Minim Pendidikan Spiritual, Ini Kata Guru Besar UGM Tentang Penyebab Radikalisme
Merdeka.com - Beberapa tahun belakangan, aksi-aksi yang mengarah ke paham radikalisme terjadi di berbagai tempat. Mulai dari pengeboman gereja, konflik antar penganut agama, pembubaran acara peribadatan, hingga hal-hal lain.
Setelah ditelisik lebih jauh, hal ini ternyata berbanding lurus dengan hasil survei dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada 2018 yang menunjukkan bahwa pada level sikap dan opini, siswa dan mahasiswa Indonesia memiliki pandangan keagamaan yang cenderung radikal mencapai angka 58,5 persen.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Psikologi UGM Prof Subandi mengatakan bahwa munculnya fenomena radikalisme menandakan masih minimnya pendidikan spiritual di tanah air.
-
Bagaimana fasilitas kerohanian UGM didanai? Pembiayaan pembangunan fasilitas tersebut menggunakan dana masyarakat sejumlah Rp25 miliar.
-
Apa perubahan sosial budaya yang terjadi di Indonesia? Terdapat beberapa gambaran perubahan sosial dan buaya yang terjadi di Indonesia, mulai dari perpindahan masyarakat, gender, hingga pola konsumsi.
-
Mengapa kata-kata spiritual penting? Kata-kata spiritual akan membantu setiap manusia melawan perasaan tak stabil dalam kehidupan.
-
Apa masalah kesehatan mental di Indonesia? Masalah kesehatan mental merupakan salah satu momok yang bisa sangat menakutkan.
-
Siapa yang memperjuangkan mata pelajaran agama di sekolah? Peran Yunus tidak berhenti di situ saja. Ia kembali memperjuangkan usulan memasukkan mata pelajaran Agama Islam ke kurikulum sekolah pemerintah (negeri). Di Sumatera Barat, usulannya ini bisa berjalan baik dan sudah diterapkan pada tahun 1946.
-
Apa saja fasilitas kerohanian UGM? Universitas Gadjah Mada kini punya rumah ibadah enam agama di lingkungan kampus. Selain Masjid Kampus dan Mardliyyah Islamic Center yang telah lebih dulu dibangun, baru-baru ini Rektor UGM meresmikan fasilitas kerohanian yang di dalamnya terdapat dua bangunan gereja untuk Kristen Katolik dan Protestan, wihara untuk agama Buddha, Kelenteng untuk peribadatan umat Konghucu, serta pura untuk peribadatan umat Hindu.
“Kita lebih memfokuskan pada pendidikan agama, tapi kurang memperhatikan faktor spiritualitas di dalamnya,” kata Subandi dikutip dari ANTARA pada Kamis (25/11).
Perbedaan Antara Spiritualitas dan Agama
©the Independent
Subandi mengatakan, agama dan spiritualitas sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda meskipun keterkaitannya sangat dekat.
Menurutnya, agama dapat berupa peribadatan atau ritual, ajaran benar salah, dan lain sebagainya. Sedangkan spiritualitas merupakan pengalaman subjektif individu terkait kesucian atau pencarian makna keberadaan manusia di dunia.
Bagi Subandi, spiritualitas adalah sebuah kesadaran. Dia menambahkan, ada empat komponen dari spiritualitas yaitu kesadaran ketuhanan, kesadaran diri, kesadaran kemanusiaan, dan kesadaran alam.
Makna Sebuah Kesadaran
©Pixabay/SuleymanKarakas
Subandi menjelaskan, kesadaran ketuhanan merupakan pengalaman individu yang terhubung dengan eksistensi Tuhan atau merasakan kebersamaan dengan Tuhan. Kesadaran ini menjadi fondasi serta melingkupi semua bentuk kesadaran sehingga terhubung dan terintegrasi.
Berikutnya, kesadaran diri berarti keterhubungan manusia dengan eksistensi diri sendiri, baik eksistensi terhadap yang di luar dirinya maupun kesadaran mengenai hakikat dirinya mulai dari siapa, dari mana, serta apa tujuan hidupnya.
Kesadaran kemanusiaan adalah keterhubungan manusia dengan satu sama lain yang terbagi dalam aneka ragam agama, budaya, suku, etnis, bahkan karakter pribadi yang berbeda.
Serta, kesadaran alam adalah kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari kehidupan alam, baik dengan alam yang tampak maupun alam semesta yang luas.
Pentingnya Pendidikan Spiritual
©Shutterstock
Dengan pemaparan tersebut, Subandi berharap pendidikan spiritual bisa dilakukan sejalan dengan pendidikan agama. Menurutnya pendidikan ini kerap terabaikan sehingga agama hanya menjadi dogma dan ritual-ritual masyarakat.
Menurutnya, agama tanpa spiritualitas bagaikan sebuah wadah tanpa isi. Sebaliknya, spiritualitas tanpa agama adalah isi yang tidak ditutupi oleh wadah.
“Karena spiritualitas itu kurang diperhatikan, maka agama cenderung bisa menjadi radikal. Sehingga ini menjadikan potensi konflik SARA di Indonesia menjadi tinggi. Pendidikan spiritualitas bisa menjadi solusi yang dapat dilakukan,” pungkas Subandi. (mdk/shr)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Perdebatan tentang urgensi mendirikan negara Islam sudah selesai ketika pendiri bangsa sepakat dengan format Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca SelengkapnyaHasilnya, nilai-nilai universal agama dianggap menjadi salah satu sumber moralitas tertinggi dan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca SelengkapnyaAgama saat ini lebih sering digunakan sebagai alat politik dan ekonomi.
Baca SelengkapnyaMusdah menyayangkan jika masih banyak perempuan terjebak doktrin mengharuskan mereka tunduk dan patuh tanpa memiliki hak bertanya atau menolak.
Baca SelengkapnyaPersoalan etika itu semakin diperparah dengan pengajaran akhlak di lembaga pendidikan yang cenderung verbal dan normatif.
Baca SelengkapnyaPergerakan kelompok itu dicurigai dimotori pihak lama yang sudah dilarang oleh Pemerintah
Baca SelengkapnyaDi tengah upaya membumikan toleransi pada keberagaman, kelompok radikal melakukan framing terhadap moderasi beragama.
Baca SelengkapnyaEmpat bingkai kerukunan sebagai pilar kekuatan bangsa adalah kunci untuk melawan radikalisme dan terorisme.
Baca SelengkapnyaPAC GP Ansor dan Banser Gunung Anyar menolak Ustaz Riza Syafiq Hasan Basalamah karena diduga terindikasi berasal dari HTI.
Baca SelengkapnyaPancasila menjadi penting dibumikan khususnya bagi para generasi muda guna mencegah intoleransi
Baca SelengkapnyaSelain penguasaan literasi yang baik, seorang ulama juga harus memiliki akhlak dan karakter yang santun, tenang, dan tidak mudah menghasut.
Baca Selengkapnya