Mengenal "Karlak", Budaya Mengutil Ikan Ala Masyarakat Nelayan Pantura
Merdeka.com - Daerah pesisir pantai utara Jawa (Pantura) merupakan daerah yang panas. Di daerah itu, banyak warganya yang berprofesi sebagai nelayan.
Setelah melaut, biasanya para nelayan itu mengumpulkan tangkapan ikannya di tempat pelelangan. Sebelum dikirim ke pelelangan, biasanya muatan ikan yang ada di kapal dibongkar dulu di pelabuhan.
Di sanalah kadang banyak ikan yang berjatuhan. Ikan-ikan yang berjatuhan itu terkadang dipungut oleh para pengutil yang tidak bertanggung jawab. Para pengutil inilah yang biasa disebut orang-orang pantura dengan istilah “karlak”.
-
Mengapa pelikan tersedak ikan? Meskipun mungkin terdengar lucu, situasi tersebut menjadi kritis ketika ikan itu tersangkut dan sulit untuk dikeluarkan.
-
Apa bahaya ikan kaleng? Tan menambahkan bahwa ikan kaleng biasanya memiliki perbedaan rasa dibandingkan dengan ikan segar. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa pengemasan ikan kaleng yang tidak sesuai atau sudah kedaluwarsa dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan. Dia menekankan pentingnya perhatian pemerintah terhadap risiko botulinum toxin atau racun botulinum.
-
Siapa yang menemukan bangkai kapal? Para penyelam angkatan laut tak sengaja temukan kapal karam berusia 2.200 tahun yang berada di sepanjang pantai Kroasia.
-
Bagaimana bangkai kapal ditemukan? Para ahli telah menemukan total 10 kerajinan yang tenggelam, berasal dari Perang Dunia II hingga 3000 SM dengan menggunakan puisi tersebut.
-
Ikan Kapal Burak itu apa? Kuliner ini diolah dari kepala ikan manyung yang dimasak dengan kuah santan dan asam-asaman.
-
Di mana bangkai kapal ditemukan? Temuan itu berlokasi di sekitar Pulau Kasos.
Melansir dari Indonesia.go.id, keberadaan “karlak” di kawasan pantura ini sebenarnya cukup meresahkan. Tiap kali bongkaran ikan, jumlah para pengutil yang kebanyakan berasal dari kalangan “emak-emak” itu biasanya sampai 50-100 orang.
Mereka biasanya datang dengan membawa ember plastik dan menghargai ikan hasil curiannya dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per satuannya. Lalu bagaimana sepak terjang para “karlak” di tengah kehidupan para nelayan pantura? Berikut selengkapnya.
Bandit Kelas Coro
©2020 Merdeka.com/Facebook Heriyanto Subekti
Bisa dikatakan, “karlak” merupakan bandit kelas coro. Mereka biasanya memunguti ikan hasil nelayan secara terang-terangan. Istilah itu berasal bahasa Belanda yaitu “kakkerlak”, yang merujuk pada hewan yang gemar mengutil sisa makanan. Orang Indonesia biasa menyebut hewan itu dengan nama kecoak.
Eko Fidiyanto, seorang penulis cerita pendek, pernah menulis soal anak-anak “karlak” yang berkeliaran di pelabuhan Desa Kluwut, Brebes. Mereka biasanya datang bersama ibu mereka dan kedatangan mereka ini menandai musim tangkapan ikan yang lagi berlimpah.Lain halnya di Subang, Jawa Barat, istilah ini digunakan untuk kuli bongkar muat ikan.
Punya Muka Tebal
©2013 Merdeka.com
Pelabuhan pantai utara Jawa dinilai menjadi tempat paling cocok bagi para “karlak”. Dengan menggunakan teknologi jaring ikan yang canggih, kapal-kapal nelayan itu bisa mendapat ikan dengan jumlah yang banyak. Saat tiba di pelabuhan, para “karlak” ini mengerubungi hasil bongkar muat ikan tangkapan nelayan itu.
Sebenarnya mereka sudah diperingatkan oleh anak buah kapal akan tindakannya itu. Namun karena memiliki muka tebal, mereka tidak pernah malu walau sudah diperingatkan berkali-kali.
Selain itu, operasi penertiban yang dilakukan oleh para penegak hukum tak pernah membuat para “karlak” jera. Ketidakdisiplinan petugas pelabuhan untuk mengawasi orang-orang yang keluar masuk pelabuhan di kala musim ikan berlimpah membuat para pengutil ikan itu bisa memperoleh hasil yang besar dari hasil jarahan mereka.
Bisa untuk Berangkat Umroh
©Reuters/Ibraheem Abu Mustafa
Melansir dari Indonesia.go.id, Marni, seorang pedagang ikan asal Pelabuhan Jongor, Tegal bercerita bahwa dari hasil mengutil ikan itu ada orang yang bisa berangkat umroh. Apalagi sebenarnya cukup banyak kapal-kapal nelayan yang melakukan bongkar muat di pelabuhan itu yang setiap tahunnya bisa mencapai 1.500 kapal. Makin banyak kapal yang dibongkar, makin banyak pula hasil jarahan para “karlak” yang siap dijual. (mdk/shr)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tradisi masyarakat Sumatra Selatan ini tak hanya menjadi kearifan lokal, melainkan juga bermanfaat untuk menjaga ekosistem alam.
Baca SelengkapnyaGalangan kapal Muara Angke menjadi salah satu ujung tombak industri kemaritiman di Jakarta.
Baca SelengkapnyaNadran laut merupakan wujud syukur antara manusia, alam serta Tuhan atas keberkahan laut yang melimpah.
Baca SelengkapnyaTradisi warisan nenek moyang ini masih dipertahankan oleh masyarakat nelayan Jepara.
Baca SelengkapnyaSementara itu, teman Udin sekaligus ojek online, Mumu, menimpali bahwa jumlah ikan yang hanyut mencapai ratusan.
Baca SelengkapnyaPetugas sampai melompat ke atas perahu motor, mengambil alih kemudi, dan mengamankan dua pelaku di atas perahu.
Baca SelengkapnyaDi sana telah dibangun sebuah jembatan gantung yang menghubungkan antara pasar dengan desa di sebelahnya.
Baca SelengkapnyaSelain lezat, tamikil pernah jadi makanan alternatif di masa penjajahan silam.
Baca SelengkapnyaMasuknya modal asing dan kapitalisme modern mendorong munculnya pranata ekonomi baru di kalangan masyarakat nelayan.
Baca SelengkapnyaAdin menambahkan, selain memberikan bantuan ikan ke warga, pihaknya juga memusnahkan barang-barang yang meliputi ikan invasive, pakan, obat ikan tidak terdaftar
Baca SelengkapnyaDaratan sampah di Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara kian menumpuk.
Baca Selengkapnya