Kisah Ibu Luthfi, Didik Anak Down Syndrome hingga Tembus Perguruan Tinggi Negeri
Merdeka.com - Rabu (15/12) siang, Ibu Luthfi Fatmawati (47) baru pulang mengajar dari sekolah. Namun ia tak punya waktu untuk istirahat. Ia harus membimbing anaknya, Fithrunnada Salma Shabrina (21) mempelajari materi kuliah yang dikirim dosennya.
Sementara itu Salma sudah berada di depan layar komputer. Dia tampak sedang mempelajari materi kuliah tersebut. Ibu Luthfi menempatkan diri di samping Salma dan memberi penjelasan atas materi yang coba dipahami anaknya.
“Ini dasar hukum yang mengatur tentang disabilitas. Yaitu undang-undang nomor berapa?” tanya Ibu Luthfi pada Salma.
-
Bagaimana cara mendukung anak saat menghadapi kesulitan? Orangtua harus menjadi pembimbing yang memberikan dukungan saat anak menghadapi hambatan, bukan mengontrol seluruh aspek kehidupannya.
-
Mengapa anak selebritis berkebutuhan khusus bisa berkembang? Meskipun pernah di-bully oleh teman-temannya dan mengalami depresi, cinta orang tua yang besar membuat Fasha tumbuh menjadi remaja yang tangguh.
-
Apa yang membuat disleksia menjadi tantangan? Disleksia dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek kehidupan individu yang mengalaminya.
-
Bagaimana anak selebritis dengan disleksia berkembang? Mengidap disleksia sejak kecil, Deddy Corbuzier tidak menyerah. Ia merawat Azka Corbuzier dengan penuh cinta, dan kini Azka menjadi anak yang hebat dengan banyak prestasi selama sekolah.
-
Siapa yang punya anak cerdas? Menjadi orangtua tentunya menginginkan anak yang cerdas dan memiliki potensi besar.
-
Siapa yang memerlukan dukungan pendidikan? Kurang Dukungan dalam Pendidikan Ketidakterlibatan orangtua dalam pendidikan anak, baik secara langsung maupun tidak, dapat mengganggu kemajuan intelektual mereka. Anak-anak memerlukan dukungan, seperti bimbingan belajar, perhatian terhadap prestasi akademik, serta akses terhadap fasilitas pendidikan yang baik.
“Nomor 8 tahun 2016,” jawab Salma pelan.
“Jadi dalam undang-undang ini, orang-orang disabilitas adalah mereka yang mengalami keterbatasan fisik, ada yang tangan dan kakinya putus, ada juga yang memahami pelajaran sulit, semuanya diatur dalam undang-undang ini,” terang Ibu Luthfi pada putri kesayangannya itu.
Ibu Luthfi membimbing Salma mengerjakan tugas kuliah©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Ibu Luthfi mengatakan, sebagai seorang penyandang disabilitas Down Syndrome, Salma sering kali sulit dalam menyerap materi kuliah. Maka saat Salma ada kelas kuliah online, Ibu Luthfi harus turun tangan ikut menjelaskan materi yang diberikan.
Dalam menjelaskan materi pada Salma, Ibu Luthfi harus memaparkan materi dengan bahasa yang lebih sederhana. Hal ini dikarenakan keterbatasan daya paham yang ia alami, Salma tidak bisa memahami penjelasan dengan kalimat-kalimat yang panjang serta teori-teori yang rumit.
“Misalnya kemarin ada materi keislaman soal tingkatan hadist. Ada Hadist Shohih, Hasan, dan Dhoif. Tapi kalau untuk Salma kan definisinya sulit dimengerti. Saya jelaskan saja ke dia kalau Hadist Shohih itu yang paling bagus, terus Hadist Dhoif yang paling jelek. Jadi sesederhana itu,” ujar Ibu Luthfi.
Ibu Luthfi bercerita, saat melahirkan Salma, bayinya itu tampak seperti anak-anak normal pada umumnya. Namun pada usianya yang menginjak tiga bulan, Salma sempat mengalami insiden di mana dia jatuh dari atas tempat tidur sebanyak dua kali dalam rentan waktu seminggu.
Pada usianya yang menginjak tujuh bulan, Ibu Luthfi mulai mencurigai kelainan yang ada pada Salma karena pada usia itu dia masih belum bisa duduk. Setelah konsultasi ke dokter, ketahuanlah bahwa Salma terkena Down Syndrome. Dokter waktu itu mengatakan bahwa kelainan itu tidak bisa disembuhkan.
“Sebagai manusia biasa, mendengar seperti itu saya syock juga. Ya Allah, kenapa anak saya seperti ini? Tapi mungkin ini jawaban Allah seperti itu. Saya diberi amanah untuk mendidik anak yang kurang sempurna,” ujar Ibu Luthfi.
Ibu Luthfi tak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Mengetahui Salma menyandang Down Syndrome, dia langsung mencari tahu soal jenis kelainan yang dialami anaknya itu. Ia kemudian berlangganan koran dan juga membeli buku-buku seputar anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang terkait dengan Down Syndrome.
“Dari buku-buku itu saya mendapat banyak contoh para ibu yang berhasil. Walaupun anak Down Syndrome itu punya banyak kekurangan, tapi setiap dari mereka punya sisi kelebihan. Kelebihan itulah yang digali,” ungkapnya.
Ibu Luthfi membaca buku-buku terkait cara mendidik anak berkebutuhan khusus©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Waktu Salma menginjak usia balita, Ibu Luthfi juga harus mendampingi anaknya menjalani terapi setiap dua kali seminggu untuk melatih syaraf motoriknya yang lemah. Belum lagi saat menginjak usia 2-3 tahun, kondisi fisik Salma begitu rentan terkena berbagai jenis penyakit. Waktu itu Salma mengidap penyakit bronkitis.
Menginjak usia delapan tahun, Salma terkena gangguan amandel. Selama masa-masa itulah Ibu Luthfi harus bolak-balik membawa Salma kontrol ke rumah sakit. Selain untuk berobat, kesempatan bertemu dokter Ia manfaatkan untuk konsultasi mengenai perkembangan Salma.
“Tapi waktu itu dokternya malah bilang gini, ’Bu, anaknya ibu ini pintar, lho. Tolong dididik ya, bu.’ Saya heran kok anak berkebutuhan khusus dibilang pintar. Waktu itu saya memang belum tahu kelebihan apa yang dimiliki Salma,” tutur Ibu Luthfi.
Perjuangan Ibu Luthfi dalam merawat Salma dari kecil hingga besar bukannya tanpa pengorbanan. Menyandang gelar sebagai seorang Sarjana Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, setelah lulus kuliah ia merintis karier sebagai seorang guru SMK. Namun demi merawat Salma, ia harus resign dari pekerjaannya itu.
“Waktu itu tahu kondisi anak saya seperti itu, saya nggak kepikiran untuk ngajar lagi. Mungkin ijazah saya sudah nggak berguna,” ujarnya.
Namun ketika Salma sudah masuk sekolah dasar, Ibu Luthfi mendapat tawaran dari temannya untuk kuliah lagi demi memperoleh sertifikasi guru Sekolah Luar Biasa (SLB).
“Sebenarnya motivasi saya waktu itu hanya ingin tahu ilmunya saja. Soalnya bisa menjadi bekal saya dalam mendidik Salma. Tapi terus akhirnya saya masuk SLB, dan sejak itu saya keterusan ngajar sampai sekarang,” ujar Ibu Lutfi.
Beberapa buku bahan referensi Ibu Luthfi©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Dalam mendidik Salma, Ibu Luthfi tidak pernah memperlakukannya secara spesial. Bahkan saat sudah waktunya Salma bersekolah di usianya yang menginjak 8 tahun, ia memasukkan anaknya itu ke sekolah umum.
“Waktu itu saya masukkan dia ke MI (Madrasah Ibtida’iyah). Kenapa MI? Karena sejak kecil Salma itu punya kelebihan suka membaca Al-Qur’an. Bahkan dia kalau baca Al-Qur’an dari Subuh sampai jam 9 pagi itu betah lho,” kata Ibu Lutfi.
Hal itu pula yang ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sama seperti anak-anak lainnya, Ibu Luthfi mengajarkan Salma untuk mencuci baju sendiri, menyetrika dan melipat baju sendiri, menyapu rumah, dan pekerjaan rumah lainnya.
Karena cara mendidiknya itu, Ibu Luthfi mendapat pandangan kurang baik dari keluarganya. Menurut keluarganya, Ia memperlakukan Salma terlalu keras. Tapi Ibu Luthfi tetap ngotot mendidik anaknya sama seperti anak-anak normal.
“Neneknya memandang Salma diperlakukan seperti itu kayak nggak terima. Bagi saya, kalau Salma mampu melakukannya kenapa tidak? Jadi saya latih mandiri sejak kecil biar nggak terlalu manja. Kalau dia dimanjakan, belum tentu dia bisa mengerjakan pekerjaan rumah seperti sekarang,” ujar Ibu Luthfi.
Hal tersebut juga Ia lakukan dalam mendidik Salma di bidang akademis. Tak jarang Ibu Luthfi juga mempertanyakan apakah cara yang Ia tempuh sudah sesuai dengan kemampuan sang anak.
"Sejak dari awal itu saya berpikir, apakah saya mendzolimi anak saya? Apakah saya terlalu memaksakan anak saya di akademis? Soalnya dia dulu minatnya di keterampilan. Tapi ya sudah jalani saja,” tambahnya.
Selain itu, Ibu Luthfi juga mengajak Salma bersosialisasi dengan masyarakat di kampungnya. Saat ada arisan atau pengajian ibu-ibu, Ibu Luthfi selalu mengajak anaknya berbaur dengan para ibu lainnya.
Begitu pula saat Ibu Luthfi pergi berbelanja baik ke toko maupun ke pasar, dia selalu mengajak Salma. Bahkan saat Bulan Ramadhan Salma ia dibiarkan berbaur dengan teman-teman seusianya mengaji di masjid.
Di sela kesibukannya merawat Salma, Ibu Luthfi juga merupakan pengajar TPA©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Ibu Luthfi menyadari, masih banyak masyarakat di sekitarnya yang memberi stigma negatif terhadap anaknya. Terlebih lagi saat masih kecil dia sering di-bully oleh teman-temannya. Stigma orang-orang terhadap anak disabilitas seperti Salma itu terkadang membuat hati Ibu Luthfi tersakiti.
“Sebagai manusia biasa saya ada rasa ‘glek’ gitu ya kalau ada orang bisik-bisik, lihatin, mencibir Salma di belakang maupun di depan saya. Kalau bagi saya, oh berarti mereka belum tahu. Suatu saat pasti tahu,” ujar Ibu Luthfi.
Perjuangan Bimbing Anak Down Syndrome Kuliah di Perguruan Tinggi
Sejak kecil, perhatian Ibu Luthfi dalam mendidik Salma adalah pada kemampuan membacanya. Selain membaca Al-Qur’an, Ibu Luthfi melatih Salma membaca buku-buku lainnya. Kemampuan membacanya ini terus terasah hingga ia pernah juara 1 lomba membaca puisi khusus anak difabel di tingkat provinsi.
Kemampuan inilah yang membuat Ibu Luthfi diminta memberikan testimoni pada acara Hari Down Syndrome 2021 yang diselenggarakan oleh POTADS (Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome). Pada acara itu, ternyata banyak orang tua anak Down Syndrome lain yang heran karena baru tahu kalau anak-anak itu ternyata juga bisa membaca dan menulis. Mereka pun meminta Ibu Luthfi memberi tips bagaimana caranya agar anak mereka bisa seperti Salma.
“Saya bilang saja, maaf ya Bu, mungkin kita nggak bisa memaksakan pada anak kita karena anak itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing,” ujar Ibu Luthfi waktu itu.
“Saya khawatir para orang tua itu terobsesi dengan anak saya. Nanti anaknya jadi korban kan kasihan. Padahal masing-masing anak punya kelebihan masing-masing dan bisa dikembangkan,” tambahnya.
Ibu Luthfi mendampingi Salma membuat kerajinan manik-manik ©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Namun karena kemampuan membaca dan menulis yang dimiliki Salma itulah dia didorong oleh POTADS untuk masuk Perguruan Tinggi. Selain itu mereka juga berharap kalau Salma berhasil tembus Perguruan Tinggi, nantinya bisa menjadi penggrebrak bagi orang tua lain kalau ternyata anak Down Syndrome juga bisa kuliah.
Atas saran itu, Ibu Luthfi menyetujuinya. Awalnya dia mengikuti penjaringan siswa SLB untuk masuk ke sebuah universitas negeri yang ada di Yogyakarta. Waktu itu Salma tidak keterima karena intelektualnya dianggap terlalu lemah.
“Karena itu saya agak malas waktu disuruh daftar lagi. Tapi waktu itu ditelpon Pak Ludy (pengurus POTADS), dia bilang, ’Bu, sudah daftar di UIN?' Akhirnya saya coba daftar lagi,” ujar Ibu Luthfi.
Untuk bisa masuk UIN Sunan Kalijaga, pertama-tama Salma diuji membaca Al-Qur’an. Kemudian ada tes hafalan surat-surat pendek.
Setelah itu tes berikutnya adalah ujian wawancara untuk mengetahui kesiapan orang tua dalam memasukkan anaknya ke bangku perkuliahan.
“Ibu, apakah ibu siap kalau nanti anak ibu masuk di perguruan tinggi? kan kalau di kampus ini teman-temannya anak normal semua. Apakah ibu siap?” tanya panitia penguji pada Ibu Luthfi.
“Kalau saya ya bismillah. Biar sesuai kemampuannya saja. Kalau dia bisa bertahan di UIN saya Insya Allah akan selalu mendampingi,” jawab Ibu Luthfi.
“Maaf ya, bu. Karena anak ibu menjadi satu-satunya yang Down Syndrome, mungkin ini akan ada trial and error. Jadi kami belum memastikan ke depannya nanti seperti apa,” jelas Ibu Luthfi menirukan penjelasan panitia seleksi kalaitu.
Mendengar penjelasan panitia, Ibu Luthfi pun menyanggupi hal itu. Beberapa hari kemudian, hasil tes keluar dan Salma dinyatakan lolos.
Di UIN Sunan Kalijaga sendiri ada lembaga khusus bernama Pusat Layanan Difabel (PLD) yang membuka kesempatan anak-anak difabel untuk berkuliah. Sebelum masuk di bangku perkuliahan, Ibu Luthfi berkonsultasi dulu pada lembaga itu tentang jurusan yang cocok diambil Salma.
Dari pihak PLD, Salma diarahkan untuk masuk ke Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial (IKS). Mereka menjelaskan dengan masuk Jurusan IKS, ke depan Salma punya prospek kerja seperti melayani orang-orang di panti.
Belum lagi ke depannya kaum difabel seperti Salma akan lebih diperhatikan instansi pemerintah karena sekian persen dari total pegawainya harus mengakomodir kaum difabel. Mendengar penjelasan itu, Ibu Luthfi semakin mantap memasukkan anaknya ke perguruan tinggi.
Salma mengerjakan tugas kuliah didampingi oleh Ibu Luthfi ©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Dalam praktiknya, Salma masih butuh pendampingan saat mengikuti perkuliahan. Sejak awal, Ibu Luthfi harus menghubungi dosen pengampu dan ketua kelas tentang kondisi anaknya.
Untungnya, banyak teman-teman kuliah dan dosen yang mengerti tentang kondisi Salma. Setiap ada tugas kelompok, Salma selalu diberi bagian tugas yang paling mudah. Begitu pula saat ujian kelas, beberapa dosennya membuatkan soal ujian khusus bagi Salma.
Namun pada waktu awal-awal kuliah, Ibu Luthfi harus mendampingi penuh Salma dalam mengikuti sesi kuliah online. Bahkan karena saking banyaknya tugas, sering kali dia-lah yang harus ambil alih mengerjakan tugas-tugas Salma. Bahkan pernah suatu hari saat Ujian Tengah Semester (UTS), Ibu Luthfi yang harus mengerjakan soal-soal ujian karena di waktu bersamaan Salma lebih memilih ikut acara lain.
“Jadi sifat kekanak-kanakan khas anak Down Syndrome itu masih ada pada Salma. Waktu itu ada acara diklat pelatihan tata boga di tempat lain. Jadi kalau dia bilang ‘nggak mau, aku mau ikut yang boga saja,’ ya sudah. Kita kan nggak bisa memaksa, to. Akhirnya ibunya yang harus mengerjakan,” ujar Ibu Luthfi sambil terkekeh.
Sosok Ibu di Mata Salma
Ibu Luthfi dan Salma, buah hatinya tercinta ©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Menjelang petang, Salma baru saja menyelesaikan tugas kuliahnya. Biasanya di sela-sela waktu luang, dia dan ibunya membuat kerajinan tangan seperti gelang, kalung, maupun aksesoris lainnya yang terbuat dari manik-manik.
“Salma itu senang kalau saya ajak ke Toko Petra sama Jolie. Di sana jual barang-barang untuk keterampilan perempuan. Itu ntar dibuat manik-manik, pita, pokoknya aksesoris perempuan. Kalau libur saya ajak ke sana. Nanti di rumah dibuat kerajinan,” ujar Ibu Luthfi.
Namun sore itu Salma menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan Merdeka.com tentang sosok ibu baginya. Salma sempat menceritakan dan mengungkapkan perasaannya saat suatu hari ibunya mengalami kecelakaan.
“Dulu pernah diceritain sama tetangga dari sini katanya ibu habis kecelakaan di Jalan Imogiri,” ujar Salma
“Waktu ibu kecelakaan perasaan Mbak Mamah gimana,” tanya ibunya. “Mbak Mamah” adalah panggilan Ibu Luthfi terhadap Salma.
“Sering sedih, terus sama tetangga nengok ibu,” jawab Salma pelan dan lirih.
“Ibu galak nggak? Ibu sering marahi Mbah Mamah nggak? Kalau ibu marah-marah mbak Mamah senang tidak?” timpal Ibunya.
“Tidak,” jawab Salma
“Terus kalau biar ibu nggak marah-marah Mbak Mamah harus ngapain?” tanya Ibu Luthfi.
“Meminta maaf.” jawab sang anak.
Tulisan ini dibuat khusus untuk memperingati Hari Ibu Sedunia 2021
Teks: Shani Rasyid
Foto: Nurul Diva Kautsar (mdk/shr)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berikut kisah mahasiswa difabel yang menjadi lulusan terbaik dan tercepat di kampusnya.
Baca Selengkapnya"Gue Walvenardo. Gue anak berkebutuhan khusus, autism masih bisa bertahan hidup di dunia yang begitu keras," ujar pria ini.
Baca SelengkapnyaBerikut cerita seorang Ibu yang mengaku harus belajar lagi dari nol meski lulusan IPK nyaris sempurna.
Baca SelengkapnyaKeterbatasan fisik tak jadi alasan untuk tetap jadi polwan, siswi Sepolwan asal Bangka Belitung ini curi perhatian.
Baca SelengkapnyaTak ada mimpi yang terlalu mustahil jika semangat dan doa dari orang tersayang selalu menyertai.
Baca SelengkapnyaKini ia sedang mencari beasiswa lain untuk biaya hidup di Jogja
Baca SelengkapnyaPerjuangan keras harus ia lalui untuk bisa masuk di salah satu kampus terbaik di Indonesia itu.
Baca SelengkapnyaNur Fatia tinggal melangkah satu tahapan lagi untuk mewujudkan cita-citanya menjadi polisi wanita (polwan).
Baca SelengkapnyaIa berpegang pada prinsip bahwa para difabel harus memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya
Baca Selengkapnya"Orang miskin gak usah macem-macem pakai kuliah segala" kata-kata hinaan dari seseorng yang memacu semangatnya.
Baca SelengkapnyaKini, Fatoni disibukkan dengan kegiatan mengajar Qori' di 22 lembaga TPQ maupun Pondok Pesantren di wilayah Kecamatan Pasirian dan Candipuro.
Baca SelengkapnyaKisah perjuangan seorang wanita dari kecil berjualan demi memenuhi kebutuhan hidup. Hingga kini telah sukses memiliki toko sendiri.
Baca Selengkapnya