian kolonial Belanda terhadap etnis Tionghoa dan aksi pembakaran massal pada tahun 1740 silam.

"Wihara ini dulu pernah dibakar Belanda tahun 17-an kemudian dibangun kembali tahun 1751, tertulis juga di prasasti," ujar Hartanto Wijaya salah satu pengurus tertua di wihara baru-baru ini.

Pria dengan perawakan gagah bermata sipit ini juga menggambarkan kengerian saat itu. Cerita tersebut diketahuinya secara turun temurun.

wihara toasebio

Wihara Toasebio ©2016 Merdeka.com

"Etnis Chinese dibunuh di Kali Angke. Etnis Chinese semua kena, dibantai dan dibuang ke kali. Kemudian kali menjadi merah karena banyaknya darah. Banyak (badan) dipotong lalu dibuang, dipotong lalu dibuang."

dengan kedua tangan menyilang seperti memotong, Hartanto menjelaskan kejadian itu. "Alasannya politik. Kurang lebih sama dengan kerusuhan tahun 1998," tambanya.

Menurut catatan Hembing Wijayakusuma dalam bukunya Pembantaian Massal, 1740 : Tragedi Berdarah Angke, Tragedi tersebut menyebabkan sepuluh 10.000 etnis Tionghoa tewas secara tragis karena pembantaian di luar batas-batas perikemanusian oleh VOC. Warga etnis Tionghoa ditembak, ditusuk, bahkan disembelih baik laki-laki, perempuan, anak-anak, bayi atau perempuan yang sedang menyusui. Seluruh rumah dan pusat perdagangan digeledah dan dibakar.

Lilin merah dari ukuran kecil seperti spidol hingga besar dengan diameter sekitar lima sentimeter menyala hampir di setiap sudut ruangan wihara. Aksara Mandarin juga terlihat mendampingi setiap altar. Ada yang berbeda antara bangunan depan dan belakang wihara terutama di bagian langit-langitnya.

Menurut penuturan Hartanto, ornamen di bagian depan dengan warna merah lebih gelap dari bagian belakang merupakan ornamen asli sejak wihara berdiri. Ukiran kayu melingkar khas Tionghoa di sela lubang tersebut tidak ikut terbakar saat tahun 1740 lalu. Juga empat tiang kayu penyanggah bangunan tengah, masih asli dan tidak pernah diganti.

"Tidak kena bakar, rayap juga tidak suka. Kayu rusak banyak bawahnya keropos. Jadi dicor dan dibuat ornamen naga melingkar," sambil tangannya memegang ornamen badan naga hijau tua yang melingkar.

Dia juga menambahkan ciri yang membedakan wihara yang sudah berumur tua dari letak wihara. Ciri itu antara lain wihara yang berdekatan dengan pasar, sungai atau laut. Hal tersebut dikarenakan etnis Tionghoa yang merapat ke Jakarta melewati sungai–sungai dan membuat tempat untuk berdoa.

(mdk/cob)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Mengunjungi Klenteng Boen Bio Surabaya, Saksi Perlawanan Orang Tionghoa kepada Kolonial Jepang dan Belanda
Mengunjungi Klenteng Boen Bio Surabaya, Saksi Perlawanan Orang Tionghoa kepada Kolonial Jepang dan Belanda

Klenteng ini jadi saksi masa kejayaan orang Tionghoa di Kota Pahlawan

Baca Selengkapnya
Lintasi 3 Provinsi, Ini Fakta Kali Angke Sungai yang Melegenda di Jakarta
Lintasi 3 Provinsi, Ini Fakta Kali Angke Sungai yang Melegenda di Jakarta

Ini fakta-fakta seputar Kali Angke yang bersejarah di Jakarta.

Baca Selengkapnya
Tragedi Berdarah di Kampung Rawagede, Ratusan Rakyat Sipil Jadi Korban Militer Belanda
Tragedi Berdarah di Kampung Rawagede, Ratusan Rakyat Sipil Jadi Korban Militer Belanda

Penyerangan di Rawagede ini dicap sebagai bagian dari kejahatan perang.

Baca Selengkapnya
Kejinya Pasukan Belanda di Aceh Bunuh Warga Satu Desa, 1 Anak Kecil Disisakan Ini potretnya
Kejinya Pasukan Belanda di Aceh Bunuh Warga Satu Desa, 1 Anak Kecil Disisakan Ini potretnya

KIsah pembantaian masyarakat Aceh oleh penjajah Belanda.

Baca Selengkapnya
Mengunjungi Liem Heritage Rembang, Saksi Sejarah Perjuangan Rakyat Tionghoa Lawan VOC
Mengunjungi Liem Heritage Rembang, Saksi Sejarah Perjuangan Rakyat Tionghoa Lawan VOC

Museum itu bisa menjadi destinasi wisata edukasi baru di Rembang

Baca Selengkapnya
Sejarah Indonesia: Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan, Korbannya hingga 40.000 Jiwa
Sejarah Indonesia: Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan, Korbannya hingga 40.000 Jiwa

Peristiwa tragis ini berlangsung antara Desember 1946 hingga Februari 1947.

Baca Selengkapnya
Mengenang Operasi Pembantaian Westerling, Tindakan Brutal Tentara Belanda di Sulawesi Tahun 1947
Mengenang Operasi Pembantaian Westerling, Tindakan Brutal Tentara Belanda di Sulawesi Tahun 1947

Westerling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, tanpa basa-basi mereka langsung membuat teror dan mimpi buruk bagi masyarakat setempat.

Baca Selengkapnya
Mengenang Tragedi Rumoh Geudong, Tindak Pelanggaran HAM Berat Masa Konflik Aceh
Mengenang Tragedi Rumoh Geudong, Tindak Pelanggaran HAM Berat Masa Konflik Aceh

Peristiwa kelam ini cukup memberikan luka mendalam bagi masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI di era konflik Aceh.

Baca Selengkapnya
Dulu Rumah Tua Peninggalan Belanda Ini Jadi Tempat Penyiksaan oleh Tentara Jepang, Begini Penampakannya Sekarang
Dulu Rumah Tua Peninggalan Belanda Ini Jadi Tempat Penyiksaan oleh Tentara Jepang, Begini Penampakannya Sekarang

Konon tempat ini menjadi tempat penyekapan, penyiksaan, sekaligus pemerkosaan para wanita oleh tentara Jepang.

Baca Selengkapnya
Cerita di Balik Taman Makam Pahlawan Dreded Bogor, Dulu Jadi Saksi Kejamnya Eksekusi Pasukan Belanda
Cerita di Balik Taman Makam Pahlawan Dreded Bogor, Dulu Jadi Saksi Kejamnya Eksekusi Pasukan Belanda

Penamaan "Dreded" konon berasal dari bunyi senapan Belanda yang ditembakan secara membabi buta.

Baca Selengkapnya
Sosok Pong Tiku, Pemimpin Asal Bugis yang Melawan Kolonial Belanda Terlama di Sulawesi Selatan
Sosok Pong Tiku, Pemimpin Asal Bugis yang Melawan Kolonial Belanda Terlama di Sulawesi Selatan

Putra penguasa Pangala ini memimpin masyarakat di Tanah Toraja untuk melawan kolonial Belanda dalam rentang waktu yang cukup lama.

Baca Selengkapnya
Sejarah Hari Bakti TNI AU yang Dirayakan Setiap 29 Juli
Sejarah Hari Bakti TNI AU yang Dirayakan Setiap 29 Juli

Peringatan ini bertujuan mengenang dua peristiwa yang terjadi dalam satu hari.

Baca Selengkapnya